medcom.id, Jakarta: Kalimat "Darah itu merah, jenderal...", menjelma nukilan sinis yang paling mudah dihafal.
Keberadaannya, menyempurnakan adegan kekerasan, ceceran darah, musik pengiring yang seram; khas film yang wajib ditonton saban 30 September malam.
Film dokudrama berjudul Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI ini, pernah diarahkan sebagai sumber tunggal kisah peralihan kekuasaan pemerintah Indonesia. Bahkan, bagi pelajar era 1990-an, karya Arifin C. Noer itu menjadi bagian dari mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB).
Keadaan yang tentu tak lagi dijumpai pascareformasi 1998. Terutama, setelah keran kebebasan berpendapat dibuka. Lantas, ada yang bilang, film garapan tahun 1984 itu, tak lain sekadar alat propaganda penguasa Orde Baru (Orba).
Nyaris selama 20 tahun berikutnya, menonton film bermodal Rp800 juta itu sekadar perkara sunah. Film-film dokumenter pengimbang pun, mulai bermunculan.
Jagal; The Act of Killing (2012) dan Senyap; The Look of Silence (2014) karya Joshua Oppenheimer, menjadi dua judul dokumenter yang paling banyak dibicarakan.
Daur ulang film usang
Pengkhianatan G30S PKI bercerita potret peristiwa 1965. Akan tetapi muncul anggapan, film berdurasi 271 menit ini tak lebih berisi klaim hitam dan putih.
Banyak pula yang menilai, film tersebut cuma sedang menonjolkan Presiden Soeharto dan Angkatan Darat (AD) sebagai pahlawan. Sementara konteks lain yang tak kalah penting, cenderung ditinggalkan.
Kritik demi kritik seolah tak pernah tuntas. Sedangkan rekonsiliasi antarkorban pascaperistiwa September 1965, masih sebatas cita-cita dan menemui jalan berat dan terjal.
Belakangan, usulan memberikan wawasan sejarah peristiwa September 1965 kepada generasi baru kembali menggema. Sikap pemerintah Orba melabeli marxisme-leninisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai bahaya laten, dinilai bukan sesuatu yang melulu keliru.
Di saat bersamaan, ada banyak tantangan yang tengah menyertai semangat konsolidasi demokrasi di Indonesia. Radikalisme, terorisme, dan kebangkitan "hantu" komunis, diduga turut merongrong Pancasila dan mengancam kesatuan negara.
Baca: [FOKUS] Hantu PKI Hari Ini
Untuk poin terakhir, banyak juga yang khawatir, generasi anyar, tak tahu menahu tentang bahaya komunisme lantaran tak ada penggemblengan wawasan sejarah serupa yang didapatkan pendahulunya di masa silam.
Alhasil, muncul desakan film G30S PKI penting diputar ulang.
Tuntutan yang sebenarnya masih diramaikan pro-kontra. Sebab, isu kebangkitan PKI yang mencuat, diduga sengaja "digoreng" demi kepentingan politik sesaat.
Bijaknya, Presiden Joko Widodo tak tinggal diam. Baru-baru ini, ada semacam jalan tengah yang rupanya tengah dia tawarkan.
"Menonton film, apalagi mengenai sejarah; itu penting. Tapi, untuk anak-anak millenial, tentu mesti dibuatkan lagi film yang bisa masuk ke mereka. Biar mereka paham bahaya komunisme, biar tahu juga mengenai PKI," kata Presiden di Jembatan Gantung Mangunsuko, Magelang, Jawa Tengah, Senin 18 September 2017.
Meski tak ada keterangan lanjut yang lebih detail, tawaran Presiden sah-sah saja jika dimaknai dua perkara.
Pertama, pembaruan konten. Kedua, peningkatan teknologi pembuatan film yang lebih selaras dengan tuntutan zaman.
Soal menyulap film lawas, toh dunia sinema Indonesia sudah cukup pengalaman. Bisa melalui teknis restorasi seperti yang dilakukan pada film Tiga Dara (1957), atau dengan tren remake semisal Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part I dan II (2016 dan 2017).
Baca: Panglima TNI Mengaku Dapat Restu Presiden Putar Film G30S/PKI
Titik bidik selera millenial
Dari dua tafsir pembaruan ala-Jokowi itu, jika dikaitkan dengan pematangan konten, maka pihak terkait mesti memiliki semangat membuka dialog dengan banyak sumber demi mendapatkan film yang lebih mumpuni.
Proses produksinya, bisa pula dilakukan dengan menimbang data-data penelitian mutakhir ihwal peristiwa 1965. Para ahli di pelbagai perguruan tinggi pun, perlu juga dilibatkan dalam diskusi praproduksi.
Sementara bila lebih mengarah kepada peremajaan film, maka persoalannya terletak pada pematangan kualitas dan teknis, dan tentu hal ini lebih fokus dalam persoalan teknologi. Misalnya, dengan mengkonversi kualitas gambarnya secara digital, maupun menjadi format video definisi tinggi, alias cakram blu-ray.
Meski, berbicara millenial alias generasi muda masa kini, akan berkaitan juga dengan pergeseran pandangan dan selera. Label yang keumuman disasarkan pada angkatan usia 15–34 tahun itu, memang memberikan garis pembeda yang jelas dari para pendahulunya.
Mengenai ini, serupa hasil studi yang dirilis Boston Consulting Group (BCG) dan University of Berkley pada 2011 lalu. Dalam riset berjudul American Millennials: Deciphering the Enigma Generation itu disebut, generasi millenial lebih percaya kepada sumber perorangan, ketimbang arus informasi yang bersifat searah.
Jelasnya, angkatan baru ini tidak terlalu memiliki kepercayaan dengan institusi besar dan resmi, terlebih negara dalam mempertimbangkan obyek yang hendak dikonsumsi. Kebanyakan dari mereka, lebih condong meyakini dari hasil produk perseorangan yang mereka temukan sendiri di internet.
Pada 2014, Pew Research Center juga merilis fakta bahwa dari sisi pandangan politik, generasi millennial di AS bahkan berlainan secara ras dan etnis.
Sekitar 51% millennial kulit putih mengatakan, mereka independen secara politik. Selebihnya, terafilisasi Partai Republik sebesar 24% dan Partai Demokrat sekitar 19%.
Sedangkan angkatan millennial non-kulit putih, sebesar 47% mengaku independen secara politik, tapi ada 37% yang mengidentifikasi terafiliasi dengan Partai Demokrat dan hanya 9% dengan Partai Republik.
Artinya, generasi millennial cenderung bebas dan rasional. Mereka, tidak mudah tunduk kepada institusi. Maka, terkait wacana pembaruan film sejarah September 1965, pemerintah tak bisa asal buat dengan kualitas dan muatan konten biasa saja.
Belum lagi, soal kelayakan gambar dan tayangan secara moral. Pemerintah tidak boleh lupa, masa Orba belum ada Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman, UU No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran atau Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2014 Tentang Lembaga Sensor Film, atau regulasi lain yang memagari dengan ketat kriteria layak-tidaknya sebuah tayangan.
Lebih-lebih, jika mengacu Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS). Dalam Pasal 23 BAB XIII tentang Pelarangan dan Pembatasan Kekerasan disebutkan;
Program siaran yang memuat adegan kekerasan dilarang menampilkan secara detail peristiwa kekerasan; menampilkan manusia atau bagian tubuh yang berdarah-darah atau dalam kondisi mengenaskan; menampilkan tindak sadis terhadap manusia atau hewan; menampilkan adegan memakan hewan dengan cara tak lazim.
Aturan-aturan itu, sudah barang tentu menajdikan film Pengkhianatan G30S PKI; tak dapat banyak menghindar.
Dunia sudah berubah. Omong-omong sejarah, tak boleh lagi cuma berlandas atas suka-tidak suka. Sejarah, bukan pula barang yang boleh dipaksakan dimiliki satu pihak; secara mutlak.
Interpretasi kebenaran sejarah, juga ada pada ruang yang menampung kemajemukan. Sebab, sejarah amat mungkin bersifat multifaceted, luwes, dan beragam.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/Rb1OnJ3K" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Jakarta: Kalimat "Darah itu merah, jenderal...", menjelma nukilan sinis yang paling mudah dihafal.
Keberadaannya, menyempurnakan adegan kekerasan, ceceran darah, musik pengiring yang seram; khas film yang wajib ditonton saban 30 September malam.
Film dokudrama berjudul
Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI ini, pernah diarahkan sebagai sumber tunggal kisah peralihan kekuasaan pemerintah Indonesia. Bahkan, bagi pelajar era 1990-an, karya Arifin C. Noer itu menjadi bagian dari mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB).
Keadaan yang tentu tak lagi dijumpai pascareformasi 1998. Terutama, setelah keran kebebasan berpendapat dibuka. Lantas, ada yang bilang, film garapan tahun 1984 itu, tak lain sekadar alat propaganda penguasa Orde Baru (Orba).
Nyaris selama 20 tahun berikutnya, menonton film bermodal Rp800 juta itu sekadar perkara sunah. Film-film dokumenter pengimbang pun, mulai bermunculan.
Jagal; The Act of Killing (2012) dan
Senyap; The Look of Silence (2014) karya Joshua Oppenheimer, menjadi dua judul dokumenter yang paling banyak dibicarakan.
Daur ulang film usang
Pengkhianatan G30S PKI bercerita potret peristiwa 1965. Akan tetapi muncul anggapan, film berdurasi 271 menit ini tak lebih berisi klaim hitam dan putih.
Banyak pula yang menilai, film tersebut cuma sedang menonjolkan Presiden Soeharto dan Angkatan Darat (AD) sebagai pahlawan. Sementara konteks lain yang tak kalah penting, cenderung ditinggalkan.
Kritik demi kritik seolah tak pernah tuntas. Sedangkan rekonsiliasi antarkorban pascaperistiwa September 1965, masih sebatas cita-cita dan menemui jalan berat dan terjal.
Belakangan, usulan memberikan wawasan sejarah peristiwa September 1965 kepada generasi baru kembali menggema. Sikap pemerintah Orba melabeli
marxisme-leninisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai bahaya laten, dinilai bukan sesuatu yang melulu keliru.
Di saat bersamaan, ada banyak tantangan yang tengah menyertai semangat konsolidasi demokrasi di Indonesia. Radikalisme, terorisme, dan kebangkitan "hantu" komunis, diduga turut merongrong Pancasila dan mengancam kesatuan negara.
Baca: [FOKUS] Hantu PKI Hari Ini
Untuk poin terakhir, banyak juga yang khawatir, generasi anyar, tak tahu menahu tentang bahaya komunisme lantaran tak ada penggemblengan wawasan sejarah serupa yang didapatkan pendahulunya di masa silam.
Alhasil, muncul desakan film G30S PKI penting diputar ulang.
Tuntutan yang sebenarnya masih diramaikan
pro-kontra. Sebab, isu kebangkitan PKI yang mencuat, diduga sengaja "digoreng" demi kepentingan politik sesaat.
Bijaknya,
Presiden Joko Widodo tak tinggal diam. Baru-baru ini, ada semacam jalan tengah yang rupanya tengah dia tawarkan.
"Menonton film, apalagi mengenai sejarah; itu penting. Tapi, untuk anak-anak
millenial, tentu mesti dibuatkan lagi film yang bisa masuk ke mereka. Biar mereka paham bahaya komunisme, biar tahu juga mengenai PKI," kata Presiden di Jembatan Gantung Mangunsuko, Magelang, Jawa Tengah, Senin 18 September 2017.
Meski tak ada keterangan lanjut yang lebih detail, tawaran Presiden sah-sah saja jika dimaknai dua perkara.
Pertama, pembaruan konten.
Kedua, peningkatan teknologi pembuatan film yang lebih selaras dengan tuntutan zaman.
Soal menyulap film lawas, toh dunia sinema Indonesia sudah cukup pengalaman. Bisa melalui teknis restorasi seperti yang dilakukan pada film
Tiga Dara (1957), atau dengan tren
remake semisal
Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part I dan II (2016 dan 2017).
Baca: Panglima TNI Mengaku Dapat Restu Presiden Putar Film G30S/PKI
Titik bidik selera millenial
Dari dua tafsir pembaruan ala-Jokowi itu, jika dikaitkan dengan pematangan konten, maka pihak terkait mesti memiliki semangat membuka dialog dengan banyak sumber demi mendapatkan film yang lebih mumpuni.
Proses produksinya, bisa pula dilakukan dengan menimbang data-data penelitian mutakhir ihwal peristiwa 1965. Para ahli di pelbagai perguruan tinggi pun, perlu juga dilibatkan dalam diskusi praproduksi.
Sementara bila lebih mengarah kepada peremajaan film, maka persoalannya terletak pada pematangan kualitas dan teknis, dan tentu hal ini lebih fokus dalam persoalan teknologi. Misalnya, dengan mengkonversi kualitas gambarnya secara digital, maupun menjadi format video definisi tinggi, alias cakram
blu-ray.
Meski, berbicara
millenial alias generasi muda masa kini, akan berkaitan juga dengan pergeseran pandangan dan selera. Label yang keumuman disasarkan pada angkatan usia 15–34 tahun itu, memang memberikan garis pembeda yang jelas dari para pendahulunya.
Mengenai ini, serupa hasil studi yang dirilis Boston Consulting Group (BCG) dan University of Berkley pada 2011 lalu. Dalam riset berjudul
American Millennials: Deciphering the Enigma Generation itu disebut, generasi
millenial lebih percaya kepada sumber perorangan, ketimbang arus informasi yang bersifat searah.
Jelasnya, angkatan baru ini tidak terlalu memiliki kepercayaan dengan institusi besar dan resmi, terlebih negara dalam mempertimbangkan obyek yang hendak dikonsumsi. Kebanyakan dari mereka, lebih condong meyakini dari hasil produk perseorangan yang mereka temukan sendiri di internet.
Pada 2014, Pew Research Center juga merilis fakta bahwa dari sisi pandangan politik, generasi
millennial di AS bahkan berlainan secara ras dan etnis.
Sekitar 51%
millennial kulit putih mengatakan, mereka independen secara politik. Selebihnya, terafilisasi Partai Republik sebesar 24% dan Partai Demokrat sekitar 19%.
Sedangkan angkatan
millennial non-kulit putih, sebesar 47% mengaku independen secara politik, tapi ada 37% yang mengidentifikasi terafiliasi dengan Partai Demokrat dan hanya 9% dengan Partai Republik.
Artinya, generasi
millennial cenderung bebas dan rasional. Mereka, tidak mudah tunduk kepada institusi. Maka, terkait wacana pembaruan film sejarah September 1965, pemerintah tak bisa asal buat dengan kualitas dan muatan konten biasa saja.
Belum lagi, soal kelayakan gambar dan tayangan secara moral. Pemerintah tidak boleh lupa, masa Orba belum ada Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman, UU No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran atau Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2014 Tentang Lembaga Sensor Film, atau regulasi lain yang memagari dengan ketat kriteria layak-tidaknya sebuah tayangan.
Lebih-lebih, jika mengacu Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS). Dalam Pasal 23 BAB XIII tentang Pelarangan dan Pembatasan Kekerasan disebutkan;
Program siaran yang memuat adegan kekerasan dilarang menampilkan secara detail peristiwa kekerasan; menampilkan manusia atau bagian tubuh yang berdarah-darah atau dalam kondisi mengenaskan; menampilkan tindak sadis terhadap manusia atau hewan; menampilkan adegan memakan hewan dengan cara tak lazim.
Aturan-aturan itu, sudah barang tentu menajdikan film
Pengkhianatan G30S PKI; tak dapat banyak menghindar.
Dunia sudah berubah. Omong-omong sejarah, tak boleh lagi cuma berlandas atas suka-tidak suka. Sejarah, bukan pula barang yang boleh dipaksakan dimiliki satu pihak; secara mutlak.
Interpretasi kebenaran sejarah, juga ada pada ruang yang menampung kemajemukan. Sebab, sejarah amat mungkin bersifat
multifaceted, luwes, dan beragam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)