Jakarta: Diskriminasi terhadap jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) terjadi di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, pada Jumat, 5 September 2021. Perusakan rumah ibadah Ahmadiyah itu diduga dipicu kekecewaan warga kepada Pemkab Sintang yang hanya menyetop operasional.
"Mereka kecewa karena Pemkab Sintang hanya menghentikan operasional di tempat ibadah. Sedangkan massa menuntut agar tempat ibadah dibongkar," Kabid Humas Polda Kalbar, Kombes Donny Charles Go, Selasa, 7 September 2021.
Diskriminasi dan konflik dengan jemaah Ahmadiyah ternyata telah terjadi sejak lama. Berdasarkan penelusuran tim Medcom.id, diskriminasi terhadap jemaah Ahmadiyah telah terjadi sejak 1998.
Penyerangan terhadap sejumlah jemaah Ahmadiyah terjadi di Dusun Keranji dan Dusun Tompok-ompok, Keruak, Lombok Timur. Penyerangan itu mengakibatkan 41 jiwa mengungsi.
Penyerangan juga terjadi pada 2001, di Sambielen, Bayan, Lombok Utara. Sebanyak satu korban meninggal, satu korban luka, dan 39 orang mengungsi.
Tak hanya itu, penyerangan dan pengrusakan terjadi di pusat JAI di Parung, Bogor, pada 8 Juli 2005. Ribuan massa menggeruduk pertemuan resmi tahunan jemaah Ahmadiyah atau Jalsah Salanah Nasional di pusat JAI itu.
Baca: Akar Masalah Perusakan Rumah Ibadah Ahmadiyah
Penyerangan dan pengrusakan itu mengakibatkan ribuan jemaah Ahmadiyah harus mengungsi. Pusat JAI itu juga terpaksa ditutup. Di tahun yang sama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa Nomor 11/MunasVII/MUI15/2005 tentang aliran Ahmadiyah.
Fatwa yang ditetapkan dalam Munas VII MUI 2005 itu menyebutkan penegasan kembali fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang menetapkan bahwa aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat, dan menyesatkan. Orang Islam yang mengikuti ajaran tersebut adalah murtad (keluar dari Islam).
Pada 2008, banyak umat Islam di Indonesia yang melakukan unjuk rasa terkait gerakan Ahmadiyah. Mereka meminta pemerintah bersikap tegas menutup kegiatan JAI karena tak sejalan dengan fatwa MUI.
Masjid Al Furqan milik JAI yang berada di Prakansalak, Sukabumi dihanguskan massa pada 28 April 2008. Sebuah madrasah milik JAI juga diserang massa.
Fatwa MUI dan protes masyarakat itu memicu terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yakni Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri,dan Jaksa Agung Nomor 3 Tahun 2008. SKB berisi tentang peringatan dan perintah kepada JAI untuk menghentikan semua kegiatannya, terutama yang tidak sesuai ajaran Nabi Muhammad SAW.
Penganut atau pengurus JAI yang tak mengindahkan aturan tersebut bisa dikenakan sanksi sesuai perundang-undangan. Dalam aturan tersebut, masyarakat diminta untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama dengan tidak melakukan perbuatan atau tindakan melawan hukum terhadap JAI.
Baca: Tersangka Perusakan Masjid Ahmadiyah Bertambah Jadi 16 Orang
Masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan itu dapat dikenakan sanksi sesuai perundang-undangan. Meski SKB 3 Menteri telah diterbitkan, diskriminasi terhadap jemaah Ahmadiyah terus berlanjut.
Pada Juli 2010, sekelompok massa mengepung masjid milik Ahmadiyah di Desa Manislor, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Massa melempari masjid dengan batu sebelum dibubarkan oleh polisi.
Kejadian demi kejadian juga terjadi sepanjang 2011. Ribuan warga Desa Cikeusik melakukan penyerangan terhadpa jemaah Ahmadiyah di Desa Umbulan, Cikeusik, Pandeglang, Banten, 6 Februari 2011. Penyerangan itu mengakibatkan tiga orang tewas.
Setelah kejadian itu, pemerintah provinsi (pemprov) di berbagai daerah mengeluarkan Peraturan Gubernur terkait larangan aktivitas Jemaah Ahmadiyah. Aturan dikeluarkan Pemprov Jawa Timur, Pemprov Banten, Pemprov Jawa Barat, Pemprov Sumatra Barat, dan Pemprov Jambi.
Aturan yang melarang kegiatan jemaah Ahmadiyah ini diduga memperparah aksi kekerasan, perusakan, dan diskriminasi terhadap JAI. Aksi menolak aliran Ahmadiyah terjadi sepanjang 2012 hingga saat ini. Sejumlah masjid milik JAI disegel, dirusak, dan dibakar.
Jakarta: Diskriminasi terhadap jemaah
Ahmadiyah Indonesia (JAI) terjadi di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, pada Jumat, 5 September 2021. Perusakan rumah ibadah Ahmadiyah itu diduga dipicu kekecewaan warga kepada Pemkab Sintang yang hanya menyetop operasional.
"Mereka kecewa karena Pemkab Sintang hanya menghentikan operasional di tempat ibadah. Sedangkan massa menuntut agar tempat ibadah dibongkar," Kabid Humas Polda Kalbar, Kombes Donny Charles Go, Selasa, 7 September 2021.
Diskriminasi dan konflik dengan jemaah Ahmadiyah ternyata telah terjadi sejak lama. Berdasarkan penelusuran tim
Medcom.id, diskriminasi terhadap jemaah Ahmadiyah telah terjadi sejak 1998.
Penyerangan terhadap sejumlah jemaah Ahmadiyah terjadi di Dusun Keranji dan Dusun Tompok-ompok, Keruak, Lombok Timur. Penyerangan itu mengakibatkan 41 jiwa mengungsi.
Penyerangan juga terjadi pada 2001, di Sambielen, Bayan, Lombok Utara. Sebanyak satu korban meninggal, satu korban luka, dan 39 orang mengungsi.
Tak hanya itu, penyerangan dan pengrusakan terjadi di pusat JAI di Parung, Bogor, pada 8 Juli 2005. Ribuan massa menggeruduk pertemuan resmi tahunan jemaah Ahmadiyah atau Jalsah Salanah Nasional di pusat JAI itu.
Baca:
Akar Masalah Perusakan Rumah Ibadah Ahmadiyah
Penyerangan dan
pengrusakan itu mengakibatkan ribuan jemaah Ahmadiyah harus mengungsi. Pusat JAI itu juga terpaksa ditutup. Di tahun yang sama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa Nomor 11/MunasVII/MUI15/2005 tentang aliran Ahmadiyah.
Fatwa yang ditetapkan dalam Munas VII MUI 2005 itu menyebutkan penegasan kembali fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang menetapkan bahwa aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat, dan menyesatkan. Orang Islam yang mengikuti ajaran tersebut adalah murtad (keluar dari Islam).
Pada 2008, banyak umat Islam di Indonesia yang melakukan unjuk rasa terkait gerakan Ahmadiyah. Mereka meminta pemerintah bersikap tegas menutup kegiatan JAI karena tak sejalan dengan fatwa MUI.