Jakarta: Dokter spesialis anak dari Yayasan Orang Tua Peduli, Windhi Kresnawati, meluruskan sejumlah informasi keliru soal vaksin virus. Disinformasi vaksin menyebabkan masyarakat ogah menjalani vaksinasi kendati penting bagi kesehatan.
"Tidak sedikit mitos yang membuat masyarakat enggan menjalani vaksinasi," kata Windhi dalam keterangan tertulis, Selasa, 13 Oktober 2020.
Windhi menyebut mitos pertama, yakni penyakit infeksi bisa dihindari dengan gaya hidup sehat. Dia bilang, pola hidup sehat memang baik namun belum cukup ampun menangkan infeksi penyakit tertentu.
Windi mencontohkan munculnya vaksin campak di Amerika Serikat (AS) pada 1963. Penyakit itu berangsur-angsur hilang hingga pada 1974 AS dinyatakan bebas dari campak.
"Pola dan gaya hidup warga AS tidak ada perubahan dalam kurun waktu itu. Artinya, peran terbesar hilangnya campak adalah imunisasi, bukan semata-mata gaya hidup sehat," kata dia.
Mitos kedua, yakni anak yang tetap sakit meski sudah divaksinasi. Windhi mengatakan saat sakit, tingkat keparahan anak yang divaksinasi relatif lebih ringan dibanding yang belum divaksinasi.
"Anak yang diimunisasi bila sakit akan terhindar dari kecacatan hingga kematian," ujar Windhi.
Windhi meluruskan mitos berikutnya yaitu vaksin mengandung zat berbahaya. Dia menjelaskan vaksin yang diproduksi massal harus memenuhi syarat utama, yakni aman, efektif, stabil, dan efisien.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bakal langsung menarik vaksin jika memiliki efek samping. Biasanya, efek samping terdeteksi saat fase awal sebelum diproduksi massal.
Windhi juga memastikan mitos soal vaksin yang menyebabkan autisme. Dia mengatakan tidak ada hubungan antara kandungan vaksin berupa thimerosal terhadap autisme pada anak. Thimerosal sempat dituding sebagai pemicu autisme anak.
"AS pernah menghapus kandungan thimerosal pada 1999. Tapi faktanya, setelah thimerosal dihapuskan, angka autisme di AS tidak turun artinya tidak ada korelasi," ucap dia.
Mitos selanjutnya adalah vaksin mengandung sel janin aborsi. Windhi menuturkan virus memang perlu inang berupa sel hidup untuk berkembang biak.
Dalam pembuatan vaksin, virus akan menginfeksi sel hidup itu dan diproduksi berulang-ulang selama bertahun-tahun dengan meninggalkan sel awal. Sedangkan yang diambil sebagai komponen vaksin adalah bagian dari virus itu sendiri.
"Lantas apakah dalam vaksin ada sel janin? Jawabannya, hanya ada hasil produknya, yakni berupa virusnya saja," kata Windhi.
Baca: Relawan Vaksin Covid-19 Merasa Sering Lapar
Mitos keenam, yaitu penyakit yang sudah ada vaksinnya tidak perlu divaksinasi lagi. Windhi menyebut informasi itu hoaks lantaran data menunjukan penurunan angka vaksinasi memicu kenaikan penyakit spesifik yang dilawan vaksin tersebut.
Windhi mencontohkan wabah difteri di Jawa pada 2017. Wabah itu akhirnya merembet ke Sumatra karena imunisasi nasional terlambat dilakukan.
Mitos lainnya, lanjut Windhi, adalah isu halal dan haram sebuah vaksin. Dia mengatakan polemik itu hanya terjadi di Indonesia.
"Bahkan di Timur Tengah dengan negara berpenduduk mayoritas Muslim, pro kontra terhadap kehalalan vaksin tidak terjadi," ucap dia.
Windhi mengatakan pemicu polemik itu di Indonesia lantaran ada Trypsin yang dipinjam dari enzim babi untuk mendapatkan komponen vaksin. Namun, tidak ada bagian babi yang masuk dalam vaksin.
"Enzim ini akan dimurnikan kembali sehingga komponen perantara tidak ikut masuk pada vaksin. Ketika dalam proses pembuatannya bersinggungan dengan enzim dari babi, pada produksi akhirnya hanya virus yang masuk dalam vaksin," kata Windhi.
Jakarta: Dokter spesialis anak dari Yayasan Orang Tua Peduli, Windhi Kresnawati, meluruskan sejumlah informasi keliru soal vaksin
virus. Disinformasi vaksin menyebabkan masyarakat ogah menjalani vaksinasi kendati penting bagi kesehatan.
"Tidak sedikit mitos yang membuat masyarakat enggan menjalani vaksinasi," kata Windhi dalam keterangan tertulis, Selasa, 13 Oktober 2020.
Windhi menyebut mitos pertama, yakni penyakit infeksi bisa dihindari dengan gaya hidup sehat. Dia bilang, pola hidup sehat memang baik namun belum cukup ampun menangkan infeksi penyakit tertentu.
Windi mencontohkan munculnya vaksin campak di Amerika Serikat (AS) pada 1963. Penyakit itu berangsur-angsur hilang hingga pada 1974 AS dinyatakan bebas dari campak.
"Pola dan gaya hidup warga AS tidak ada perubahan dalam kurun waktu itu. Artinya, peran terbesar hilangnya campak adalah imunisasi, bukan semata-mata gaya hidup sehat," kata dia.
Mitos kedua, yakni anak yang tetap sakit meski sudah divaksinasi. Windhi mengatakan saat sakit, tingkat keparahan anak yang divaksinasi relatif lebih ringan dibanding yang belum divaksinasi.
"Anak yang diimunisasi bila sakit akan terhindar dari kecacatan hingga kematian," ujar Windhi.
Windhi meluruskan mitos berikutnya yaitu vaksin mengandung zat berbahaya. Dia menjelaskan vaksin yang diproduksi massal harus memenuhi syarat utama, yakni aman, efektif, stabil, dan efisien.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bakal langsung menarik vaksin jika memiliki efek samping. Biasanya, efek samping terdeteksi saat fase awal sebelum diproduksi massal.
Windhi juga memastikan mitos soal vaksin yang menyebabkan autisme. Dia mengatakan tidak ada hubungan antara kandungan vaksin berupa thimerosal terhadap autisme pada anak. Thimerosal sempat dituding sebagai pemicu autisme anak.
"AS pernah menghapus kandungan thimerosal pada 1999. Tapi faktanya, setelah thimerosal dihapuskan, angka autisme di AS tidak turun artinya tidak ada korelasi," ucap dia.