Jakarta: Peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (PKI) atau dikenal G30S/PKI adalah sejarah kelam Indonesia yang terjadi 56 tahun silam. Meski sudah setengah abad berlalu, peristiwa kelam ini masih melekat kuat dalam ingatan rakyat Indonesia.
Kala itu, tujuh perwira tinggi militer Indonesia dibunuh secara brutal dan jasadnya dimasukkan ke dalam sumur tua. Putri Jenderal Abdul Haris Nasution, Ade Irma Suryani, yang berusia 5 tahun turut menjadi korban keganasan PKI.
Peristiwa itu terjadi dalam satu malam, yakni pada 30 September hingga 1 Oktober. Dikutip dari buku Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia (1968), PKI berencana merebut kekuasaan dan menginginkan Indonesia menjadi negara komunis.
Di sisi lain, peristiwa G30S/PKI masih menjadi perdebatan. Hal ini akibat munculnya berbagai versi sejarah yang berbeda dengan narasi yang banyak diajarkan. Berikut latar belakang peristiwa G30S PKI dikutip dari berbagai sumber:
Latar belakang peristiwa G30S PKI
Pemberontakan PKI bukan pertama kali terjadi pada 30 September 1965. Pemberontakan terjadi sebelumnya di Madiun, jawa Timur, pada 1948.
Pemberontakan tersebut dipelopori oleh Amir Syarifuddin dan Muso. Mereka ingin mendirikan negara komunis dengan melenyapkan Negara Republik Indonesia.
Bahkan, ajaran Presiden Soekarno tentang Nasional, Agama, dan Komunis (Nasakom) sangat menguntungkan PKI. Sebab, PKI menjadi bagian resmi dalam susunan politik Indonesia.
Hal itu malah membukakan jalan bagi PKI untuk melancarkan rencananya mendirikan negara komunis. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pada masa itu memungkinkan PKI yang dipimpin DN Aidit dapat memperluas pengaruhnya dalam bidang politik Indonesia.
Kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang tidak menentu membuat PKI mendapat simpati dari masyarakat, terutama masyarakat lapisan bawah yang mengalami tekanan berat. Berbagai gerakan yang disebut aksi sepihak mulai dilancarkan PKI dan pendukungnya di Jawa, Bali, dan Sumatra Utara.
Aksi sepihak yang sebetulnya dilancarkan PKI itu antara lain Peristiwa Jengkol pada 15 November 1961, Peristiwa Indramayu pada 15 Oktober 1964, Peristiwa Boyolali pada November 1964, Peristiwa Kanigoro pada 13 Januari 1965, dan Peristiwa Bandar Betsi pada 14 Mei 1965.
Kemampuan PKI memanfaatkan kondisi pada saat itu membuat pengaruh komunis meluas. Hal ini memicu kecurigaan kelompok anti komunis dan mempertinggi persaingan antar elit politik nasional.
Persaingan tersebut terlihat dari berbagai polemik yang menonjolkan pendapat masing-masing kubu melalui surat kabar maupun media massa yang dimiliki tiap kelompok. Persaingan semakin memanas saat muncul desas-desus kudeta oleh dewan jenderal di Angkatan Darat.
Baca: G30S PKI: Sejarah Kelam Indonesia 56 Tahun Silam
Menurut PKI, dewan jenderal akan mengadakan kudeta dengan bantuan Amerika Serikat. Tuduhan ini pun ditolak mentah-mentah oleh angkatan darat dengan mengumumkan penolakan terhadap prinsip Nasakom. Selain itu, angkatan darat atau yang saat ini disebut TNI angkatan darat (AD), juga menolak pembentukan angkatan kelima pada 27 September 1965.
Tak hanya itu, TNI AD juga memprotes diadakannya Poros Jakarta Peking dan konfrontasi dengan Malaysia. Menurut mereka, Poros Jakarta-Peking dan konfrontasi dengan Malaysia hanya akan memberi kesempatan bagi Tiongkok untuk menyebarkan semangat revolusi komunis di Asia Tenggara. Ini lah yang melatarbelakangi peristiwa G30S/PKI terjadi pada 30 September 1965.
Jakarta: Peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (PKI) atau dikenal
G30S/PKI adalah sejarah kelam Indonesia yang terjadi 56 tahun silam. Meski sudah setengah abad berlalu, peristiwa kelam ini masih melekat kuat dalam ingatan rakyat Indonesia.
Kala itu, tujuh perwira tinggi militer Indonesia dibunuh secara brutal dan jasadnya dimasukkan ke dalam sumur tua. Putri Jenderal Abdul Haris Nasution, Ade Irma Suryani, yang berusia 5 tahun turut menjadi korban keganasan PKI.
Peristiwa itu terjadi dalam satu malam, yakni pada 30 September hingga 1 Oktober. Dikutip dari buku Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia (1968), PKI berencana merebut kekuasaan dan menginginkan Indonesia menjadi negara komunis.
Di sisi lain, peristiwa G30S/PKI masih menjadi perdebatan. Hal ini akibat munculnya berbagai versi sejarah yang berbeda dengan narasi yang banyak diajarkan. Berikut latar belakang
peristiwa G30S PKI dikutip dari berbagai sumber:
Latar belakang peristiwa G30S PKI
Pemberontakan PKI bukan pertama kali terjadi pada 30 September 1965. Pemberontakan terjadi sebelumnya di Madiun, jawa Timur, pada 1948.
Pemberontakan tersebut dipelopori oleh Amir Syarifuddin dan Muso. Mereka ingin mendirikan negara komunis dengan melenyapkan Negara Republik Indonesia.
Bahkan, ajaran Presiden Soekarno tentang Nasional, Agama, dan Komunis (Nasakom) sangat menguntungkan PKI. Sebab, PKI menjadi bagian resmi dalam susunan politik Indonesia.
Hal itu malah membukakan jalan bagi PKI untuk melancarkan rencananya mendirikan negara komunis. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pada masa itu memungkinkan PKI yang dipimpin DN Aidit dapat memperluas pengaruhnya dalam bidang politik Indonesia.
Kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang tidak menentu membuat PKI mendapat simpati dari masyarakat, terutama masyarakat lapisan bawah yang mengalami tekanan berat. Berbagai gerakan yang disebut aksi sepihak mulai dilancarkan PKI dan pendukungnya di Jawa, Bali, dan Sumatra Utara.