Presiden Joko Widodo mengunjungi Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur, Kamis (1/10/2015)/ANTARA/Agung Rajasa
Presiden Joko Widodo mengunjungi Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur, Kamis (1/10/2015)/ANTARA/Agung Rajasa

FOKUS

PKI Adalah Kunci

Sobih AW Adnan • 30 September 2017 20:52
medcom.id, Jakarta: Lain lubuk lain belalang, beda pula perkara di dunia nyata dan media sosial.
 
Jika di jagat maya saat ini tengah dihebohkan dengan kengerian bangkitnya paham komunisme, maka di masyarakat kenyataan; tidak.
 
Fakta ini, baru saja dirilis Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Dari hasil survei itu dikatakan bahwa sebanyak 86,8% atau kebanyakan warga tidak sependapat dengan desas-desus adanya kebangkitan Partai Komunis Indonesia, alias PKI. 

Kabar angin itu, diduga sengaja diembuskan kelompok politik tertentu. Malahan, kental hubungannya dengan dampak Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 sekaligus jelang momen serupa di 2019.
 
PKI, menjadi semacam kata kunci bagi sekelompok orang demi meraup simpati.
 
Baca: SMRC: Isu Kebangkitan PKI Digerakkan Kekuatan Politik
 
Isu PKI era Jokowi
 
Pilpres 2014 menyisakan banyak hal. Yang baik, maupun yang buruk.
 
Yang baik, di pilpres yang menghadapkan dua calon itu ternyata mampu meningkatkan partisipasi politik yang sebelumnya kian melempem.
 
Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) 2014 menunjukkan, dari total pemilih terdaftar sebanyak 193.944.150 jiwa, ada 134.953.967 atau sekitar 69,58% pemilih yang menggunakan haknya. 
 
Jumlah itu, relatif naik dibanding Pilpres 2009 yang cuma berhasil diramaikan partisipasi pemilih sebesar 127.983.655 orang. Itu pun, dengan angka golput (tidak menentukan pilihan dengan baik) sebanyak 43.085.012 pencoblos. 
 
Apalagi, Pilpres 2004. Pada putaran kedua, partisipasi pemilihnya hanya 116.662.705 orang dengan jumlah golput 33.981.497 orang alias 22,56% dari total nama di daftar pemilih tetap (DPT).
 
Bekas buruknya, Pilpres 2014 seakan-akan mencatatkan dirinya sebagai pesta demokrasi dengan kampanye hitam, propaganda negatif, politik identitas, dan ketersinggungan suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA) terpanas di sepanjang sejarah.
 
Kedua pasangan calon, baik Prabowo Subianto-Hatta Rajasa maupun Joko Widodo-Jusuf Kalla merasakan serangan serupa. Meski bicara angka, keduanya mendapatkan porsi yang berbeda.
 
Politicawave, misalnya, pada Juni 2014 merilis bahwa selama masa kampanye berlangsung, pasangan Jokowi-JK lebih banyak mendapatkan serangan. 
 
Persentasenya tidak main-main, yakni sebanyak 94,9% kampanye hitam dan 5,1% kampanye negatif. Sementara Prabowo-Hatta cuma menerima serangan kampanye hitam sebesar 13,5% dan kampanye negatif sebanyak 86,5%.
 
Kampanye negatif yang paling santer beredar, di antaranya isu keturunan PKI yang menyasar calon presiden Jokowi.
 
Dan sampai kini, rupa-rupanya, angka itu tak bergeser jauh. Masih dari rilis survei SMRC tempo hari, dikatakan bahwa isu kebangkitan PKI tampak kental dan tumbuh subur dalam kelompok-kelompok pendukung Prabowo Subianto saat Pilpres 2014. Besarannya, dari 46,85% suara yang mendukung Prabowo-Hatta, sebanyak 19% di antaranya percaya bahwa sekarang ini memang tengah terjadi sebabak kebangkitan PKI.
 
Isu PKI di era Jokowi memang tak pernah sepi. Bahkan, menjelma tema tahunan yang amat mungkin akan digoreng kembali dalam pertarungan 2019 nanti.
 
Baca: [Fokus] Hantu PKI Hari Ini
 
Khasiat teror PKI
 
Pascakematiannya di sepanjang 1965-1966, PKI menjadi hantu menakutkan yang justru tak sekali dua digunakan pemerintah Orde Baru (Orba) untuk mengendalikan "stabilitas" negara.
 
PKI dicap pemerintahan Presiden Soeharto sebagai bahaya laten. Siapa yang coba-coba membangkitkannya, maka mesti siap berurusan dengan perangkat hukum dan tindakan yang memang diformalkan.
 
Aturan itu, terutama yang termaktub dalam Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI, pernyataan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, dan larangan menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme.
 
PKI Adalah Kunci
Dosa PKI, yang dianggap teribat dalam Gerakan 30 September menjadi senjata yang juga digunakan selama tetahunan. Label perongrong Pancasila bisa pula disasarkan pemerintah Orba kepada siapa saja yang dianggap berseberangan.
 
Teror PKI ini, lantas menjadi alat represif pemerintahan militeristik Soeharto hampir di seluruh bidang. Bahkan, segala hal yang berbau komunisme. 
 
"Kreativitas visual baik berupa ilustrasi maupun fotografi yang dapat diasosiasikan atau dikonotasikan berbau kerakyatan dan menyinggung pertentangan kelas (yang dapat ditafsirkan sebagai paham komunisme) selalu dihindari," tulis Albertus Budi Susanto, dalam Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia (2003).
 
Propaganda antikomunisme, sekaligus pelarangan terhadap ide kebangkitan/pembentukan partai politik sejenis PKI ini, bukan tanpa dampak. Selama 32 tahun, pemerintah Orba juga diindikasi menjadikan isu tersebut untuk menekan daya kritis di masyarakat.
 
"Rakyat fobia atau proletariat fobia di segala lini ekspresi kebudayaan itu membentuk wacana iklan menjadi semakin menjauhi realitas pahit atau ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakatnya sebagai suatu sumber gagasan kreatif komunikasi," tulis Albertus, masih dalam buku yang sama.
 
Maka, tak salah, jika istilah "kerakyatan" yang memang sejak mula melingkupi pribadi Jokowi kian empuk dijadikan sebagai sasaran isu PKI. Berbeda dengan masa Orba, isu PKI hari ini malah digunakan sekelompok orang untuk menjatuhkan muruah pemerintah. 
 
Meminjam kutipan khas tentang Pulau Jawa oleh ketua partai palu arit D.N Aidit dalam film Pengkhianatan G30S/PKI, maka, barangkali musuh-musuh Jokowi memang menganggap; "PKI adalah kunci."
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan