medcom.id, Jakarta: Jembatan Semanggi, Jakarta dibangun atas semangat persatuan. Perlintasan jalur yang saling bertemu itu, diibaratkan Presiden Soekarno sebagai suh; elemen yang mengikat sapu lidi sehingga tidak mudah tercerai berai.
Begitu pun sebutan Semanggi, selain diambil dari nama tanaman paku-pakuan yang banyak tumbuh di wilayah itu, serta kemiripannya dengan bentuk jembatan layang yang dibangun pada 1962 ini, semanggi sudah lama dianggap masyarakat tradisional sebagai simbol kebersamaan.
Jadilah, Jembatan Semanggi yang begitu dibanggakan. Semanggi, menjelma pintu gerbang yang siap mengantarkan para pendatang menuju hiruk pikuk DKI Jakarta sebagai kota metropolitan.
Kabar barunya, Selasa malam, 25 April 2017 kemarin, kawasan itu kian sempurna seiring rampungnya penyambungan simpang susun tepat di atasnya. Tanpa sedikit pun memberangus filosofi persatuan yang terbentuk, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta amat yakin, proyek ini mampu mengurangi kemacetan di Ibukota paling tidak sebanyak 30 persen.
Penyambungan box girder terakhir simpang susun Semanggi di kawasan Semanggi, Jakarta, Selasa (25/4/2017) malam/ANTARA/Muhammad Adimaja
Kemajuan konstruksi dan penjawab kemacetan
Simpang susun Semanggi menjadi yang pertama di Indonesia. Jalan dibangun melengkung (hiperbolik) dengan bentang terpanjang. Proyek yang dimulai sejak April tahun lalu ini ditargetkan beres sebelum 17 Agustus 2017.
Ya, untuk proyek dengan anggaran sebesar Rp360 miliar, pengerjaannya yang cuma dipatok 540 hari kalender memang terbilang cepat. Simpang susun Semanggi, bolehlah diapresiasi sebagai prestisius Indonesia dan menandai kemajuan dunia konstruksi.
Dalam prosesnya, pembangunan jembatan layang ini mengandalkan teknologi girder box, alias struktur jembatan beton yang sebagian besarnya berongga. Girder box memiliki panjang tertentu dan disambung dengan girder box lainnya hingga membentuk jembatan.
Serupa yang dibilang Gubernur Provinsi DKI Jakarta Basuki `Ahok` Tjahaja Purnama, pekerjaan pengembangan bundaran Semanggi ini amat monumental dan jadi tonggak sejarah dunia teknik sipil Indonesia.
Kerja serius dan cepat, adalah pesan lain yang mengiringi pembangunan simpang susun Semanggi. Apa pasal? Bukankah sudah disadari bersama, kemacetan Jakarta bukan lagi sebagai perkara yang bisa dianggap gurauan.
Simpang susun menjadi jawaban dari kemacetan baru yang justru ditimbulkan dari dari perjumpaan beberapa arus dari lengkung yang menyerupai daun di kawasan Semanggi itu.
Simpang susun Semanggi terdiri dari dua ruas. Satu ruas diperuntukkan bagi kendaraan dari arah Cawang menuju ke Bundaran Hotel Indonesia (HI), dan satu lainnya, untuk kendaraan dari arah Slipi menuju Blok M.
Studi JICA memunculkan hitungan, Simpang Susun Semanggi dapat mempercepat arus lalu lintas di daerah tersebut meningkat hingga 37%. Angka yang sangat berharga bagi kota yang karib dengan kemacetan seperti Jakarta.
Non-APBD
Simpang susun Semanggi, memang tercatat sebagai proyek Pemprov DKI Jakarta. Tapi kerennya, pembiayaan pembangunan jalan layang sepanjang 1,8 kilo meter ini tidak sedikit pun merogoh duit dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Infrastruktur dibiayai dari dana kompensasi atas kelebihan koefisien luas bangunan (KLB) PT Mitra Panca Persada, anak perusahaan asal Jepang, Mori Building Company.
KLB, merupakan instrumen penataan ruang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Teknik ini, memang diakui sebagai terobosan baru yang dilakukan Ahok selama mengomandoi beberapa pembangunan fisik di Ibukota. Harapannya, bisa mendorong para pengembang lebih tertib membangun sesuai izin yang diberikan. Pemprov juga mendapat keuntungan berupa tambahan anggaran untuk melakukan pembangunan.
Keuntungan lainnya, APBD yang sejatinya sebagai uang rakyat tidak banyak dihabiskan untuk infrastruktur. APBD lebih dikembalikan manfaatnya secara langsung; berupa subsidi pendidikan, angkutan dan lainnya.
Ya, sengaja atau pun tidak, tampaknya ada Basuki di balik simpang susun Semanggi. Dengan dibantu banyak pihak, di pengujung masa kerjanya ia menempel pesan pentingnya kerja serius, cepat, saling membahu penuh kesadaran, juga tak melulu mesti menguras ongkos dari rakyat.
medcom.id, Jakarta: Jembatan Semanggi, Jakarta dibangun atas semangat persatuan. Perlintasan jalur yang saling bertemu itu, diibaratkan Presiden Soekarno sebagai
suh; elemen yang mengikat sapu lidi sehingga tidak mudah tercerai berai.
Begitu pun sebutan Semanggi, selain diambil dari nama tanaman paku-pakuan yang banyak tumbuh di wilayah itu, serta kemiripannya dengan bentuk jembatan layang yang dibangun pada 1962 ini, semanggi sudah lama dianggap masyarakat tradisional sebagai simbol kebersamaan.
Jadilah, Jembatan Semanggi yang begitu dibanggakan. Semanggi, menjelma pintu gerbang yang siap mengantarkan para pendatang menuju hiruk pikuk DKI Jakarta sebagai kota metropolitan.
Kabar barunya,
Selasa malam, 25 April 2017 kemarin, kawasan itu kian sempurna seiring rampungnya penyambungan simpang susun tepat di atasnya. Tanpa sedikit pun memberangus filosofi persatuan yang terbentuk, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta amat yakin, proyek ini mampu mengurangi kemacetan di Ibukota paling tidak sebanyak
30 persen.
Penyambungan box girder terakhir simpang susun Semanggi di kawasan Semanggi, Jakarta, Selasa (25/4/2017) malam/ANTARA/Muhammad Adimaja
Kemajuan konstruksi dan penjawab kemacetan
Simpang susun Semanggi menjadi yang pertama di Indonesia. Jalan dibangun melengkung (hiperbolik) dengan bentang terpanjang. Proyek yang dimulai sejak April tahun lalu ini ditargetkan beres sebelum 17 Agustus 2017.
Ya, untuk proyek dengan anggaran sebesar Rp360 miliar, pengerjaannya yang cuma dipatok 540 hari kalender memang terbilang cepat. Simpang susun Semanggi, bolehlah diapresiasi sebagai prestisius Indonesia dan menandai
kemajuan dunia konstruksi.
Dalam prosesnya, pembangunan jembatan layang ini mengandalkan teknologi
girder box, alias struktur jembatan beton yang sebagian besarnya berongga.
Girder box memiliki panjang tertentu dan disambung dengan
girder box lainnya hingga membentuk jembatan.
Serupa yang dibilang Gubernur Provinsi DKI Jakarta Basuki `Ahok` Tjahaja Purnama, pekerjaan pengembangan bundaran Semanggi ini amat monumental dan jadi
tonggak sejarah dunia teknik sipil Indonesia.
Kerja serius dan cepat, adalah pesan lain yang mengiringi pembangunan simpang susun Semanggi. Apa pasal? Bukankah sudah disadari bersama, kemacetan Jakarta bukan lagi sebagai perkara yang bisa dianggap gurauan.
Simpang susun menjadi jawaban dari kemacetan baru yang justru ditimbulkan dari dari perjumpaan beberapa arus dari lengkung yang menyerupai daun di kawasan Semanggi itu.
Simpang susun Semanggi terdiri dari dua ruas. Satu ruas diperuntukkan bagi kendaraan dari arah Cawang menuju ke Bundaran Hotel Indonesia (HI), dan satu lainnya, untuk kendaraan dari arah Slipi menuju Blok M.
Studi JICA memunculkan hitungan, Simpang Susun Semanggi dapat mempercepat arus lalu lintas di daerah tersebut meningkat hingga 37%. Angka yang sangat berharga bagi kota yang karib dengan kemacetan seperti Jakarta.
Non-APBD
Simpang susun Semanggi, memang tercatat sebagai proyek Pemprov DKI Jakarta. Tapi kerennya, pembiayaan pembangunan jalan layang sepanjang 1,8 kilo meter ini tidak sedikit pun merogoh duit dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Infrastruktur dibiayai dari dana kompensasi atas kelebihan koefisien luas bangunan (KLB) PT Mitra Panca Persada, anak perusahaan asal Jepang, Mori Building Company.
KLB, merupakan instrumen penataan ruang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Teknik ini, memang diakui sebagai terobosan baru yang dilakukan Ahok selama mengomandoi beberapa pembangunan fisik di Ibukota. Harapannya, bisa mendorong para pengembang lebih tertib membangun sesuai izin yang diberikan. Pemprov juga mendapat keuntungan berupa tambahan anggaran untuk melakukan pembangunan.
Keuntungan lainnya, APBD yang sejatinya sebagai uang rakyat tidak banyak dihabiskan untuk infrastruktur. APBD lebih dikembalikan manfaatnya secara langsung; berupa subsidi pendidikan, angkutan dan lainnya.
Ya, sengaja atau pun tidak, tampaknya ada Basuki di balik simpang susun Semanggi. Dengan dibantu banyak pihak, di pengujung masa kerjanya ia menempel pesan pentingnya kerja serius, cepat, saling membahu penuh kesadaran, juga tak melulu mesti menguras ongkos dari rakyat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)