Jakarta: Testing, tracing, dan treatment (3T) dianggap menjadi kunci pengendalian penyebaran virus korona (covid-19). Jika tidak berjalan baik, penyebaran virus korona semakin tinggi.
"Strateginya (pencegahan penyebaran) sebenarnya ada 3T itu," kata epidemolog Universitas Airlangga Atik Choirul Hidayah kepada Medcom.id, Selasa, 29 September 2020.
Atik menyebutkan penerapan 3T di lapangan memiliki sejumlah kendala. Masalah ini pun harus segera ditangani.
Testing
Atik menyebutkan fasilitas pengujian spesimen Indonesia sudah mulai membaik. Hal itu terlihat dengan semakin banyaknya laboratorium yang ditugaskan menguji spesimen.
"Bukan hanya jejaring laboratorium Kemenkes (Kementerian Kesehatan), saja tetapi juga rumah sakit yang dipandang punya kemampuan itu (menguji spesimen) juga terlibat," kata Atik.
Namun, penambahan ini tidak diimbangi dengan sumber daya manusia (SDM). Selain memeriksa, petugas laboratorium harus memasukkan hasil pengujian ke data yang disiapkan. Tak heran hal ini membuat pengumuman hasil berjalan lambat.
"Kemudian karena pengujian sangat banyak, kemudian salah entri. Bisa saja terjadi tapi ini (salah entri) porsinya kecil," ungkap dia.
Permasalahan lainnya yakni uji polymerase chain reaction (PCR) yang belum merata di seluruh Indonesia. Uji usap itu masih terkonsentrasi di daerah tertentu.
Dia meminta agar uji tes korona lebih merata. Dengan begitu, pencegahan bisa dilakukan sedini mungkin jika terdapat temuan kasus di daerah tersebut.
"Ini (testing) sangat berpengaruh terhadap pemutusan rantai penularan," sebut dia.
Tracing
Pelacakan pasien yang dilakukan selama ini dianggap masih bermasalah, di antaranya keterbatasan SDM. Dia menyebutkan penelusuran kontak hanya dilakukan petugas puskesmas.
"Tetapi ini sebenarnya sudah dimulai dibuka para relawan yang banyak bersedia melakukan tracing," ungkap dia.
Permasalahan pelacakan ini semakin rumit karena ada kendala dalam menggali informasi kontak langsung pasien covid-19. Banyak masyarakat mengaku lupa dan akhirnya menjawab tidak.
"Ketika orang ditanya apakah sebelumnya kontak dengan ini, saat dijawab tidak, dia akan berhenti (menelusuri riwayat kontak dengan pasien covid-19)," sebut dia.
Selain itu, tak sedikit masyarakat yang tertutup. Publik takut akan stigma negatif pasien covid-19.
"Sehingga ada orang yang kadang menolak dilakukan pelacakan. Jadi ini persoalan di-tracing sehingga itu tidak berjalan maksimum," ujar dia.
Treatment
Atik menyebutkan kekurangan terdapat pada seluruh jenis penanganan pasien virus korona. Hal ini mulai dari isolasi mandiri maupun menjalani perawatan di tempat yang disediakan khusus oleh pemerintah.
Untuk isolasi mandiri, ada keterbatasan SDM pengawasan. Perbandingan tenaga kesehatan yang ditugaskan mengawasi tidak sebanding dengan jumlah masyarakat yang isolasi mandiri.
Sementara itu, treatment di lokasi khusus yang disediakan pemerintah terkendala dengan kesadaran masyarakat. Orang yang memiliki riwayat kontak langsung seharusnya bersedia mengisolasi mandiri atau dikarantina di lokasi yang sudah disiapkan.
Baca: Mini Lockdown Dinilai Cocok Diterapkan di Jakarta
Dia mengapresiasi langkah pemerintah menyediakan tempat isolasi khusus. Namun, langkah itu dianggap sia-sia karena rendahnya kesadaran masyarakat, baik itu kemauan menjalani isolasi karena memiliki riwayat kontak dengan pasien covid-19 atau masuk kategori orang tanpa gejala.
"Meskipun tersedia, orang tidak akan tahu pergi ke sana buat apa. Ini (kesadaran) yang harus dibangun," ujar dia.
Jakarta:
Testing, tracing, dan
treatment (3T) dianggap menjadi kunci pengendalian penyebaran virus korona (covid-19). Jika tidak berjalan baik, penyebaran
virus korona semakin tinggi.
"Strateginya (pencegahan penyebaran) sebenarnya ada 3T itu," kata epidemolog Universitas Airlangga Atik Choirul Hidayah kepada
Medcom.id, Selasa, 29 September 2020.
Atik menyebutkan penerapan 3T di lapangan memiliki sejumlah kendala. Masalah ini pun harus segera ditangani.
Testing
Atik menyebutkan fasilitas pengujian spesimen Indonesia sudah mulai membaik. Hal itu terlihat dengan semakin banyaknya laboratorium yang ditugaskan menguji spesimen.
"Bukan hanya jejaring laboratorium Kemenkes (Kementerian Kesehatan), saja tetapi juga rumah sakit yang dipandang punya kemampuan itu (menguji spesimen) juga terlibat," kata Atik.
Namun, penambahan ini tidak diimbangi dengan sumber daya manusia (SDM). Selain memeriksa, petugas laboratorium harus memasukkan hasil pengujian ke data yang disiapkan. Tak heran hal ini membuat pengumuman hasil berjalan lambat.
"Kemudian karena pengujian sangat banyak, kemudian salah entri. Bisa saja terjadi tapi ini (salah entri) porsinya kecil," ungkap dia.
Permasalahan lainnya yakni uji
polymerase chain reaction (PCR) yang belum merata di seluruh Indonesia. Uji usap itu masih terkonsentrasi di daerah tertentu.
Dia meminta agar uji tes korona lebih merata. Dengan begitu, pencegahan bisa dilakukan sedini mungkin jika terdapat temuan kasus di daerah tersebut.
"Ini (
testing) sangat berpengaruh terhadap pemutusan rantai penularan," sebut dia.
Tracing
Pelacakan pasien yang dilakukan selama ini dianggap masih bermasalah, di antaranya keterbatasan SDM. Dia menyebutkan penelusuran kontak hanya dilakukan petugas puskesmas.
"Tetapi ini sebenarnya sudah dimulai dibuka para relawan yang banyak bersedia melakukan
tracing," ungkap dia.
Permasalahan pelacakan ini semakin rumit karena ada kendala dalam menggali informasi kontak langsung pasien covid-19. Banyak masyarakat mengaku lupa dan akhirnya menjawab tidak.
"Ketika orang ditanya apakah sebelumnya kontak dengan ini, saat dijawab tidak, dia akan berhenti (menelusuri riwayat kontak dengan pasien covid-19)," sebut dia.
Selain itu, tak sedikit masyarakat yang tertutup. Publik takut akan stigma negatif pasien covid-19.
"Sehingga ada orang yang kadang menolak dilakukan pelacakan. Jadi ini persoalan di-
tracing sehingga itu tidak berjalan maksimum," ujar dia.
Treatment
Atik menyebutkan kekurangan terdapat pada seluruh jenis penanganan pasien
virus korona. Hal ini mulai dari isolasi mandiri maupun menjalani perawatan di tempat yang disediakan khusus oleh pemerintah.
Untuk isolasi mandiri, ada keterbatasan SDM pengawasan. Perbandingan tenaga kesehatan yang ditugaskan mengawasi tidak sebanding dengan jumlah masyarakat yang isolasi mandiri.
Sementara itu,
treatment di lokasi khusus yang disediakan pemerintah terkendala dengan kesadaran masyarakat. Orang yang memiliki riwayat kontak langsung seharusnya bersedia mengisolasi mandiri atau dikarantina di lokasi yang sudah disiapkan.
Baca:
Mini Lockdown Dinilai Cocok Diterapkan di Jakarta
Dia mengapresiasi langkah pemerintah menyediakan tempat isolasi khusus. Namun, langkah itu dianggap sia-sia karena rendahnya kesadaran masyarakat, baik itu kemauan menjalani isolasi karena memiliki riwayat kontak dengan pasien covid-19 atau masuk kategori orang tanpa gejala.
"Meskipun tersedia, orang tidak akan tahu pergi ke sana buat apa. Ini (kesadaran) yang harus dibangun," ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)