Massa aksi membubarkan diri seusai salat Jumat dalam Aksi 212 di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Jumat (2/12)/MI/RAMDANI
Massa aksi membubarkan diri seusai salat Jumat dalam Aksi 212 di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Jumat (2/12)/MI/RAMDANI

FOKUS

Hijab Demokrasi Kita

Sobih AW Adnan • 30 Maret 2017 20:17
medcom.id, Jakarta: Tulisan ini tiada hubungan dengan tren berhijab wanita muslimah Indonesia yang terus merangkak naik dari tahun ke tahun. Bukan pula mengomentari kian berkembangnya lapak online jilbab, maupun menjamurnya penerbitan buku tutorial mengenakan kerudung yang syar'i sekaligus kekinian.
 
Tapi, setidaknya ada dua semangat yang dipinjam sebagai titik mula. Pertama, mengutip makna asal kata hijab sebagai as-satru alias penghalang. Kedua, bicara kecenderungan perubahan sudut pandang sosial yang makin hari kian mengemuka.
 
Dua poin itu, kiranya agak nyambung dengan watak keberagamaan di Indonesia hari ini, terlebih, di tengah makin dinamisnya suasana politik jelang pencoblosan putaran kedua Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta.

Apa yang dihalangi dan menghalangi, apa pula perubahannya?
 
Atas nama agama
 
Sedari mula Indonesia bermufakat menjalani sistem demokrasi Pancasila. Sejak masa kemerdekaan pula, para pendiri bangsa mengarifi fakta keberagamaan baik dari sisi suku, agama, ras, maupun antargolongan (SARA). Landasannya, di Indonesia ini rakyat mesti siap hidup rukun dalam kebinekaan.
 
Tak ada kesepakatan tanpa konsekuensi. Setelah mengamini realita latar belakang yang berbeda-beda itu, maka, masing-masing dari identitas perseorangan maupun kelompok tidak boleh menyikat golongan lainnya. Cuma butuh persatuan untuk menjaga negeri sekaya Indonesia. Sementara jati diri dan sudut pandang yang beragam, tidak perlu penyeragaman. Justru, semuanya berpeluang untuk saling memperkuat.
 
Pun dalam kesalehan berwarga negara. Ketika mesti masuk dalam ruang-ruang publik, termasuk praktik politik, maka agama hanya menjadi modal dasar menimbang pilihan-pilihan personal. Negara dan agama saling mendukung dan memperkuat, tetapi negara tidak menempatkan agama tertentu sebagai alat politik kekuasaan.
 
Mungkin, inilah makna paling dekat apa yang dimaksud dengan pesan Presiden Joko Widodo agar masyarakat bisa memisahkan urusan agama dan politik, pekan lalu. Bukan perkara pemisahan yang dianut paham sekulerisme. Tapi lebih kepada pantangan mencampuradukkan kesucian agama dalam politik praktis.
 
"Dipisah betul agar rakyat tahu mana (urusan) agama, mana yang politik," ujar Presiden saat meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Kecamatan Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Jumat 24 Maret 2017.
 
Sayangnya, beda orang bisa beda pemahaman. Apalagi tradisi menanyakan ulang demi mendapatkan penjelasan, atau masyhur disebut tabayun, masih menjadi perkara yang berat dalam arus informasi yang segencar sekarang ini. Isu Jokowi berkehendak untuk memasukkan agama ke dalam urusan privat, dan menyisihkannya dalam sistem ketatanegaraan pun langsung mencuat.
 
Padahal, barangkali imbauan Jokowi memang berpijak atas kondisi lapangan hari ini. Isu SARA dan sentimen sektarian pada kenyataannya masih menjadi komoditi dalam aktivitas politik. Tentu, menyepakati Presiden, dalam jangka waktu tertentu, hal itu benar-benar bisa mengancam tenunan kebangsaan yang sudah sekian lama terjalin.
 
Kebebasan berpolitik masyarakat tetap harus dijamin. Tapi meyakini fakta keberagamaan dengan hak yang setara mesti tetap setia mengiringi. Dalam Demokrasi di Negara-Negara Muslim: Problem dan prospek (1999), John L. Esposito memasukkan egoisme kelompok dan sektarianisme semacam itu ke dalam kategori sekat alias penghalang terwujudnya kehidupan demokrasi yang otonom dan proporsional.
 
Di Indonesia, sebenarnya agama dan demokrasi sudah cukup menemukan kompatibilitas atau kecocokan. Islam misalnya, ia tetap bisa hadir sebagai penguat dimensi moral keagamaan sebagai basis sistem demokrasi. Jika pemahamannya seperti ini, maka keduanya tentu bukan dua sudut yang saling berhadapan atau menghalangi.
 
Begitulah Islam terus tumbuh di Bumi Pertiwi. Ia ramah terhadap kebutuhan orang banyak. Ia pula, hadir sebagai solusi atas perkembangan dan perubahan yang bersifat niscaya.
 
Jika ingin disorot lebih jelas, perkara ini bisa diukur dari sekian banyak babak 'Aksi Bela Islam' yang digelar sejak sebelum pelaksanaan Pilgub DKI Jakarta. Orang-orang boleh bilang, gerakan itu tak ada kait pautnya dengan proses politik yang tengah terjadi. Tapi, kesesuaian ruang dan waktu aksi mungkin akan sedikit sulit dipungkiri.
 
Kabar terbaru, ratusan ribu orang akan kembali menyemut di Ibu Kota pada Jumat, 31 Maret besok. Masih dengan tuntutan yang sama, agar pihak penegak hukum segera membui calon gubernur nomor urut dua, Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama lantaran dianggap telah menistakaan agama. Itu sah. Tapi yang mesti diingat pula adalah bahwa proses hukum sesuai ketentuan sedang diproses secara profesional. Bui membui bukan target mutlak dalam sebuah persidangan, tetapi menyibak tabir kebenaran jauh lebih penting.
 
Hijab Demokrasi Kita
Peserta aksi membawa spanduk tuntutan Aksi Bela Islam III di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Jumat (2/12)/MI/ROMMY PUJIANTO
 
Nah, akhirnya bertambah. Bukan sekadar perkara demokrasi, independensi hukum pun jadi terbawa-bawa.
 
Belum lagi, persoalan lain yang boleh jadi sebagai imbas pengatasnamaan agama dalam politik praktis. Ya, Islam hari ini, barangkali sudah telanjur dituduh sebagian orang dengan kesan miring. Kerap menggunakan kerumunan massa untuk menekan sebuah kebijakan. Terkesan memaksakan.
 
Politik proporsional
 
Politik, pastinya bukan perkara buruk. Asal tetap berjalan pada koridor dan kemaslahatan bangsa dan negara, termasuk menumpangkan kepentingan politik di atas kesucian agama. Ini, persis seperti yang dikatakan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj saat ditemui Metrotvnews.com, pekan lalu. Poltik, kata Said, tidak boleh dilakukan dengan mengatasnamakan agama.
 
"Politik bukan bagian beragama, bukan pula rukun ibadah. Seperti Indonesia, yang national state, tentu ini sangat relevan," kata Said.
 
Lebih tepatnya, itulah pandangan Islam moderat. Tradisi Islam yang telah berabad-abad ada dan berkembang di Indonesia. Saat ini, mungkin boleh dikatakan diimami NU dan Muhammadiyah.
 
Kembali ke pernyataan Presiden, pun apa yang dipaparkan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin, hari ini. Ia menganggap agama dan politik saling menopang. Sementara imbauan memisahkan itu menyasar pada gerakan radikal yang bisa menimbulkan masalah.
 
"Ada pemahaman keagamaan yang radikal, destruktif, sehingga bisa terjadi hal-hal yang bisa bertentangan, bisa menimbulkan keresahan dalam masyarakat," kata Ma'ruf di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis 30 Maret 2017.
 
Islam harus menjadi contoh yang baik di bumi demokrasi. Jangan sampai, lantaran perkara ini kita mengamini cibiran Samuel P. Huntington dalam The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century (1991). "Singkat kata, demokrasi hanya cocok bagi negara-negara Eropa Barat Laut."
 
Bahkan, terhadap Islam, Huntington menyebut "Budaya Islam dan Konfusius menghadapkan perkembangan demokrasi dengan penghalang yang tidak mudah teratasi."
 
Demokrasi bukan cuma milik Barat. Ia sekadar alat yang sebenarnya sudah dikenal Islam sejak awal perkembangan melalui sistem musyawarah. Bahkan, Umar ibn Khattab pernah membagi pemerintahannya dalam tiga ruang, khalifah (pemerintah), ahlul halli wal aqdi (parlemen) dan qadhi (kehakiman). Pilar demokrasi seperti itu sudah lebih dari cukup untuk kebutuhan umat di masanya.
 
Kebiasaan menarungkan Islam dan demokrasi mesti disudahi. Demokrasi bukan musuh. Begitu juga agama, dia bukan alat yang digunakan cuma sesekali waktu sesuai dengan hasrat dan kebutuhan.
 
Islam dan demokrasi; keduanya tidak saling menghalangi. Hijab demokrasi patut disingkirkan agar tidak ada lagi penutup wajah demokrasi kita yang sejati. Dengan begitu, kesalah-kaprahan menjadikan agama sebagai alat dan atas nama untuk meraih kekuasaan juga harus disudahi.
   
Ya. Hijab demokrasi kita patut dilepas. Biar semua sadar, demokrasi kita sepenuhnya bertumpu pada moral Pancasila, moral keagamaan, moral kemanusiaan, juga moral kebangsaan.
 
Lagian, di mana di dunia ini ada negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
 
Di negeri ini, mempertentangkan agama dan demokrasi, sejatinya adalah bentuk kegagalan menjadi orang Indonesia, gagal menjadi warganegara Indonesia. Bahkan, itu sebentuk kegagalan nyata memahami akar dan sejarah keindonesiaan kita.
 
Hijab demokrasi dilepas: Agama yes, demokrasi yes
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan