medcom.id, Jakarta: Tiada pelaut ulung yang lahir dari ombak yang tenang. Memang benar. Tapi jika tantangan itu justru menenggelamkan dan menyudahi petualangan, maka tak akan ada lagi cerita yang bisa diharap.
Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta menjadi impian para calon pelaut andal menimba ilmu. Di sana pula cita-cita Amirulloh Adityas Putra turut dititipkan. Sayangnya, hasrat itu kandas oleh tangan-tangan senior yang seolah tak menimbang rasa kemanusiaan. Amirulloh ambruk setelah dianiaya empat seniornya dari tingkat II, yakni SM, WH, I, dan AR.
Dalih kedisiplinan
Amirulloh mengembuskan napas terakhir sekira pukul 2.00 dini hari, Rabu 11 Januari 2017. Dengan Amirulloh menjadi korban tewas ini, maka menambah panjang catatan insiden kekerasan berujung maut di sekolah kedinasan dalam sepuluh tahun terakhir.
STIP Jakarta merupakan salah satu perguruan tinggi kedinasan di Indonesia di bawah naungan Kementerian Perhubungan. Tak sekali ini saja almamater ini melahirkan kabar yang cukup memprihatinkan. Pada 25 April 2014, seorang siswa bernama Dimas Dikita Handoko tewas dihajar senior lantaran dianggap tak menunjukkan rasa hormat.
Menteri Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi (Menristek Dikti), Muhammad Nashir, mengatakan berulangnya insiden serupa menunjukan tata kelola lembaga yang buruk. Perlu dilakukan perombakan dalam proses pembelajaran demi menjadikan sistem lebih baik.
Menurut Nashir, agar hal ini tidak melulu menimpa STIP maupun sekolah kedinasan yang lain, setidaknya dua hal yang dilakukan secara berani di dalamnya. Pertama, memotong generasi. Kedua, meningkatkan pengawasan.
“Dipangkas. Pembinaan mental harus dilaksanakan dosen. Mental pembinaan dan cara pandang kedisiplinan juga harus diubah,” kata Nashir kepada Metro TV, Kamis (12/1/2017).
Kejadian berulang, menurut Nashir, bukan terletak pada soal kurikulum maupun pola akademik. “Ini persoalan teknis. Kurikulum tidak bermasalah. Pola dan cara pandang dosen yang mesti diperbaiki,” kata Nashir.
Mewarnai kurikulum
Mengamini Nashir, pakar pendidikan, Doni Koesoema, mengatakan kekerasan dalam sebuah lembaga pendidikan terbentuk karena norma, peraturan, dan tradisi yang diwariskan. Sistem yang di dalamnya terdapat dosen dan manajemen lembaga lainnya menjadi faktor yang harus segera dibenahi.
“Polanya, ketika satu bentuk kekerasan ditolerir, maka secara tidak langsung mereka (dosen dan pembina) menyetujui berlangsungnya rantai kekerasan terus menerus,” kata Doni, kepada Metro TV, Kamis (12/1/2017).
Kekerasan, ia menambahkan, tidak berdiri sendiri. Dalam sekolah kedinasan, prilaku kekerasan kerap dilakukan dengan dalih menanamkan sikap kedisiplinan kepada angkatan sebawahnya.
Terlebih, STIP adalah wadah mendidik siswa menjadi pelaut profesional.
Baca: STIP Dinilai Mengingkari Janji
Menurut Doni, dalam pandangan senior, disiplin adalah modal utama menyelamatkan orang lain. Tidak disiplin, bisa mencelakakan orang banyak di tengah samudra. Padahal, kata Doni, disiplin hanya salah satu mekanisme. Ketika berkaca mereka tengah belajar di lembaga pendidikan kedinasan, maka hal utama adalah prinsip pelayanan publik.
“Dalam arti, hasil pendidikan itu kelak digunakan untuk membantu dan menjamin keselamatan orang lain. Bukan justru mencelakai,” kata Doni.
Dalam menanamkan nilai kedisiplinan, kata Doni, wajib disertai visi moral. “Istilahnya, fortiter in re, suaviter in modo. Tegas di dalam prinsip,” kata dia.
Reformasi secara keseluruhan dalam sekolah kedinasan menjadi tawaran terbaik. Meski dianggap tidak bermasalah, mewarnai padu padan di dalamnya tidak hanya bercorak militeristik makin tampak diperlukan.
“Kurikulum yang bisa menghaluskan budi sangat dibutuhkan,” kata Doni.
Mengapa berulang?
Sosiolog Universitas Indonesia (UI), Devi Rachmawati, mengatakan, kekerasan pendidikan memang tidak hanya terjadi dan ditemukan di Indonesia. Di negara-negara maju, hal serupa masih dianggap ancaman.
“Bedanya, negara maju mengawal proses penghapusan kekerasan secara serius. Misalnya, mendirikan lembaga riset khusus, atau menegaskan aturan terkait College Hazing (perpeloncoan),” kata Devi, kepada Metrotvnews.com, Kamis (12/1/2017).
Devi menceritakan, dari hasil riset yang terus dikembangkan itu, masyarakat luas diberitahukan tentang apa-apa yang boleh diwajarkan dan tidak dalam sebuah lembaga pendidikan. “Karena sebelumnya, ada riset menunjukan 44% anak AS tidak paham bahwa perpeloncoan dilarang,” kata dia.
Keseriusan negara lain dalam memberangus kekerasan ini ditunjukkan dengan frekuensi kejadian yang tidak berdekatan. Sementara di Indonesia, kasus itu bisa ditemukan hampir di setiap tahun pelajaran.
Baca: STIP Mengakui Kecolongan
“Sebut saja di Cornell University, peristiwa kekerasan terjadi pada 1873. Tapi, insiden serupa baru ditemukan lagi pada 2011 kemarin,” ujar dia.
Faktor keberulangan perkara ini bisa juga disumbang calon korban. Misalnya, kekerasan demi kekerasan yang terjadi atas nama senioritas itu tidak lekas diadukan atau disuarakan sebelum fatal.
Korban cenderung diam. Karena dari sisi sosiologis ada pemahaman dari korban bahwa rasa sakit dari kekerasan itu cuma bersifat sementara, tidak seberapa dengan kenyamanan dan keindahan yang akan diperoleh setelah bergabung, naik tingkat, atau mendapatkan identitas. “Ini yang kemudian membuatnya terus berulang. Seperti dendam,” kata Devi.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/Dkqj5A6K" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Jakarta: Tiada pelaut ulung yang lahir dari ombak yang tenang. Memang benar. Tapi jika tantangan itu justru menenggelamkan dan menyudahi petualangan, maka tak akan ada lagi cerita yang bisa diharap.
Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta menjadi impian para calon pelaut andal menimba ilmu. Di sana pula cita-cita Amirulloh Adityas Putra turut dititipkan. Sayangnya, hasrat itu kandas oleh tangan-tangan senior yang seolah tak menimbang rasa kemanusiaan. Amirulloh ambruk setelah dianiaya empat seniornya dari tingkat II, yakni SM, WH, I, dan AR.
Dalih kedisiplinan
Amirulloh mengembuskan napas terakhir sekira pukul 2.00 dini hari, Rabu 11 Januari 2017. Dengan Amirulloh menjadi korban tewas ini, maka menambah panjang catatan insiden kekerasan berujung maut di sekolah kedinasan dalam sepuluh tahun terakhir.
STIP Jakarta merupakan salah satu perguruan tinggi kedinasan di Indonesia di bawah naungan Kementerian Perhubungan. Tak sekali ini saja almamater ini melahirkan kabar yang cukup memprihatinkan. Pada 25 April 2014, seorang siswa bernama Dimas Dikita Handoko tewas dihajar senior lantaran dianggap tak menunjukkan rasa hormat.
Menteri Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi (Menristek Dikti), Muhammad Nashir, mengatakan berulangnya insiden serupa menunjukan tata kelola lembaga yang buruk. Perlu dilakukan perombakan dalam proses pembelajaran demi menjadikan sistem lebih baik.
Menurut Nashir, agar hal ini tidak melulu menimpa STIP maupun sekolah kedinasan yang lain, setidaknya dua hal yang dilakukan secara berani di dalamnya.
Pertama, memotong generasi.
Kedua, meningkatkan pengawasan.
“Dipangkas. Pembinaan mental harus dilaksanakan dosen. Mental pembinaan dan cara pandang kedisiplinan juga harus diubah,” kata Nashir kepada
Metro TV, Kamis (12/1/2017).
Kejadian berulang, menurut Nashir, bukan terletak pada soal kurikulum maupun pola akademik. “Ini persoalan teknis. Kurikulum tidak bermasalah. Pola dan cara pandang dosen yang mesti diperbaiki,” kata Nashir.
Mewarnai kurikulum
Mengamini Nashir, pakar pendidikan, Doni Koesoema, mengatakan kekerasan dalam sebuah lembaga pendidikan terbentuk karena norma, peraturan, dan tradisi yang diwariskan. Sistem yang di dalamnya terdapat dosen dan manajemen lembaga lainnya menjadi faktor yang harus segera dibenahi.
“Polanya, ketika satu bentuk kekerasan ditolerir, maka secara tidak langsung mereka (dosen dan pembina) menyetujui berlangsungnya rantai kekerasan terus menerus,” kata Doni, kepada
Metro TV, Kamis (12/1/2017).
Kekerasan, ia menambahkan, tidak berdiri sendiri. Dalam sekolah kedinasan, prilaku kekerasan kerap dilakukan dengan dalih menanamkan sikap kedisiplinan kepada angkatan sebawahnya.
Terlebih, STIP adalah wadah mendidik siswa menjadi pelaut profesional.
Baca: STIP Dinilai Mengingkari Janji
Menurut Doni, dalam pandangan senior, disiplin adalah modal utama menyelamatkan orang lain. Tidak disiplin, bisa mencelakakan orang banyak di tengah samudra. Padahal, kata Doni, disiplin hanya salah satu mekanisme. Ketika berkaca mereka tengah belajar di lembaga pendidikan kedinasan, maka hal utama adalah prinsip pelayanan publik.
“Dalam arti, hasil pendidikan itu kelak digunakan untuk membantu dan menjamin keselamatan orang lain. Bukan justru mencelakai,” kata Doni.
Dalam menanamkan nilai kedisiplinan, kata Doni, wajib disertai visi moral. “Istilahnya,
fortiter in re, suaviter in modo. Tegas di dalam prinsip,” kata dia.
Reformasi secara keseluruhan dalam sekolah kedinasan menjadi tawaran terbaik. Meski dianggap tidak bermasalah, mewarnai padu padan di dalamnya tidak hanya bercorak militeristik makin tampak diperlukan.
“Kurikulum yang bisa menghaluskan budi sangat dibutuhkan,” kata Doni.
Mengapa berulang?
Sosiolog Universitas Indonesia (UI), Devi Rachmawati, mengatakan, kekerasan pendidikan memang tidak hanya terjadi dan ditemukan di Indonesia. Di negara-negara maju, hal serupa masih dianggap ancaman.
“Bedanya, negara maju mengawal proses penghapusan kekerasan secara serius. Misalnya, mendirikan lembaga riset khusus, atau menegaskan aturan terkait
College Hazing (perpeloncoan),” kata Devi, kepada
Metrotvnews.com, Kamis (12/1/2017).
Devi menceritakan, dari hasil riset yang terus dikembangkan itu, masyarakat luas diberitahukan tentang apa-apa yang boleh diwajarkan dan tidak dalam sebuah lembaga pendidikan. “Karena sebelumnya, ada riset menunjukan 44% anak AS tidak paham bahwa perpeloncoan dilarang,” kata dia.
Keseriusan negara lain dalam memberangus kekerasan ini ditunjukkan dengan frekuensi kejadian yang tidak berdekatan. Sementara di Indonesia, kasus itu bisa ditemukan hampir di setiap tahun pelajaran.
Baca: STIP Mengakui Kecolongan
“Sebut saja di Cornell University, peristiwa kekerasan terjadi pada 1873. Tapi, insiden serupa baru ditemukan lagi pada 2011 kemarin,” ujar dia.
Faktor keberulangan perkara ini bisa juga disumbang calon korban. Misalnya, kekerasan demi kekerasan yang terjadi atas nama senioritas itu tidak lekas diadukan atau disuarakan sebelum fatal.
Korban cenderung diam. Karena dari sisi sosiologis ada pemahaman dari korban bahwa rasa sakit dari kekerasan itu cuma bersifat sementara, tidak seberapa dengan kenyamanan dan keindahan yang akan diperoleh setelah bergabung, naik tingkat, atau mendapatkan identitas. “Ini yang kemudian membuatnya terus berulang. Seperti dendam,” kata Devi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADM)