Jakarta: Salah satu pasal rancangan Undang-Undang MD3 memberikan kewenangan kepada polisi untuk membantu memanggil paksa pihak terperiksa DPR. Dalam pasal tersebut, terselip kata 'wajib' memanggil paksa yang belum ada dalam UU sekarang.
Anggota Komisi III DPR RI Masinton Pasaribu menyebut penggunaan frase 'wajib' merupakan mekanisme agar pihak yang dipanggil DPR memenuhi panggilan rapat bersama. Tidak terkecuali bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selama ini kerap menolak rapat dengan parlemen.
"Ya terhadap siapa pun (termasuk KPK)," kata Masinton di Kompleks Parlemen Senayan, Jumat, 9 Februari 2018.
(Baca juga: Masinton Sebut Rekomendasi Pansus Wajib Dijalankan KPK)
Masinton menolak anggapan pasal ini sebagai bentuk sikap otoriter DPR. Katanya, pasal terseb untuk lebih meningkatkan fungsi pengawasan parlemen terhadap lembaga negara atau perorangan.
"Karena prinsip mekanisme kontrol adanya di DPR sebagai representasi rakyat yang dipilih melalui pemilu," ujarnya.
Politisi PDIP itu membantah memasukkan frase 'wajib' dalam pasal karena belajar dari Pansus Hak Angket KPK yang gagal menghadirkan KPK dalam setiap rapat. Selama ini, Polri tidak memiliki landasan hukum untuk memanggil paksa lembaga atau perorangan yang menolak dipanggil DPR.
"Alasan mereka belum diatur hukum acaranya. Ini kan berbeda hukum acara antara konteks penegakan hukum dengan UU MD3 yang melaksanakan fungsi pengawasan secara politik," jelasnya.
(Baca juga: Fahri: Putusan MK soal Pansus Angket Pertegas Keberadaan DPR)
Sebelumnya, Pemerintah dan DPR menyepakati klausul baru dalam pemanggilan pihak yang akan diperiksa DPR terkait fungsi pengawasan. Pihak tersebut diantaranya bisa berupa perorangan, badan hukum swasta, atau lembaga pemerintah.
Dalam klausul Pasal 73 revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) itu, ditambahkan frase "wajib" bagi polisi membantu untuk memanggil paksa pihak yang diperiksa DPR, namun enggan datang.
Jakarta: Salah satu pasal rancangan Undang-Undang MD3 memberikan kewenangan kepada polisi untuk membantu memanggil paksa pihak terperiksa DPR. Dalam pasal tersebut, terselip kata 'wajib' memanggil paksa yang belum ada dalam UU sekarang.
Anggota Komisi III DPR RI Masinton Pasaribu menyebut penggunaan frase 'wajib' merupakan mekanisme agar pihak yang dipanggil DPR memenuhi panggilan rapat bersama. Tidak terkecuali bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selama ini kerap menolak rapat dengan parlemen.
"Ya terhadap siapa pun (termasuk KPK)," kata Masinton di Kompleks Parlemen Senayan, Jumat, 9 Februari 2018.
(Baca juga:
Masinton Sebut Rekomendasi Pansus Wajib Dijalankan KPK)
Masinton menolak anggapan pasal ini sebagai bentuk sikap otoriter DPR. Katanya, pasal terseb untuk lebih meningkatkan fungsi pengawasan parlemen terhadap lembaga negara atau perorangan.
"Karena prinsip mekanisme kontrol adanya di DPR sebagai representasi rakyat yang dipilih melalui pemilu," ujarnya.
Politisi PDIP itu membantah memasukkan frase 'wajib' dalam pasal karena belajar dari Pansus Hak Angket KPK yang gagal menghadirkan KPK dalam setiap rapat. Selama ini, Polri tidak memiliki landasan hukum untuk memanggil paksa lembaga atau perorangan yang menolak dipanggil DPR.
"Alasan mereka belum diatur hukum acaranya. Ini kan berbeda hukum acara antara konteks penegakan hukum dengan UU MD3 yang melaksanakan fungsi pengawasan secara politik," jelasnya.
(Baca juga:
Fahri: Putusan MK soal Pansus Angket Pertegas Keberadaan DPR)
Sebelumnya, Pemerintah dan DPR menyepakati klausul baru dalam pemanggilan pihak yang akan diperiksa DPR terkait fungsi pengawasan. Pihak tersebut diantaranya bisa berupa perorangan, badan hukum swasta, atau lembaga pemerintah.
Dalam klausul Pasal 73 revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) itu, ditambahkan frase "wajib" bagi polisi membantu untuk memanggil paksa pihak yang diperiksa DPR, namun enggan datang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(HUS)