Presiden Jokowi saat menghadiri puncak perayaan HUT ke-59 Golkar. Foto: Medcom.id/Fachri
Presiden Jokowi saat menghadiri puncak perayaan HUT ke-59 Golkar. Foto: Medcom.id/Fachri

Jokowi Sebut Terlalu Banyak Drakor, Sebelumnya Beliau Dicap Diktator

Wandi Yusuf • 07 November 2023 11:56
Jakarta: Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait drama korea (drakor) di perayaan Hari Ulang Tahun ke-59 Partai Golkar, membuat geger. Setidaknya hal itu tampak dari komentar-komentar  netizen.
 
Di HUT Golkar, Jokowi mengatakan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 harus jadi ajang pertarungan gagasan, bukan perasaan. Pernyataan itu menanggapi dinamika jelang pemilu. 
 
"Pertarungan-pertarungan ide, bukan pertarungan perasaan. Kalau yang terjadi pertarungan perasaan, repot semua kita," kata Jokowi, Senin, 6 November 2023 malam.

Jokowi juga menilai banyak drama yang diperlihatkan ke publik. Saking semangatnya berorasi, Jokowi pun sempat terpeleset lidah menyebut "sinetron" menjadi "senitron".
 
"Karena saya lihat akhir-akhir ini yang kita lihat adalah terlalu banyak dramanya. terlalu banyak drakor-nya. Terlalu banyak senitronnya. Sinetron yang kita lihat," ucap Jokowi.
 

Netizen bereaksi

Pernyataan Jokowi ini langsung menuai reaksi netizen. Mengutip dari unggahan akun Instagram Narasinewsroom, banyak warganet yang justru menyerang balik Jokowi.
 
"Drama keluarga Bapak Jokowi toh yooo... Namanya lempar batu sembunyi tangan," kata akun Sekarmartodiharjo.
 
Balasan dari akun Elnygma lebih pedas lagi: "Situ yg bikin drama.. situ yg acting seolah@ no drama.. memang KING OF LIP SERVICE beliau ini."
 
Netizen lain juga membalas pernyataan Jokowi dengan nyinyir. Akun aa_bekenz mengatakan "Tampang boleh ndeso tp urusan drama dan senitron dia jagonya."
 

Istilah drakor pernah dipakai Denny Indrayana

Pernyataan Jokowi ini mengingatkan pada sejumlah kritik yang dilayangkan kepada dia. Kritik itu datang dari berbagai kalangan, mulai dari seniman, budayawan, hingga akademikus. 
 
Kritik keras kepada Jokowi pernah datang dari mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana dan Budayawan Goenawan Mohamad.
 
Denny mengkritik Jokowi lewat keputusan MK soal uji materi UU Pemilu. Keputusan itu membuat anak Jokowi yang juga Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, bisa melenggang menjadi bakal calon wakil presiden (cawapres). 
 
Denny lantas menahbiskan MK sebagai Mahkamah Keluarga. Denny bahkan menyatakan putusan MK itu tak ubahnya sebagai drakor atau drama korea.
 
"Putusan MK = Drama Korea, seolah menolak ujungnya mengabulkan. Bukan hanya MK menjadi Mahkamah Keluarga, NKRI berubah menjadi Negara KELUARGA Republik Indonesia," kata Denny melalui akun X (Twitter) @dennyindrayana.
 
Baca: Andi Widjajanto: Jokowi Menabur Garam, Awan Demokrasi Mendung
 
Goenawan Mohamad tak kalah kecewa. Putusan MK ini semakin memojokkan pikirannya sampai pada simpulan bahwa semua semata-mata untuk Gibran seorang.
 
"Satu masalah serius. Keputusan MK-demi-Gibran telah menggerus kepercayaan masyarakat ttg netralitas dan integritas lembaga peradilan tertinggi.
 
Bagaimana jika nanti hasil pilpres menimbulkan sengketa — spt yg terjadi akibat ulah Prabowo yg kalah dlm pilpres yg lalu — dan tak ada lagi wasit yg bisa dipercaya?
 
Bagaimana konflik akan diselesaikan?" catat Goenawan dalam akun X @gm_gm milinya.
 

Dicap diktator

Putusan MK ini juga membuat perasaan pengamat politik Prof Ikrar Nusa Bhakti bercampur aduk. Antara kaget dan sedih. Dia khawatir putusan MK ini merupakan pertanda bahwa ada yang salah dengan pikiran Presiden Joko Widodo (Jokowi).
 
"Kita tidak tahu apa yang dipikirkan Jokowi. Apakah ingin membangun dinasti atau ini justru problem besar dirinya sebagai presiden. Kalau kemudian dia berpikir bahwa negara adalah saya, bisa mengatur parpol, mengatur MK, maka bukan mustahil Jokowi punya angan-angan mengatur hasil pemilu," kata Ikrar dikutip dari tayangan Metro Pagi Primetime di Metro TV, Rabu, 18 Oktober 2023.
 
Istilah "negara adalah saya" adalah ungkapan yang sering dikaitkan dengan Raja Louis XIV dari Prancis. Dalam bahasa Prancis adalah L'Etat c'est moi. Raja Louis XIV dikenal sebagai diktator karena memerintah selama 72 tahun dan menjadikannya sebagai pemimpin terlama monarki di dunia.
 
Baca: "Bahaya Jika Kepala Jokowi Berpikir: Negara adalah Saya!"
 
Ikrar mengatakan kalau benar di pikiran beliau sudah ada benih-benih kediktaroran itu, maka demokrasi bisa terancam. Apa yang menjadi putusan MK tersebut, menurut Ikrar, adalah tanda-tanda ada yang ingin membalikkan arah reformasi seperti era sebelum 1998.
 
"Kalau sampai itu terjadi, hal ini bukan lagi lampu kuning buat reformasi Indonesia, tapi Indonesia secara keseluruhan," kata Ikrar.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan