Jakarta: Pembangunan sarana dan prasrana (sarpras) di Loh Buaya, Pulau Rinca kawasan Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur (NTT) dipastikan bakal melahirkan pariwisata terbaik berskala internasional. Pariwisata tersebut akan berdiri di atas tanah seluas 1,3 hektare.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno mengatakan salah satu pembangunan yang akan menarik perhatiaan wisatawan, ialah elevated deck (ED). Fasilitas tersebut berfungsi agar pergerakan komodo dan satwa liar lainnya tidak terganggu oleh lintasan wisatawan.
"(ED) Ini akan mengatur kontak langsung antara pengunjung dengan komodo. Karena komodo dia diam itu bisa menyergap kita dalam jarak satu atau tiga meter, dan kita bisa dikejar," ujar Wiratno kepada Medcom.id, Senin, 9 November 2020.
Menurut dia, bangunan setinggi dua meter itu juga berfungsi sebagai jalan akses yang menghubungkan Dermaga Loh Buaya, pusat informasi, serta penginapan untuk ranger dan peneliti.
Selain itu, di pusat informasi wisatawan dapat menikmati sejarah alam NTT. Terutama terkait kehidupan komodo, misalnya habitat, perilaku, musim kawin, kemampuan berburu, dan bertahan hidup. Termasuk sejarah dan budaya masyarakat yang tinggal di area Taman Nasional Komodo.
Baca: Pemerintah Jamin Kelestarian Komodo di Tengah Pembangunan Sarpras
Wisatawan juga dapat menjumpai beragam cindera mata hasil karya masyarakat setempat. Seperti miniatur komodo, gantungan kunci, dan lain sebagainya.
Pembangunan Sarpras Sesuai Kaidah Konservasi
Wiratno memastikan pembangunan sarpras mematuhi kaidah konservasi sebagai peningkatan kualitas pelayanan publik secara berkelanjutan. Proyek tersebut telah mengantongi izin lingkungan yang diterbitkan pada 4 September 2020 dan sesuai dengan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 16 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan Hidup.
"Penataan sarana dan prasarana wisata di Loh Buaya ini di Pulau Rinca, Komodo tetap patuhi kaidah-kaidah konservasi," ujar dia.
Berdasarkan hasil pemantauan di lapangan pada 31 Oktober 2020, proses pembangunan telah mencapai 35 persen. Saat ini tengah memasuki tahap pembongkaran bangunan eksiting, pembuangan puing, dan pemasangan tiang pancang.
Taman Nasional Komodo (TNK) sendiri telah ditetapkan sebagai Cagar Biosfer (1977) dan Warisan Dunia (1991) oleh UNESCO, luasnya 173.300 hektare, meliputi 33,76 persen daratan dan 66,24 persen perairan.
Baca: Upaya Pemerintah Menjaga Keamanan Komodo
Dari luasan tersebut, ada 824 hektare atau 0,4 persen yang ditetapkan sebagai Zona Pemanfaatan Wisata Daratan dan 1.584 hektare atau 0,95 persen yang ditetapkan sebagai Zona Pemanfaatan Wisata Bahari.
"Pengembangan wisata alam sangat dibatasi, hanya pada zona pemanfaatan tersebut. Ini prinsip kehati-hatian yang ditetapkan sejak dari perencanaan ruang kelola di TNK," kata dia.
Pembatasan Wisatawan
Pembangunan sarpras ini ditargetkan rampung pada Juni 2021. Nantinya jumlah pengunjung dibatasi. Hal ini demi menjaga kelestarian komodo.
"Akan dikendalikan jumlah wisatawan. Tidak boleh masuk kalau telah melebihi kapasitasnya," ucap dia.
Wiratno mengaku belum ada hitung-hitungan pasti kuota yang akan diterapkan. Jumlah pengunjung pada kondisi normal mencapai 123 ribu pengunjung per tahunnya.
Angka tersebut mengalami penurunan signifikan saat pandemi mencapai 150 orang per bulan. Saat ini untuk kunjungan ke Pulau Rinca ditutup sementara sampai pembangunan sarpras selesai.
Wisatawan baik domestik dan mancanegara masih dapat berkunjung ke pulau-pulau lain di Taman Nasional Komodo. Salah satunya Pulau Padar.
Jakarta: Pembangunan sarana dan prasrana (sarpras) di Loh Buaya, Pulau Rinca kawasan
Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur (NTT) dipastikan bakal melahirkan pariwisata terbaik berskala internasional. Pariwisata tersebut akan berdiri di atas tanah seluas 1,3 hektare.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (
KLHK) Wiratno mengatakan salah satu pembangunan yang akan menarik perhatiaan wisatawan, ialah
elevated deck (ED). Fasilitas tersebut berfungsi agar pergerakan komodo dan satwa liar lainnya tidak terganggu oleh lintasan wisatawan.
"(ED) Ini akan mengatur kontak langsung antara pengunjung dengan komodo. Karena komodo dia diam itu bisa menyergap kita dalam jarak satu atau tiga meter, dan kita bisa dikejar," ujar Wiratno kepada
Medcom.id, Senin, 9 November 2020.
Menurut dia, bangunan setinggi dua meter itu juga berfungsi sebagai jalan akses yang menghubungkan Dermaga Loh Buaya, pusat informasi, serta penginapan untuk ranger dan peneliti.
Selain itu, di pusat informasi wisatawan dapat menikmati sejarah alam NTT. Terutama terkait kehidupan komodo, misalnya habitat, perilaku, musim kawin, kemampuan berburu, dan bertahan hidup. Termasuk sejarah dan budaya masyarakat yang tinggal di area Taman Nasional Komodo.
Baca:
Pemerintah Jamin Kelestarian Komodo di Tengah Pembangunan Sarpras
Wisatawan juga dapat menjumpai beragam cindera mata hasil karya masyarakat setempat. Seperti miniatur komodo, gantungan kunci, dan lain sebagainya.
Pembangunan Sarpras Sesuai Kaidah Konservasi
Wiratno memastikan pembangunan sarpras mematuhi kaidah konservasi sebagai peningkatan kualitas pelayanan publik secara berkelanjutan. Proyek tersebut telah mengantongi izin lingkungan yang diterbitkan pada 4 September 2020 dan sesuai dengan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 16 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan Hidup.
"Penataan sarana dan prasarana wisata di Loh Buaya ini di Pulau Rinca, Komodo tetap patuhi kaidah-kaidah konservasi," ujar dia.
Berdasarkan hasil pemantauan di lapangan pada 31 Oktober 2020, proses pembangunan telah mencapai 35 persen. Saat ini tengah memasuki tahap pembongkaran bangunan eksiting, pembuangan puing, dan pemasangan tiang pancang.