lustrasi: Massa yang tergabung dalam GNPF-MUI Bogor Raya berjalan kaki menuju Jakarta. Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
lustrasi: Massa yang tergabung dalam GNPF-MUI Bogor Raya berjalan kaki menuju Jakarta. Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso

FOKUS

Memastikan Makna Reuni 212

Sobih AW Adnan • 30 November 2017 20:18
Jakarta: Tak ada yang tampak, selain terkesan memelihara luka. Reuni alumni 212, seakan tidak senasib dengan peristiwa asalnya. Gerakan memutihkan kawasan Monas, Jakarta ini relatif sepi dukungan. Bahkan, lebih banyak mendapatkan kritik dan pertanyaan soal tujuan. Apa pula yang penting, lebih dari sekadar kangen-kangenan?
 
Pun Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pada 2 Desember 2016 justru bisa dijadikan bendera melalui terbentuknya Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI, hari ini, tak bergeming. Komentar tak kalah tegas juga dilontarkan beberapa tokoh dan ulama. Malahan, organisasi besar sekelas Muhammadiyah dan barisan kepemudaannya menganggap mobilisasi massa seperti ini, tak lagi diperlukan.
 
Ambil misal, sesepuh Muhammadiyah yang sekaligus Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin bilang, ada banyak hal lain yang semestinya bisa dilakukan, selain cuma mengumpulkan banyak orang demi unjuk kekuatan atas nama umat Islam.

"Perlu langkah strategis yang lebih menekankan praktik keislaman dari pada menampilkan mob-populisme keagamaan," katanya, dikutip dari Antara, Kamis, 30 November 2017.
 
Memang benar, di tengah pekerjaan rumah rekonsiliasi antarkelompok pascapilkada yang diemban Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan, memobilisasi massa satu golongan bukanlah pilihan. Jika Aksi Damai 212 silam dilakukan dengan dalih mendorong penegakan hukum atas Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama yang dikatakan melanggar, bukankah misi itu sudah tuntas tercapai.
 
Gerakan 212, baik di satu pihak. Namun oleh kelompok lain, bagian dari aksi yang berjilid-jilid ini dinilai memperuncing potensi perpecahan.
 
Lagi pula, jika tahun lalu gerakan ini dilabeli aksi super damai, konsekuensinya, tak elok terus menerus dipraktikkan sebagai alat unjuk kekuatan.
 
Ancaman mobokrasi
 
Sebagaimana disampaikan Din di awal, melaksanakan Reuni Akbar Alumni 212 termasuk hak. Mengingat sedari mula, Indonesia telah menahbiskan diri sebagai negeri yang menjunjung tinggi prinsip demokrasi.
 
Tak ada keharaman dalam menyampaikan pendapat, apalagi hanya sesi kumpul-kumpul banyak orang yang merasa pernah seperjuangan.
 
Akan tetapi, bila ditilik dari agenda lengkap yang disosialisasikan pihak penyelenggara, kumpul-kumpul yang berpuncak pada 2 Desember 2017 ini tak digelar sehari saja. Dua hari sebelumnya, dijadwalkan pula semacam kongres yang diramal bakal diikuti sebanyak 500 orang.
 
Ya, menurut keterangan pihak bersangkutan, Reuni 212 dimulai pada 30 November 2017. Di hari pertama, undangan akan berdiskusi panjang dalam rangka menghimpun kembali kekuatan umat Islam dalam berbagai aspek. Terutama, ikhtiar untuk dapat ambil peran dalam urusan-urusan politik.
 
Ketua Presidium Alumni 212 Slamet Ma'arif mengatakan, dalam hal politik, kongres membahas target jangka panjang selama 10 tahun ke depan. Kekuatan dan soliditas umat Islam yang tergalang dalam Aksi 212 pada 2016 diharapkan menjadi kekuatan baru di Indonesia.
 
"Ada sinergi gerakan dari alumni se-Indonesia melalui simpul-simpul yang akan kita bentuk," kata Slamet.
 
Kemunculan term politik ini, cukup menarik. Sebab, bagaimana bisa, hal ihwal mengenai praktik politik disalurkan selain pada jalur dan infrastruktur yang disepakati sejarah Indonesia. Terlebih, melalui fungsi dari keberadaan partai politik (parpol).
 
Memastikan Makna Reuni 212
Aksi Super Damai 212 di kawasan Monas, Jakarta, Jumat (2/12/2016)/MI/RAMDANI
 
Pakar pemasaran politik Firmanzah dalam Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi (2008) menyebut, parpol memang dibentuk demi mengakomodir kebutuhan dalam mensistemisasi kepentingan dan aspirasi politik masyarakat.
 
"Parpol memiliki tanggung jawab eksternal berupa penggabungan kepentingan politik rakyat," tulis Firmanzah.
 
Keberadaan dan pemanfaatan fungsi parpol ini, tetap penting selama negara masih berpegang teguh kepada sistem demokrasi. Sebab, parpol memiliki bekal, beban, sekaligus tanggung jawab untuk mengelola aspirasi tersebut dan menyuguhkannya secara lebih teratur.
 
Meski harus diakui, belakangan pamor parpol di mata masyarakat kian melorot. Berdasarkan hasil survei Poltracking Indonesia yang dirilis pekan lalu, misalnya, tingkat kepercayaan publik terhadap parpol menempati posisi paling buncit. Besarannya cuma 48%, mengiringi tingkat kepercayaan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang tinggal 50% saja.
 
Faktornya, banyak. Dari mulai parpol yang terkesan cuma sibuk menimbang kebutuhannya sendiri, oknum internal yang terlibat kasus korupsi, atau ada pula pamor buruk yang memang oleh lawan mainnya sengaja dibentuk.
 
Namun, lagi-lagi, menafikan perangkat demokrasi di negara demokratis tidak lantas membuat Indonesia bisa tampil lebih baik.
 
Dan, salah besar, jika memukul rata anggapan bahwa semua parpol sudah bobrok. Begitu pun  keliru, apabila semua parpol yang hadir hari ini dicap tak lagi memperjuangkan hak dan suara-suara dari masyarakat.
 
Jelang tahun politik sepanjang 2018-2019, bisa diamati, tak semua perangkat politik ini bermuka picik. Tak kalah banyak yang masih berpegang teguh pada garis ideologi, mesin politik yang bergerak gesit, serta wajah-wajah baru dengan terobosan yang begitu segar.
 
Pesan moralnya, tidak cukup adil, jika kehadiran parpol hari ini dikatakan tak lagi berjalan sesuai fungsi dan tujuan. Jika pun ada masalah, lazimnya dilakukan dengan merebut kendali sesuai proses kaderisasi yang kemudian bisa turut ambil bagian melakukan perbaikan dari dalam.
 
Beda soal dengan menganggap bahwa membentuk barisan di luar parpol menjadi halal dan satu-satunya jalan. Dalam sistem demokrasi, sudah barang tentu hal ini adalah langkah keliru. Pasalnya, tanpa melalui pengalaman dan tanggung jawab seperti yang dimiliki parpol, jargon demokrasi yang diseret-seret itu tak menutup kemungkinan malah ambrol.
 
Persis yang ditawarkan filsuf Plato sejak dulu kala, katanya, jika dalam dunia ini terdapat tiga sistem pemerintahan terbaik, yakni kerajaan, aristokrasi, dan demokrasi, maka ketika diolah salah orang, masing-masing dari ketiganya berpotensi mengalami fase kemerosotan.
 
Plato bilang, sistem kerajaan berpeluang melenceng ke dalam wujud pemerintahan tiran. Begitu pula, aristokrasi, keliru urus bisa menjadi oligarkhi.
 
Tak kalah ngeri, demokrasi. Sistem pemerintahan yang satu ini ini, kalau tak sabar dipahami, salah-salah bermetamorfosa menjadi mobokrasi. Yakni, sebuah bentuk penyaluran aspirasi berdasarkan kerumunan yang tak karuan, bukan melalui sistem teratur, terbuka, dan minus potensi kekerasan.
 
Politik populisme
 
Mobokrasi, berasal dari mob, alias kerumunan. Sementara demokrasi, lebih mengarah pada pengendalian kekuasaan melalui proses teratur, semacam barisan.
 
Pada praktiknya, demokrasi dan mobokrasi terkesan dekat. Keduanya, merujuk pada perebutan istilah rakyat. Padahal, jika di-zoom lebih mendalam, ada titik perbedaan dalam mengartikan rakyat. Yang pertama, mengarahkannya sebagai warga negara, sedangkan mobokrasi lebih menyandarkannya kepada pengertian massa.
 
Hubungan yang samar keduanya itu, dibalut dengan istilah populisme.
 
Ilmuwan politik Margaret Canovan dalam Populism (1981) membagi istilah ini menjadi tiga macam. Populisme proletar, otoriter, dan revolusioner.
 
Akan tetapi, apabila diarahkan pada praktik kekinian, entah populisme jenis apa yang kesannya lebih mengedepankan praktik sektarianisme dan konservatifisme kelompok. Contoh, gelombang aksi yang mengerahkan ribuan bahkan diklaim jutaan, cuma untuk menekan berlangsungnya proses hukum yang tengah disasar pada satu orang.
 
Di Indonesia, politik populisme, terutama golongan agama tertentu memang cenderung gampang meraih dukungan. Apalagi, kebanyakan dari penganut di dalamnya masih cukup salah paham dalam mengartikan demokrasi yang hanya sebatas suara mayoritas.
 
Pengatasnamaan Islam, misalnya, Saiful Mujani dalam Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru (2007) menyebut, ada karakter dari gerakan Islamis ketika hidup di negara demokrasi yang kebetulan sebagian besar penduduknya beragama Islam memahami bahwa demokrasi adalah majoritarianism.
 
Di mata mereka, demokrasi harus menomorsatukan suara mayoritas, tetapi mengabaikan kebebasan sipil.
 
"Mereka mengklaim bahwa tuntutan mereka tentang penerapan syariat Islam oleh negara mewakili kepentingan mayoritas umat Islam," tulis Saiful.
 
Parahnya, jika mengacu sejarah praktik populisme di banyak negara, para populis dengan kacamata demokrasi yang mayoritarianisme itu melulu menggembar-gemborkan bahwa kerumunan yang turun ke jalan jauh lebih baik dari pada elite pemerintah dan politik yang dituding dengan pengkhianatan rakyat.
 
Para populis, gemar menebar sentimen antiparpol dan kebencian pada politik perwakilan. Titik akhirnya, sadar atau pun tidak, mereka menolak keragaman pandangan yang sebenarnya amat niscaya.
 
Alhasil, masih banyak yang berharap kekuatan Islam di Indonesia tidak gampang larut dalam godaan populisme belaka. Termasuk gerakan alumni 212, terobosan penting amat ditunggu demi kemajuan bangsa.
 
Untuk yang satu ini, tentu, setelah mereka sendiri mampu menjelaskan kepada banyak orang apa makna lebih dari reuni yang akan digelar besok? Bukan cuma kangen-kangenan, apalagi jika memang sengaja dilakukan dalam rangka memelihara garis pisah antarkelompok di Indonesia, khususnya warga Jakarta.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan