Menko Polhukam Mahfud MD/Istimewa
Menko Polhukam Mahfud MD/Istimewa

SE Kapolri Jadi Pedoman Perumusan Aturan Teknis Implementasi UU ITE

Anggi Tondi Martaon • 29 April 2021 19:11
Jakarta: Pemerintah merumuskan pedoman teknis implementasi Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Salah satu acuan perumusan yakni Surat Edaran (SE) Kapolri Nomor SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif.
 
"(SE Kapolri) dijadikan bahan, salah satu utama bahan pembuatan pedoman itu," kata kata Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD saat konferensi pers di Youtube Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Kamis, 29 April 2021.
 
Dia menyebut pedoman teknis bakal disusun oleh tiga kementerian/lembaga. Ketiganya ialah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Polri, dan Kejaksaan Agung.

"Nanti akan diwujudkan dalam bentuk SKB (Surat Keputusan Bersama) 3 kementerian dan lembaga," ungkap dia.
 
Di sisi lain, Mahfud menyingggung efektivitas SE Kapolri terkait UU ITE. Pemerintah masih mengumpulkan data terkait hal tersebut.
 
"Efektif yaitu di mana dan dalam kasus apa, karena sering sekali orang berangkat dari gosip, lalu melebar," ujar dia.
 
SE Kapolri dikeluarkan untuk mengedepankan edukasi dan langkah persuasif untuk penegakan hukum yang berkeadilan. Sehingga, dapat menghindari dugaan kriminalisasi.
 
 

Surat edaran ditandatangani Listyo. Ada 11 hal yang harus dipedomani oleh penyidik Polri:
 
Pertama, mengikuti perkembangan pemanfaatan ruang digital yang terus berkembang dengan segala macam persoalan. Kedua, memahami budaya beretika yang terjadi di ruang digital dengan menginventarisir berbagai permasalahan dan dampak yang terjadi di masyarakat.
 
Ketiga, mengedepankan upaya preemtif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber. Keempat, dalam menerima laporan dari masyarakat, penyidik diminta tegas membedakan antara kritik, masukan, hoaks, dan pencemaran nama baik.
 
Kelima, penyidik diminta berkomunikasi dengan para pihak terutama korban (tidak diwakilkan) dan memfasilitasi serta memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan mediasi. Keenam, melakukan kajian dan gelar perkara secara komprehensif terhadap perkara yang ditangani.
 
Ketujuh, penyidik diminta berprinsip hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum atau ultimatum remidium dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara. Kedelapan, penyidik diminta memprioritaskan pelaksanaan restorative justice bagi perkara yang kedua pihak berupaya untuk berdamai.
 
Kesembilan, tidak melakukan penahanan terhadap tersangka yang telah sadar dan meminta maaf. Kemudian, memberikan ruang mediasi sebelum berkas diajukan ke jaksa penuntut umum (JPU).
 
Kesepuluh, penyidik diminta berkoordinasi dengan JPU dalam pelaksanaan kelengkapan berkas perkara, termasuk saran dalam hal pelaksanaan mediasi pada tingkat penuntutan. Kesebelas, melakukan pengawasan berjenjang terhadap setiap langkah penyidikan yang diambil dan memberikan penghargaan serta hukuman atas penilaian pimpinan secara berkelanjutan.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADN)
  • Halaman :
  • 1
  • 2
Read All


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan