F-PAN dan tiga fraksi lain meninggalkan sidang Paripurna RUU Pemilu di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (21/7)/MI/SUSANTO
F-PAN dan tiga fraksi lain meninggalkan sidang Paripurna RUU Pemilu di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (21/7)/MI/SUSANTO

FOKUS

Setengah Hati Berkoalisi

Sobih AW Adnan • 25 Juli 2017 22:47
medcom.id, Jakarta: Tak ada musuh, juga kawan abadi. Negawaran Inggris, Lord Palmerstone telah jauh hari mewanti-wanti ihwal segala kemungkinan yang bisa saja terjadi dalam dunia politik. Tidak perlu kaget, apalagi saling memaki.
 
Sikap Partai Amanat Nasional (PAN) belakangan hari, mungkin bagian dari 'kewajaran' di dalamnya. Belum lama merapat, kini sudah berani beda pendapat.
 
Pada 2 September 2015, PAN mendatangi Istana Negara untuk menyatakan diri bergabung ke dalam koalisi pendukung pemerintah. Sikap PAN ini, bahkan mendahului Partai Golongan Karya (Golkar) yang baru menempuh inisiatif serupa pada 25 Januari 2016. PAN dan Golkar, menegaskan ketiadaan lawan yang abadi.

PAN dan Golkar meninggalkan Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), serta sebagian poros dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang bertahan dalam Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai kekuatan di luar lingkar Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla usai Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014.
 
Pekan lalu, arah angin tampaknya mulai bergeser kembali. PAN, lebih memilih seiring seirama dengan PKS dan Gerindra, ditambah Partai Demokrat untuk meninggalkan Sidang Paripurna DPR RI saat pengambilan keputusan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu. Fraksi dari partai berlogo matahari itu, memilih berbeda sikap dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, Partai Nasional Demokrat (NasDem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), PPP, dan Partai Golkar.
 
Meski sampai saat ini, baik PAN maupun Presiden Jokowi sendiri mengaku tidak ada yang perlu diributkan. Perbedaan pandangan, di internal koalisi sekalipun, masih dianggap sebagai bagian yang wajar dalam dinamika perpolitikan.
 
Baca: Presiden: PAN Solid di Partai Pendukung Pemerintah
 
Etika politik
 
Ambang batas presiden (presidential treshold) 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional, menjadi pangkal persoalan. Syarat bagi calon presiden yang mengacu hasil Pilpres 2014 itu pada akhirnya membelah parlemen menjadi dua bagian.
 
Pertama, fraksi-fraksi partai politik (parpol) pendukung pemerintah yang menganggap hasil Pilpres 2014 sangat layak dijadikan acuan. Tujuannya, demi memfungsikan parpol sebagai peranti penting dalam demokrasi.
 
Dengan batasan itu, parpol bisa melakukan proses selektif kualitatif dalam mengajukan calon pimpinan negara.
 
Kedua, fraksi-fraksi oposisi. Mereka menganggap ketentuan itu sebagai hal yang berlebihan dan membatasi hak pencalonan. Mereka menduga, dorongan untuk memilih had yang termaktub dalam Paket A itu demi mewujudkan hasrat penguasa agar bisa kembali memenangi Pilpres 2019 mendatang.
 
Garis pisah keduanya cukup jelas. Tinggal bagaimana memunculkan jalan keluar melalui tradisi yang demokratis.
 
Sidang pun tak sekali dua dijeda. Lobi-lobi tak menemui titik terang juga. Ketika pilihan voting menjadi kesepakatan sebagian besar forum, sebanyak tiga fraksi di luar koalisi pendukung pemerintah menyatakan sikap menolak dan walk out.
 
Ndilalah, PAN turut di belakangnya.
 
Tak sedikit yang menilai, sikap PAN tersebut sangat berorientasi jangka pendek. Menurut pakar ilmu politik Universitas Indonesia (UI)) Hamdi Muluk, apa yang dilakukan PAN pun bisa terjadi kepada partai politik mana saja.
 
Baca: PAN Berorientasi Jangka Pendek
 
PAN dipandang tak puas dengan jatah satu menteri dalam kabinet saat ini. Dari segi matematika politik, partai yang dipimpin Zulkifli Hasan bisa jadi merasa tak memiliki kewajiban mendukung penuh pemerintahan.
 
PAN, rupanya lupa. Dalam satu periode, sudah dua kali sesuka hati berubah haluan. Alam demokrasi yang menjamin kemerdekaan pendapat siapapun, bukan berarti menjadi halal untuk abai dalam setiap komitmen.
 
Sebebas-bebasnya dunia politik, ada pakem yang mesti dipegang, yakni etika. Etika politik akan menjamin semua yang dilakukan tetap dalam koridor demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat, bukan yang lain-lain.
 
Dalam Masalah-Masalah Demokrasi dan Kebangsaan Era Reformasi (2014), peneliti senior bidang politik Lembaga ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsudin Haris menjelaskan, penafian etika politik bisa berdampak pula pada pemberangusan etika demokrasi.
 
"Ketiadaan etika berdemokrasi dapat disaksikan pada episode proyek 'Poros Tengah' menghadang terpilihnya Megawati dan mengususng Abdurrahman Wahid sebagai calon Presiden pada Sidang Umum MPR 1999, dan pencopotan kembali atas Presiden Wahid pada 2001," tulis dia.
 
Tamsil Syamsudin dalam buku itu bukan kebetulan, gerakan Poros Tengah yang memutar balik arah politik kala itu dipimpin seorang Amien Rais, pendiri PAN.
 
Jika diingat, tindakan Poros Tengah seolah tidak menampik tuduhan bahwa politik praktis bersifat freelancing belief, terlepas dari ikatan ideologi yang kuat. Atau dalam istilah politik lainnya, perkara itu menunjukkan elite politik bergerak tak tentu arah. Politik, cuma hadir sebagai alat sekaligus medan pertarungan wheel and deal, kelihaian berjual beli.
 
Jika sudah seperti ini, perkara komitmen dan koalisi; tak lagi punya arti.
 
Presidensial
 
Alasan utama pemerintah mendukung opsi A dalam memutus RUU Pemilu adalah demi memastikan kepemimpinan Presiden merupakan sosok yang mendapatkan dukungan penuh dari parlemen. Siapa pun Presiden yang terpilih pada 2019, hal itu penting guna mendapatkan keleluasaan dalam menjalankan kebijakan.
 
Pemerintah cuma mengingatkan bahwa Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial. Sementara untuk mewujudkannya, tidak mungkin dengan menghapus ambang batas dalam UU yang akan dijadikan pijakan dalam Pilpres akan datang.
 
Anggapan ambang batas 20 persen sebagai usaha pemerintah mengarahkan calon tunggal juga dinilai berlebihan. Bahkan, hal itu dibantah Pansus RUU Pemilu itu sendiri. Lukman Edy sebagai ketua pansus malah menyebut, gerak calon tunggal dalam RUU itu justru tak dimungkinkan.
 
Baca: Paranoid Jika Menganggap Ada Skenario Calon Tunggal
 
Aturan mainnya sudah jelas, apabila dalam waktu yang ditentukan baru ada satu calon, maka masa pendaftaran bakal ditambah. Jika masih tak ada juga yang tak mendaftar, parpol sebagai pihak yang berhak mengajukan calon, bakal diberikan sanksi.
 
"Isu calon tunggal ini nggak relevan," ujar Lukman.
 
Barangkali, pemerintah juga belajar dari pengalaman. Ambang batas 20 persen demi menyudahi kebiasaan koalisi berbasis jangka pendek. Koalisi jenis ini rawan muncul di Indonesia karena koalisi yang terbentuk tidak lagi berdasarkan basis ideologi maupun platform politik.
 
Syamsudin Haris, masih dalam buku yang sama menyebutkan, konsekuensi logis dari koalisi jangka pendek adalah lemahnya ikatan dan soliditas partai-partai politik di dalamnya.
 
"Dukungan parpol terhadap pemerintah acap ditentukan 'mood politik' para politisi parpol anggota koalisi, apakah tengah kecewa kepada Presiden atau sebaliknya..," tulis dia.
 
Tapi, memang begitulah politik. Para politisi kerap berada dalam posisi mengejar political correctness, sebuah tujuan yang cuma tepat secara politik.
 
Padahal, tepat secara politik belum tentu tepat secara sosial, ekonomi, atau tepat secara budaya. Tidak selalu ada hubungan yang saling mendukung antara ketepatan secara politik dengan lainnya.
 
Jika realitas politik tak lagi berhubungan dengan realitas lainnya, mungkin ungkapan negarawan asal Prancis, Jenderal Charles de Gaulle ini ada benarnya:


"Urusan politik terlalu penting untuk diserahkan hanya kepada para politisi."


Alhasil, pelajaran dari Senayan soal UU Pemilu bermuara di titik ini. Berpikiran jangka pendek, atau berkomitmen setengah hati, nyaris tak memberi sumbangsih apa-apa terhadap kemajuan negeri.  
 

 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan