Jakarta: Sebanyak tujuh perwira TNI Angkatan Darat menjadi korban keganasan Gerakan 30 September 1965 atau yang lebih dikenal dengan G30S/PKI. Ketujuh perwira bergelar Pahlawan Revolusi tersebut gugur dalam waktu yang hampir bersamaan karena dibunuh secara keji.
Tak hanya itu, jasad ketujuh perwira itu dibuang ke dalam sebuah lubang di kawasan Jakarta Timur. Jenazah mereka ditemukan di sebuah sumur tua pada 4 Oktober 1965 oleh satuan Resimen Para Anggota Komando Angkatan Darat (RPKAD) di kawasan Lubang Buaya.
Lokasi tersebut kini dijadikan Monumen Pancasila Sakti, untuk mengenang tragedi G30S/PKI.
Dirangkum dari berbagai sumber, berikut ini profil tujuh perwira TNI AD yang gugur dalam peristiwa G30S/PKI yang mendapat gelar Pahlawan Revolusi:
1. Ahmad Yani
Jenderal Ahmad Yani lahir di Purworejo pada 19 Juni 1922. Ahmad Yani diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Panglima Angkatan Darat keenam menggantikan Abdul Haris Nasution.
Ahmad Yani sempat mengenyam pendidikan di Kansas, Amerika Serikat. Dihimpun dari beberapa sumber, Ahmad Yani dikenal sebagai perwira cerdas. Ia menjadi otak keberhasilan TNI menumpas Permesta di Sumatera Barat.
Dalam peristiwa G30S/PKI, Ahmad Yani gugur di usia 43 tahun. Gelar Pahlawan Revolusi dinobatkan untuk Ahmad Yani pada 5 Oktober 2021. Selain itu, pangkatnya juga dinaikkan.
2. S Parman
Mayjen Siswondo Parman (S Parman) lahir di Wonosobo, Jawa Tengah, pada 4 Agustus 1918. Ia juga pernah bersekolah di Amerika Serikat pada tahun 1951.
Dalam karier militernya, S Parman pernah menjadi Kepala Staf Markas Besar Polisi Tengara di Yogyakarta (Desember 1945), Kepala Staf Gubernur Militer Jakarta Raya (1949), Kepala Staf G (1950), hingga Atase Militer RI di London (1959).
S Parman gugur dalam pemberontakan G30S/PKI dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
3. R Soeprapto
Letjen R Soeprapto lahir di Purwokerto, Jawa Tengah, pada 20 Juni 1920. Pada masa pemerintahan Jepang di Indonesia, ia sempat ditawan dan dimasukkan ke dalam penjara. Namun dia berhasil kabur.
Jabatan terakhir R. Soeprapto adalah sebagai Kepala Staf Angkatan Darat untuk wilayah Sumatra. R Soeprapto didatangi rombongan Cakrabirawa di rumahnya pada pukul 04.30 WIB. Pasukan Cakrabirawa sempat meminta Soeprapto untuk segera menemui Presiden Soekarno sebelum beliau ahirnya dieksekusi.
4. MT Haryono
Mas Tirtodarmo (MT) Haryono lahir di Surabaya, 20 Januari 1924. MT Haryono dikenal sebagai perwira berpendidikan tinggi yang menguasai beberapa bahasa asing seperti Inggris, Jerman, dan Belanda.
Berkat kemampuan tersebut, MT Haryono sering dilibatkan dalam banyak perundingan dengan pihak Belanda maupun Inggris.
MT Haryono sempat bertugas di Belanda sebagai Atase Militer Indonesia. Ia kembali ke Indonesia untuk beragam tugas hingga akhirnya pada 1964 diangkat Presiden Soekarno sebagai Deputy III Menteril Panglima Angkatan Darat.
MT Haryono gugur setelah diberondong peluru di rumahnya. Jasadnya diseret dan dibawa dengan truk oleh romobongan penculik.
5. Pierre Tendean
Pierre Andries Tendean merupakan Anggota TNI Angkatan Darat berpangkat Kapten, lahir di Jakarta pada 21 Februari 1939.
Ia merupakan ajudan Menko Hankam Jenderal AH Nasution yang berhasil lolos dari penculikan pada gerakan 30 September 1965.
Pierre Tendean diculik dan ditembak mati di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Ia tewas di usia yang masih muda, 26 tahun. Pierre juga dianugerahi penghargaan Satya Lencana Saptamarga.
6. Sutoyo Siswomihardjo
Sutoyo Siswomihardjo lahir di Kebumen, Jawa Tengah, pada 23 Agustus 1922. Sebelum menjadi anggota TNI, Sutoyo sempat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kantor Kabupaten Purworejo, namun berhenti pada tahun 1944.
Pasca-proklamasi kemerdekaan, ia masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bagian kepolisian yang berkembang jadi Corps Polisi Militer (CPM). Pada Juni 1946, ia diangkat menjadi ajudan Kolonel Gatot Subroto yang ketika itu menjadi Komandan Polisi Tentara (PT).
Pada tahun 1954, Sutoyo diangkat menjadi Kepala Staf Markas Besar Polisi Militer. Dua tahun kemudian ia bertugas di London sebagai Asisten Atase Militer RI untuk Inggris.
Setelah kembali ke tanah air, ia mengikuti Kursus C Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung. Kemudian ia diangkat menjadi Pejabat Sementara Inspektur Kehakiman Angkatan Darat (Irkeh AD). Berkat pengetahuan yang cukup dan pengalaman yang luas di bidang hukum, pada 1961 Sutoyo diberi tugas sebagai Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat (Irkeh/Ojen AD).
Sama seperti pahlawan revolusi lainnya, Sutoyo juga diculik dan jenazahnya dibuang di Lubang Buaya. Jenazah Sutoyo kemudian dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta Selatan.
7. DI Panjaitan
Donald Izacus (DI) Panjaitan lahir di Sitorang, Balige, pada 10 Juni 1925. Ia dikenal sebagai sosok perwira cerdas dan penganut protestan yang taat.
Dalam karier militernya, DI Panjaitan pernah menjabat sebagai Kepala Operasi di Medan, lalu dipindahkan ke Territorium II (Sumatra Selatan). D.I Panjaitan juga sempat menjabat Atase Militer di Bonn (Jerman Barat) untuk selanjutnya ditugaskan lagi sebagai Deputy I KASAD dengan pangkat Kolonel.
Sewaktu menjabat Asisten IV/Men Pangad, ia mengikuti pendidikan Associate Command and General Staff College di Fort Leavenworth, Kansas, Amerika Serikat selama enam bulan (Desember 1963-Juni 1964).
DI Panjaitan ikut gugur dalam peristiwa G30S/PKI. Sebelum dieksekusi, DI Panjaitan sempat memakai seragam lengkap. Saat mengatahui ada yang tidak beres, DI Panjaitan melawan hingga akhirnya ia ditembak di halaman rumahnya seketika itu juga, dan langsung dibawa pergi.
Jakarta: Sebanyak tujuh perwira TNI Angkatan Darat menjadi korban keganasan Gerakan 30 September 1965 atau yang lebih dikenal dengan
G30S/PKI. Ketujuh perwira bergelar
Pahlawan Revolusi tersebut gugur dalam waktu yang hampir bersamaan karena dibunuh secara keji.
Tak hanya itu, jasad ketujuh perwira itu dibuang ke dalam sebuah lubang di kawasan Jakarta Timur. Jenazah mereka ditemukan di sebuah sumur tua pada 4 Oktober 1965 oleh satuan Resimen Para Anggota Komando Angkatan Darat (RPKAD) di kawasan Lubang Buaya.
Lokasi tersebut kini dijadikan Monumen Pancasila Sakti, untuk mengenang tragedi G30S/PKI.
Dirangkum dari berbagai sumber, berikut ini profil tujuh perwira TNI AD yang gugur dalam peristiwa G30S/PKI yang mendapat gelar Pahlawan Revolusi:
1. Ahmad Yani
Jenderal Ahmad Yani lahir di Purworejo pada 19 Juni 1922. Ahmad Yani diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Panglima Angkatan Darat keenam menggantikan Abdul Haris Nasution.
Ahmad Yani sempat mengenyam pendidikan di Kansas, Amerika Serikat. Dihimpun dari beberapa sumber, Ahmad Yani dikenal sebagai perwira cerdas. Ia menjadi otak keberhasilan TNI menumpas Permesta di Sumatera Barat.
Dalam peristiwa G30S/PKI, Ahmad Yani gugur di usia 43 tahun. Gelar Pahlawan Revolusi dinobatkan untuk Ahmad Yani pada 5 Oktober 2021. Selain itu, pangkatnya juga dinaikkan.
2. S Parman
Mayjen Siswondo Parman (S Parman) lahir di Wonosobo, Jawa Tengah, pada 4 Agustus 1918. Ia juga pernah bersekolah di Amerika Serikat pada tahun 1951.
Dalam karier militernya, S Parman pernah menjadi Kepala Staf Markas Besar Polisi Tengara di Yogyakarta (Desember 1945), Kepala Staf Gubernur Militer Jakarta Raya (1949), Kepala Staf G (1950), hingga Atase Militer RI di London (1959).
S Parman gugur dalam pemberontakan G30S/PKI dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
3. R Soeprapto
Letjen R Soeprapto lahir di Purwokerto, Jawa Tengah, pada 20 Juni 1920. Pada masa pemerintahan Jepang di Indonesia, ia sempat ditawan dan dimasukkan ke dalam penjara. Namun dia berhasil kabur.
Jabatan terakhir R. Soeprapto adalah sebagai Kepala Staf Angkatan Darat untuk wilayah Sumatra. R Soeprapto didatangi rombongan Cakrabirawa di rumahnya pada pukul 04.30 WIB. Pasukan Cakrabirawa sempat meminta Soeprapto untuk segera menemui Presiden Soekarno sebelum beliau ahirnya dieksekusi.
4. MT Haryono
Mas Tirtodarmo (MT) Haryono lahir di Surabaya, 20 Januari 1924. MT Haryono dikenal sebagai perwira berpendidikan tinggi yang menguasai beberapa bahasa asing seperti Inggris, Jerman, dan Belanda.
Berkat kemampuan tersebut, MT Haryono sering dilibatkan dalam banyak perundingan dengan pihak Belanda maupun Inggris.
MT Haryono sempat bertugas di Belanda sebagai Atase Militer Indonesia. Ia kembali ke Indonesia untuk beragam tugas hingga akhirnya pada 1964 diangkat Presiden Soekarno sebagai Deputy III Menteril Panglima Angkatan Darat.
MT Haryono gugur setelah diberondong peluru di rumahnya. Jasadnya diseret dan dibawa dengan truk oleh romobongan penculik.