Pendukung Basuki Tjahaja Purnama menyalakan lilin di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Sabtu (13/5)/ANTARA FOTO/Galih Pradipta
Pendukung Basuki Tjahaja Purnama menyalakan lilin di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Sabtu (13/5)/ANTARA FOTO/Galih Pradipta

FOKUS

Adil Menyalakan Lilin

Sobih AW Adnan • 15 Mei 2017 23:30
medcom.id, Jakarta: Lebih baik menyalakan lilin, dari pada mengutuk diri dalam kegelapan.
 
Bukan peribahasa asing. Pesan itu kian masyhur ketika dikutip Presiden Amerika Serikat (AS) John F. Kennedy dalam pidatonya pada 10 Desember 1961. Banyak pula yang menduga, ungkapan ini muncul pertama kali di media cetak Inggris terbitan 1907. Tepatnya, dalam sebuah halaman yang memuat khotbah William Lonsdale Watkinson.
 
Lilin, banyak dijadikan metafora untuk gerakan pencerahan. Melebihi sebagai kiasan, lilin kemudian menjadi simbol unjuk rasa tanpa kekerasan. Kegiatan yang banyak disebut sebagai aksi simpatik.

Di Indonesia, jauh sebelum aksi Seribu Lilin Dukung Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama merebak di mana-mana, kegiatan serupa lazim digunakan para aktivis kemanusiaan untuk menyuarakan aspirasi dan tuntutan mereka. Yang paling fenomenal, ketika lebih dari 500 perempuan yang terdiri dari aktivis dan mahasiswi menyalakan lilin di Jakarta dan banyak kota lainnya sebagai ungkapan rasa prihatin atas tragedi rasial dalam kerusuhan Mei 1998.
 
Sebagai dukungan dan penyampaian rasa simpati, tak ada yang perlu dikhawatirkan dari aksi-aksi simpatik seperti ini. Bahkan, elok benar jika setiap unjuk rasa yang umumnya berpotensi gontok-gontokan dan suasana tegang ditradisikan dalam kegiatan lebih damai menggunakan simbol lilin, balon, maupun kembang.
 
Tak perlu khawatir
 
Aksi Seribu Lilin Dukungan untuk Ahok tentu menyulut pro-kontra. Kegiatan simpatik yang dilakukan suka rela di 33 kota di dalam negeri dan puluhan titik di negara lain itu dikhawatirkan malah memperuncing konflik yang sudah terbentuk pasca Pilkada DKI Jakarta 2017.
 
Suara lain, bahkan menyebut para penggiatnya sebagai barisan orang-orang yang tak bisa lekas move on. Orang-orang yang tak bisa menerima kekalahan.
 
Padahal, belum tentu benar. Mereka yang terlibat malah bilang, Ahok cuma amsal. Yang jauh lebih perlu adalah menguatkan kembali pesan-pesan kebinekaan demi menjaga keutuhan negara.
 
"Kami mendukung pemerintahan Presiden Jokowi untuk menindak radikalisme dan ekstremisme di Indonesia, demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila serta Bhinneka Tunggal Ika," kata Toar Lumingkewas, saat mengikuti Aksi Seribu Lilin untuk Ahok di Los Angeles, AS, Minggu, 14 Mei 2017.
 
Soal vonis Ahok, mereka anggap sebagai akibat proses hukum yang penuh dengan tekanan. Aksi-aksi itu mereka jadikan penanda dari kebangkitan 'silent majority' yang selama ini lebih banyak berinisiatif untuk tidak terpancing.
 
Selebihnya, lagi-lagi, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Apalagi dihadapi dengan aksi penyetopan dan pembubaran seperti yang terjadi di Yogyakarta, pada Rabu, 10 Mei 2017. Atau di Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu, 13 Mei 2017.
 
Berebut simbol
 
Yang mesti dijadikan perhatian bersama, istilah aksi simpatik belakangan makin sering dipakai. Padahal, aksi damai, atau gerakan damai, bukan cuma mengacu pada bagaimana kondisi saat kegiatan itu berlangsung.
 
Menurut Gene Sharp dalam From Democratorship to Democracy (1993), misalnya, aksi damai bukan hanya nihil keributan. Tapi, bagaimana gerakan itu berpegang teguh dan berjalan selaras dengan apa yang menjadi tujuan dan cita-cita aksi.
 
"Tidak semua orang yang menggunakan kata 'perdamaian' menginginkan perdamaian yang disertai kebebasan dan keadilan," tulis Sharp.
 
Ya. Kebebasan dan keadilan. Kebebasan menyampaikan suara, dan berkeadilan dalam bertindak sehingga tidak mengganggu kepentingan kelompok lain.
 
Pelajaran menarik tentu berharga dipetik. Betapapun, kekerasan komunal tak perlu terjadi dalam praktik demokrasi di ruang publik. Gene Sharp punya saran; lazimnya, protes bertujuan melawan kekuasaan yang lalim.
 
Masalahnya, saat ini, kekuasaan ada di tangan siapa, dalam bentuk apa, dan beroperasi dengan cara bagaimana.
 
Jika kekuasaan bersifat komunal, atau negara tidak hadir sehingga kekuasaan yang bersifat ilegal merajalela, bagaimana mengontrolnya. Lalu, jika kekuasaan itu penting untuk dilawan, apa yang bisa ditawarkan oleh metode nonviolence atau nonkekerasan.
 
Konsep kekuasaan yang ditawarkan Gene Sharp makin penting. Kekuasaan tak semata dipahami sebagai sebentuk kekuasaan formal yang ada pada negara. Kekuasaan, justru terdefinisi sebagai sesuatu yang mampu menembus kesadaran terdalam pada masyarakat, dan bisa langgeng karena menciptakan kepatuhan. Dengan kata lain, jika kepatuhan masyarakat berakhir, maka kekuasaan itu akan bubar.
 
Aksi non-kekerasan dengan menggunakan lilin, bunga, atau balon merupakan gerakan simbolis. Tak ada kekerasan verbal, kekerasan simbol, apalagi kekerasan fisik. Gerakan macam itu berusaha secara efektif membebaskan masyarakat dari jenis kesadaran tertentu, yang melanggengkan pembenaran atas sistem kepatuhan tertentu.  
 
Kebebasan berkontestasi menyuarakan kesadaran kritis di ruang publik adalah prasyarat bagi demokrasi yang sehat. Tetapi kesepakatan atas syarat atau aturan berkontestasi menjadi penting di ranah demokrasi.  
 
Belum lama kita disuguhi pemandangan ini. Pembubaran rencana aksi Seribu Lilin untuk Ahok di Makassar, misalnya, dilakukan oleh serombongan orang yang mengaku berasal dari ormas Front Pembela Islam (FPI). Padahal dalih yang digunakan dari aksi pencegatan itu adalah ketiadaan izin yang dipegang penyelenggara acara.
 
Ada dua pelajaran penting yang bisa diambil dari peristiwa ini. Pertama, ormas sudah semestinya tidak boleh main hakim sendiri. Apalagi, perkara izin tidak izin menjadi kewenangan pemerintah setempat atau aparat keamanan.
 
Kedua,
pun para simpatisan aksi, tak pantas jika gerakan mendukung seorang Ahok yang dinilai sangat taat hukum justru dilakukan dengan cara yang berkebalikan. Semangat Ahok menghormati proses hukum selama persidangan mesti dijadikan teladan dan prinsip perjuangan.
 
Karena pada akhirnya, yang muncul cuma berebut simbol. Seperti yang sudah lama berlangsung, mana yang layak disebut aksi simpatik atau mana yang lebih merusak dan mengancam NKRI? Kesannya, cuma saling klaim.
 
Pada titik inilah pesan Gene Sharp menjadi sangat relevan. Metode perjuangan non-kekerasan tak serta merta mengubah struktur kekuasaan, kebencian, prasangka ras, dan aneka pertentangan menjadi suasana damai dan harmonis.
 
Yang terpenting untuk dipahami, metode non-kekerasan justru hadir dengan kemampuan penting ini. Metode itu mampu hadir mentransformasi sistem kepatuhan yang melanggengkan ketidakadilan dan penindasan.
 
Mungkin, memang butuh waktu lama memetik hasilnya. Tak apa jika harus begitu. Yang terpenting adalah memastikan bahwa transformasi itu benar-benar terjadi.
 
Dan memang, lebih baik berani menyalakan lilin.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan