Jakarta: Sebelum Indonesia merdeka, sebagian ruang udara Nusantara sudah diatur oleh negara lain, yakni Inggris yang kemudian dilanjutkan Singapura. Pada 1995, pemerintah mengupayakan pengaturan ruang udara di atas kepulauan Riau dan Natuna.
Upaya pemerintah menemui kendala. Perjanjian tentang flight information region (FIR) Republik Indonesia (RI) dengan Singapura tidak pernah bisa berlaku efektif. Pada 2015, Presiden Joko Widodo memulai kembali berbagai upaya dalam perundingan FIR RI-Singapura.
Diplomasi multilateral, regional, dan bilateral digencarkan. Terhitung ada lebih dari 40 kali pertemuan yang melibatkan lintas kementerian dan lembaga serta stakeholder terkait. Beberapa pihak yang terlibat, yakni Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, TNI, dan Kementerian Perhubungan.
Diskusi tentang FIR bukan hal yang mudah. Pemahaman mendalam, kematangan, dan energi serta leadership diplomasi internasional amat dibutuhkan. Namun, upaya pemerintah akhirnya membuahkan hasil.
“Dengan berhasil ditandatanganinya MOU FIR realignment antara Indonesia (RI) dan Singapura (SIN) pada tanggal 25 Januari 2022, maka luasan 249.575 km persegi ruang udara Indonesia yang selama ini masuk dalam FIR negara lain (Singapura) akan diakui secara internasional sebagai bagian dari FIR Indonesia," kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dalam keterangan tertulis, Rabu, 2 Februari 2022.
Perjanjian FIR realignment disebut harus dipahami dari aspek nasional sekaligus internasional yang tidak dapat dipisahkan. Pengamatan komprehensif menjadi kunci, khususnya dalam hal-hal teknis mengenai keselamatan dan kepatuhan terhadap standar penerbangan internasional.
"Termasuk best practice secara internasional. Sebagai contoh ruang udara di atas Brunei Darussalam merupakan FIR Malaysia dan ruang udara di atas Christmas Island merupakan FIR Jakarta," ungkap Budi.
Budi mengharapkan dukungan dari semua pihak dalam menjalankan MOU ini. Pemerintah terbuka terhadap saran yang konstruktif dari semua pihak. Aspek keselamatan penerbangan dan kepatuhan terhadap standar internasional selalu menjadi prioritas utama pemerintah.
"Dan telah terbukti berhasil membawa Indonesia lepas dari daftar hitam penerbangan di Uni Eropa dan Amerika," ungkap Budi Karya.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Novie Riyanto menyebutkan hasil perundingan penyesuaian ruang udara di Kepulauan Riau dan Natuna antara RI dan Singupura memberikan hasil yang maksimal. Perundingan ini mengedepankan prinsip hubungan luar negeri yang harmonis dan saling menguntungkan.
"Dan tentu saja membawa manfaat yang lebih besar untuk RI,” ungkap Novie.
Sebelum adanya penyesuaian ruang udara, seluruh pesawat yang terbang di atas Kepulauan Riau dan Natuna harus mendapatkan clearance dari otoritas penerbangan Singapura. Setelah berlakunya MOU, semua pelayanan navigasi penerbangan dilakukan oleh FIR Jakarta.
Berikut hasil yang didapatkan Indonesia dari perundingan FIR dengan Singapura:
Pengukuhan internasional terkait kedudukan Indonesia sebagai negara kepulauan dan ruan udara di dalam FIR Jakarta bertambah seluas 249.575 km persegi;
Dukungan operasional dan keamanan pada kegiatan pesawat udara negara (TNI, Polri, KKP dan Bea Cukai) lebih maksimal;
Kerja sama sipil-militer di air traffic management (civil-military aviation cooperation) Indonesia dan Singapura serta penempatan personel di Singapore ATC Centre;
Indonesia memiliki kendali pada delegasi layanan melalui evaluasi operasional; dan
Peningkatan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) berupa pungutan jasa pelayanan navigasi penerbangan.
Dari FIR seluas 249.575 km persegi dengan ketinggian 0 sampai tidak terbatas itu, sekitar 29 persen di bawah ketinggian 37 ribu kaki didelegasikan kepada Singapura. Wilayah ini berada di sekitar bandara Changi dengan pertimbangan keselamatan penerbangan (menghindari fragmentasi/segmentasi pelayanan).
Indonesia menempatkan petugas di Singapore ATC Centre dalam mendukung teknis operasional
pengaturan inbound/outbound flow traffic dan efisiensi pergerakan serta kepatuhan standar
internasional. Di dalam 29 persen area yang didelegasikan tersebut, ada wilayah yang tetap dilayani AirNav Indonesia untuk keperluan penerbangan, seperti di Bandara Batam dan Tanjungpinang.
“Hal ini sudah sesuai dengan Pasal 263 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 (UU Penerbangan) dan Annex 11 article 2.1.1 Konvensi Chicago 1944 serta resolusi ICAO Assembly ke-40,” kata Novie Riyanto.
Jakarta: Sebelum Indonesia merdeka, sebagian ruang udara Nusantara sudah diatur oleh negara lain, yakni Inggris yang kemudian dilanjutkan
Singapura. Pada 1995, pemerintah mengupayakan pengaturan ruang udara di atas kepulauan Riau dan Natuna.
Upaya pemerintah menemui kendala. Perjanjian tentang
flight information region (FIR) Republik Indonesia (RI) dengan Singapura tidak pernah bisa berlaku efektif. Pada 2015, Presiden Joko Widodo memulai kembali berbagai upaya dalam perundingan FIR RI-Singapura.
Diplomasi multilateral, regional, dan bilateral digencarkan. Terhitung ada lebih dari 40 kali pertemuan yang melibatkan lintas kementerian dan lembaga serta
stakeholder terkait. Beberapa pihak yang terlibat, yakni Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, TNI, dan
Kementerian Perhubungan.
Diskusi tentang FIR bukan hal yang mudah. Pemahaman mendalam, kematangan, dan energi serta leadership diplomasi internasional amat dibutuhkan. Namun, upaya pemerintah akhirnya membuahkan hasil.
“Dengan berhasil ditandatanganinya MOU FIR
realignment antara Indonesia (RI) dan Singapura (SIN) pada tanggal 25 Januari 2022, maka luasan 249.575 km persegi ruang udara Indonesia yang selama ini masuk dalam FIR negara lain (Singapura) akan diakui secara internasional sebagai bagian dari FIR Indonesia," kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dalam keterangan tertulis, Rabu, 2 Februari 2022.
Perjanjian FIR
realignment disebut harus dipahami dari aspek nasional sekaligus internasional yang tidak dapat dipisahkan. Pengamatan komprehensif menjadi kunci, khususnya dalam hal-hal teknis mengenai keselamatan dan kepatuhan terhadap standar
penerbangan internasional.
"Termasuk
best practice secara internasional. Sebagai contoh ruang udara di atas Brunei Darussalam merupakan FIR Malaysia dan ruang udara di atas Christmas Island merupakan FIR Jakarta," ungkap Budi.
Budi mengharapkan dukungan dari semua pihak dalam menjalankan MOU ini. Pemerintah terbuka terhadap saran yang konstruktif dari semua pihak. Aspek keselamatan penerbangan dan kepatuhan terhadap standar internasional selalu menjadi prioritas utama pemerintah.
"Dan telah terbukti berhasil membawa Indonesia lepas dari daftar hitam penerbangan di Uni Eropa dan Amerika," ungkap Budi Karya.