Ilustrasi pelaku kejahatan siber. Foto: MTVN/Rakhmat Riyandi.
Ilustrasi pelaku kejahatan siber. Foto: MTVN/Rakhmat Riyandi.

FOKUS

Mendulang Uang, Menernak Hoaks

Sobih AW Adnan • 28 Agustus 2017 21:23
medcom.id, Jakarta: Dari pengambilan namanya saja, Saracen, sudah memuat aroma kebencian luar biasa.
 
Sebutan yang muncul pada abad pertengahan itu, lazim digunakan bangsa Romawi untuk menjuluki tentara Islam. Konotasinya, miring. Serdadu bengis, yang tak kenal belas kasih.
 
Hal inilah, yang lantas membuat Islamolog ternama Philip Khuri Hitti, dengan sekuat tenaga menghindari kata "Saracen" saat menulis buku babon History of The Arabs: From the Earliest Times to the Present pada 1937. Hitti mengatakan, lebih baik menyebut "Arab" sekalian, ketika merujuk orang-orang yang menghuni kawasan jazirah.

"Selain itu, kita tidak menggunakan istilah 'Muhammaden' (pengikut Muhammad) karena umat Islam tidak menyukainya," tulis Hitti.
 
Nama yang belakangan kembali masyhur seiring tercokoknya sindikat penyebar berita palsu itu, memang memiliki konotasi yang sama tidak mengenakannya dengan sebutan inlander Pemerintah Kolonial untuk penduduk pribumi, atau sapaan Indon dari sebagian orang Malaysia kepada warga Indonesia.
 
Saracen, lahir dari Perang Salib. Kecamuk primordialisme paling hebat sepanjang masa.
 
Menikam demokrasi
 
Di Indonesia, nama Saracen dipakai oleh sindikat maya yang eksis sejak November 2015. Mereka memproduksi dan menyebarkan ujaran kebencian berkonten suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA) di media sosial.
 
Kelompok ini, memancing warganet untuk masuk ke dalam kandang-kandang yang mereka garap. Ambil misal, grup Facebook Saracen Cyber Team dengan ratusan ribu pengikut, situs Saracennews.com, dan banyak lagi lainnya.
 
Setelah tiga penjaga gawangnya diringkus, yakni JAS, 32; MFT, 43; dan SRN, 32, barulah diketahui bahwa Saracen tidak bekerja dengan sembarang unggah. Ada nilai yang ditawarkan, ada harga yang dipasang sesuai pesanan.
 
Mendulang Uang, Menernak Hoaks
Pengelola akun Saracen. Foto: Metrotvnews.com/Lukman Diah Sari
 
Malahan, disiapkan pula proposal. Dan, kepada siapa lagi mereka ajukan jika bukan kepada oknum yang berkepentingan "menyikat" lawan dalam dunia perpolitikan.
 
Dengan ragam bentuk berita bohong yang sarat adu domba, Saracen, ambil untung dari kekisruhan demi kekisruhan yang hadir di Indonesia.
 
Baca: Harga Ujaran Kebencian Saracen Puluhan Juta Rupiah
 
Keberadaan Saracen, tak ubahnya seperti teror politik. Mereka bekerja serupa melemparkan "kotoran" ke arah siapa saja, lantas menghilang di tengah kerumunan dan huru-hara.
 
Para pendulang uang haram seperti ini, masuk akal jika dikatakan duri dalam alam demokrasi. Mereka menggunakan dalih kebebasan, padahal tengah merongrong kemerdekaan.
 
Gerombolan semacam Saracen, mendapatkan angin segar dari setiap momentum politik. Sementara dalam pergulatan itu, SARA dianggap senjata pamungkas oleh sebagian orang yang tidak bertanggung jawab.
 
Profesor Firmanzah, dalam Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas (2007) mengatakan, hal seperti itu merupakan sisi lain dari demokrasi. Jika tidak diolah dengan jujur dan baik, demokrasi bisa diselewengkan menjadi tempat paling subur untuk menumbuhkan "nasionalisme" dalam arti sempit dan keliru.
 
"Proses demokratisasi yang tidak dijalankan dengan mengikuti tahapan-tahapan semestinya mungkin saja memunculkan konflik sentimen dan fanatisme berlebihan sehingga berakibat timbulnya konflik primordial atau SARA," tulis Firmanzah.
 
Maka, sudah selayaknya, jika penggerak grup semacam Saracen diberi ganjaran setimpal. Bukan cuma itu, pihak berwenang juga berkewajiban mengupas tuntas siapa-siapa saja para sang pemesan ujaran kebencian.
 
Menjadi warganet cerdas
 
Saracen, sejatinya bukan fenomena baru. Di belahan negara lain, gerakan sejenis juga bukan sesuatu yang asing.
 
Baru-baru ini, Universitas Oxford, Inggris meluncurkan hasil riset tentang kecenderungan media sosial menjadi alat kontrol publik. Dalam laporan berjudul Troops, Trolls and Troublemakers: A Global Inventory of Organized Social Media Manipulation (2017) itu disebutkan, praktik jasa penyebaran berita palsu lazim ditemukan di 28 negara di dunia. Termasuk, di Arab Saudi dan Tiongkok.
 
Di Arab Saudi, organisasi sejenis Saracen bergerak dengan menyebarkan spam menggunakan tanda pagar yang kritis terhadap pemerintah. Bahkan, sesekali membajak hashtag lain dan menyulapnya menjadi sesuatu isu yang bersifat banal.
 
Beda lagi dengan yang terjadi di Negeri Tirai Bambu. Di sana, dikenal istilah 50 cent party/person. Pemerintah setempat berani membayar 50 sen setiap orang yang mampu menemukan unggahan konten yang kritis dan dianggap mengancam negara.
 
Pakar komunikasi dari Universitas Padjadjaran Kunto Adi Wibowo mengatakan, kata kunci yang diandalkan dalam kerja-kerja organisasi tersebut adalah pemanfaatan emosi netizen. Mereka menyebarkan konten provokatif dengan berlandaskan sensitivitas identitas sosial dan politik.
 
"Emosi menjadi kata kunci yang penting. Begitu pula ketika melihat strategi Saracen mengeruk untung dan meracuni media sosial di Indonesia," kata Kunto, yang kini tengah memperdalam kajian komunikasi di Wayne State University di Detroit, Michigan, Amerika Serikat (AS), Senin, 28 Agustus 2017.
 
Kunto mengistilahkan kelompok ini dengan cyber troops, pasukan siber. Katanya, tak perlu keandalan khusus soal teknis dan keamanan internet. Modal yang dibutuhkan pun, tak terlalu besar.
 
"Pada pemilu AS 2016, kebanyakan produsen hoaks berasal dari Eropa Timur. Organisasinya kecil. Jika tujuannya cuma cari duit, ya, tidak harus ribet," ujar Kunto.
 
Satu-satunya jalan menghindarkan diri dari jebakan propaganda pasukan siber itu adalah dengan membangun kecerdasan diri sebagai pengguna internet. Tapi, kecerdasan yang dimaksud, kata Kunto, bukan melulu bertumpu pada status akademik dan intelektual.
 
Memang benar. Toh, banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pengguna berpendidikan tinggi pun tetap rentan terhadap rayuan berita palsu. Perkaranya, sederhana, konten hoaks menyasar pada kelompok bias konfirmasi. Gampangnya, unggahan itu memang sengaja diarahkan kepada yang sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan sikap pengguna tertentu.
 
"Serupa riset-riset marketing yang menyarankan bahwa kebanyakan konsumen memilih produk berdasarkan emosi yang mereka rasakan ketika berbelanja," kata Kunto.
 
Sejatinya, bias konfirmasi itu bisa diminimalisir. Caranya, ketika emosional pengguna merasa tersentuh oleh sebuah unggahan informasi, maka dia harus memunculkan keyakinan bahwa ketertarikan itu, bisa jadi, bersumber dari dampak manipulasi informasi yang canggih.
 
Dengan begitu, Kunto yakin, pengguna akan segera bergegas membandingkan unggahan konten setema namun dengan sudut pandang yang lebih beragam.
 
"Kalau saya, dengan cara berhenti membaca dan mencoba mencari sumber dari perspektif lain terkait topik yang mampu mengundang sisi emosional itu. Emosional, bukan cuma kemarahan, bisa juga sesuatu yang bisa membuat tertawa secara irasional," kata dia.
 
Letak emosi dan ketersinggungan SARA memang tak berjauhan. Keduanya amat lekat. Maka, amat wajar, jika konten primordial "dianggap" oknum tertentu sebagai cara paling pas untuk memunculkan perang urat saraf di tengah masyarakat.
 
Bagi penggila sepakbola, mungkin tak begitu kaget dengan istilah ini. Lebih masyhur dan keren lagi jika diucap dalam istilah asingnya; psywar, kepanjangan dari psychological warfare.
 
Secara akademik, pengertian perang urat saraf pertama kali diungkap William E. Daugherty dan Morris Janowitz dalam A Psychological Warface Casebook (1958). Katanya, perang urat saraf ialah penggunaan secara berencana sebuah kegiatan untuk memengaruhi pendapat, emosi, sikap, dan perilaku lawan. Bahkan, bukan cuma musuh, pihak netral dan kelompok asing lainnya bisa terimbas.
 
Terlebih di Indonesia. Latar belakang kemajemukan, belakangan hari kerap dimanfaatkan sebagai bumbu dalam praktik politik.
 
Hal itu, seperti yang terekam dalam Laporan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) 2016. Di sana dikatakan bahwa kategori gatra ideologi, atau sudut pandang masyarakat Indonesia mengenai wawasan kebangsaan terbilang rendah.
 
Gatra ideologi, dalam catatan Laboratorium Pengukuran Ketahanan Nasional (Labkurtannas) Lemhanas terus merosot dari 2015 di angka 2,23 menjadi 2,06 di 2016.
 
Alhasil, membangun warganet cerdas menjadi satu-satunya jalan. Buat apa ngotot-ngotot bertengkar, sementara di pihak lain ada yang tengah begitu gembira mendulang uang, hasil menernak hoaks.
 

 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(SBH)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan