Jakarta: Sengkarut masalah pertanahan di Indonesia masih terus terjadi. Advokat Albert Kuhon menyebut setiap tahun ada sekitar 3.000 putusan perdata tanah di semua pengadilan di Indonesia.
"Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960 yang dikenal sebagai UUPA sudah terbit 60 tahun lebih, tapi urusan keabsahan kepemilikan tanah di Indonesia masih juga karut-marut," tutur wartawan senior itu dalam dalam diskusi terbatas ‘Konflik Pertanahan’ melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu, 3 Juli 2022.
Hadir dalam diskusi itu, Ketua Bidang Perundang-undangan Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (INI) Mumu Mugaera Djohar. Mugaera menyebut Letter C atau girik, petok, verponding dan segala dokumen tanah lama sudah tidak berlaku sejak Oktober 1987. Namun masih ada saja pihak yang menggunakan dokumen itu di pengadilan, padahal batas waktunya sudah lewat 35 tahun.
"Sekarang ini tidak ada lagi Letter C yang asli. Paling-paling yang ada cuma Catatan Letter C, itu pun pasti bukan asli," tegas Mumu.
Menurut dia, sengkarut itu lantaran tidak konsistennya sikap pemerintah dalam menangani persoalan pertanahan. Dia menyebut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan berbagai turunan peraturannya sudah bagus, tetapi tidak diterapkan secara konsisten.
“Semestinya semua pihak menyadari, bahwa segala dokumen tanah yang lama sudah berakhir dan tidak berlaku lagi sejak Oktober 1987,” jelas dia.
Namun, kata dia, masih ada pihak-pihak yang berperkara menggunakan alat bukti hak-hak lama seperti Letter C atau girik, Letter D atau petok, verponding dan lain-lain. Sayangnya dalam banyak kasus perdata tanah, Letter C atau Letter D masih juga diterima sebagai alat bukti.
“Letter C adalah catatan pembayaran pajak, seperti catatan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bukan bukti pemilikan tanah. Ini harus dipahami oleh para penegak hukum, termasuk penyidik, penuntut umum dan hakim,” jelas Ketua Pengurus Daerah Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) Kabupaten Tangerang itu.
Mantan Dirjen Imigrasi Irjen (Purn) Ronny F Sompie menegaskan dalam diskusi itu, bahwa mafia tanah adalah mafia hukum. Dia menuturkan berdasarkan pengalamannya sebagai penyidik polri, pihak yang bisa merebut hak kepemilikan tanah tidak bekerja sendirian.
“Dalam urusan perkara perdata, orang itu pasti bekerja sama dengan ahli hukum, penegak hukum, pihak pengadilan dan pihak-pihak lain,” ungkap Sompie.
Dia melanjutkan selama menjalankan perkara perdata, pihak yang tengah merebut kepemilikan tanah akan melakukan gempuran melalui media dan penekanan dengan pengaduan pidana.
“Dalam urusan pidana, bukan mustahil orang itu bekerjasama dengan oknum penyidik, mengadukan kasus penyerobotan tanah atau pemalsuan surat. Jadi memang mafia tanah sebetulnya adalah mafia hukum,” ujar Sompie.
Menanggapi itu, Mugaera setuju dengan pernyataan bahawa mafia tanah merupakan mafia hukum. Dia menerangkan kegagalan para hakim memahanu aturan pertanahan sering mengakibatkan putusan perkara yang menyimpang dari kepastian hokum dan keadilan. Sehingga pemilik tanah secara sah dan memiliki sertifikat bias dikalahkan oleh pihak yang mengaku punya girik atau petok.
“Padahal zaman sekarang ini sudah tidak ada lagi Letter C yang asli,” tegas Mugaera.
Lebih lanjut, Sompie menerangkan, hakim perkara perdata sering tidak memeriksa perkara secara materiil. Pembuktian selalu dibebankan kepada pihak yang mendalilkan.
“Hakim memang harus menegakkan hukum sehingga kepastian hukum bisa terjamin. Selain kepastian hukum, hakim juga harus menegakkan kepastian keadilan,” jelas Sompie.
Jakarta: Sengkarut masalah
pertanahan di Indonesia masih terus terjadi. Advokat Albert Kuhon menyebut setiap tahun ada sekitar 3.000 putusan perdata tanah di semua pengadilan di Indonesia.
"Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960 yang dikenal sebagai UUPA sudah terbit 60 tahun lebih, tapi urusan keabsahan kepemilikan tanah di Indonesia masih juga karut-marut," tutur wartawan senior itu dalam dalam diskusi terbatas ‘Konflik Pertanahan’ melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu, 3 Juli 2022.
Hadir dalam diskusi itu, Ketua Bidang Perundang-undangan Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (INI) Mumu Mugaera Djohar. Mugaera menyebut Letter C atau girik, petok,
verponding dan segala dokumen tanah lama sudah tidak berlaku sejak Oktober 1987. Namun masih ada saja pihak yang menggunakan dokumen itu di pengadilan, padahal batas waktunya sudah lewat 35 tahun.
"Sekarang ini tidak ada lagi Letter C yang asli. Paling-paling yang ada cuma Catatan Letter C, itu pun pasti bukan asli," tegas Mumu.
Menurut dia, sengkarut itu lantaran tidak konsistennya sikap pemerintah dalam menangani persoalan pertanahan. Dia menyebut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan berbagai turunan peraturannya sudah bagus, tetapi tidak diterapkan secara konsisten.
“Semestinya semua pihak menyadari, bahwa segala dokumen tanah yang lama sudah berakhir dan tidak berlaku lagi sejak Oktober 1987,” jelas dia.
Namun, kata dia, masih ada pihak-pihak yang berperkara menggunakan alat bukti hak-hak lama seperti Letter C atau girik, Letter D atau petok, verponding dan lain-lain. Sayangnya dalam banyak kasus perdata tanah, Letter C atau Letter D masih juga diterima sebagai alat bukti.
“Letter C adalah catatan pembayaran pajak, seperti catatan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bukan bukti pemilikan tanah. Ini harus dipahami oleh para penegak hukum, termasuk penyidik, penuntut umum dan hakim,” jelas Ketua Pengurus Daerah Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) Kabupaten Tangerang itu.