medcom.id, Jakarta: Akhirnya Freeport McMoran Inc menegaskan sikapnya untuk tidak menerima tawaran skema baru kerja sama dengan pemerintah RI dengan mengubah status Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada anak usahanya di Indonesia, PT Freeport Indonesia (PTFI). Alih-alih menyambut penawaran pemerintah, Freeport McMoran justru berniat menyelesaikan persoalan ini melalui jalur arbitrase.
Keengganan Freeport McMoran untuk menerima ajakan pemerintah untuk membangun kerja sama yang lebih baik ini seperti menjawab prediksi para pakar. Tanda-tanda perusahaan asal Amerika Serikat tersebut tak mau mematuhi pemerintah sudah terlihat sejak tarik ulur masalah revisi kontrak karya yang disodorkan sejak 2014.
Pakar sekaligus pengamat BUMN, Said Didu, menyatakan bahwa ulah Freeport McMoran yang seperti ini memang sudah bisa ditebak. "Seperti perkiraan saya, hari ini Freeport sudah menyatakan bahwa sudah serius memikirkan untuk memulai proses arbitrase," ucap Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) era 2014-2016 itu melalui akun media sosialnya, Twitter.
Komentar Said menyusul pernyataan CEO Freeport-McMoran Richard C. Adkerson soal kesiapannya menghadapi arbitrase. Sang bos besar, yang saat ini sedang berada di Jakarta, menyatakan PTFI tidak mau mengakhiri Kontrak Karya 1991, seperti permintaan pemerintah Indonesia. "Termasuk hak untuk memulai arbitrase untuk menegakkan setiap ketentuan-ketentuan Kontrak Karya dan memperoleh ganti rugi yang sesuai," ujar Richard melalui sebuah siaran pers, Senin, 20 Februari 2017.
Baca: Freeport McMoran Tak Terima Keputusan Pemerintah
Said mengatakan, arbitrase ini adalah buntut kebijakan yang tidak jelas dari Indonesia. Ketidakjelasan itu juga akibat dari banyaknya 'benalu' di perundingan Indonesia-PTFI.
Terganggu benalu
Walaupun kontrak PTFI baru selesai tahun 2021, namun PTFI sudah meminta kepastian perpanjangan kontraknya sejak 2015. Namun, kepastian yang diharapkan berbenturan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017, yang menegaskan agar PTFI harus membangun smelter dan juga divestasi saham sebesar 51 persen.
Baca: Imbalan Besar di Balik Relaksasi Ekspor Konsentrat
Bagi Freeport justru sebaliknya. Agar pembangunan smelter berjalan, diperlukan keputusan apakah kontraknya diperpanjang atau tidak. Kepastian tersebut dibutuhkan bagi masuknya investasi untuk membangun smelter.
"Ibarat mana lebih dahulu, telur atau ayam," ucap Said kepada Metro TV, Minggu, 19 Februari 2017.
Tapi, sambung dia, saat itu sebetulnya negosisasi hampir selesai. Seperti, perubahan Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), menyerahkan saham secara bertahap hingga 51 persen, peningkatan pendapatan negara menjadi sekitar 60 persen. Kemudian penggunaan produk dalam negeri menjadi 90 persen lebih dan penggunaan tenaga kerja lokal menjadi 99 persen. Itu semua sudah hampir disepakati.
"Tapi tahu-tahu ada penumpang gelap yang bermain. Benalu. Atau yang kita kenal dengan kasus 'papa minta saham'. Itu bikin semua buyar, perundingan batal," ucapnya.
Termasuk soal kewajiban divestasi saham 51 persen. Freeport, dari yang semula memberikan sinyal positif, berubah sikap. Keseriusan Freeport dipertanyakan, bahkan sikapnya dianggap arogan. Seolah menggampangkan ketentuan pemerintah.
Namun, sikap itu seyogyanya perlu dijadikan evaluasi bagi Indonesia sendiri. Boleh jadi, persoalan siapa yang akan memegang 51 persen sahamnya, yang menjadi pertimbangan PTFI.
"Siapa yang akan membeli saham itu. Apakah pemerintah? Tapi mereka tahu APBN 2017 tidak ada (anggaran) untuk pembelian saham itu. Apakah BUMN? Itu juga belum jelas," ujar Said.
Alhasil, banyak wacana berbau 'mungkin' soal pembelian saham Freeport ini. Termasuk mengarah kepada para benalu, alias penumpang gelap di perundingan-perundingan Indonesia-Freeport.
"Apakah swasta yang akan membeli? Atau 'teman papa' juga mau masuk membeli? Mudah-mudahan pikiran saya ini salah," ucap mantan Sekretaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu.
Berlebihan
PTFI terus mempertahankan status Kontrak Karya. Menolak perjanjian baru di atas IUPK sesuai amanah UU Minerba. Bahkan, sebagian kalangan menilai tuntutan PTFI terlalu berlebihan.
Salah satunya terkait pajak, PTFI ingin nilainya tetap sesuai perjanjian awal hingga berakhirnya kontrak. Sementara, dalam perjanjian yang diteken pada 1991 itu disebutkan PTFI boleh meminta dan menentukan perpanjangan kontrak kapan saja.
Selain itu, perusahaan tambang dengan cadangan biji emas terbesar di dunia itu juga mengajukan insentif khusus yang memudahkan operasinya. Namun, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasuition sempat menolak permintaan itu, dengan mengatakan, "tidak perlu lagi ada insentif khusus bagi Freeport."
Inilah yang memunculkan panas-dingin hubungan Indonesia dengan Freeport. Bahkan, mayoritas fraksi di DPR RI mendukung sikap tegas pemerintah.
Sejak 2015 Said mengaku sudah memprediksi kekisruhan hari ini. Alasannya, saat itu Freeport melaporkan bahwa pada 2017 semua tambang atas tanah akan habis. Sementara tambang bawah tanah harus diinvestasi 2 tahun sebelumnya, yakni 2015, agar pada 2017 tidak terjadi pengurangan tenaga kerja.
"Jadi apapun keputusan sekarang, mau diputus atau dilanjutkan kontraknya, proses pengurangan tenaga kerja pasti terjadi," ujarnya.
Kini, persoalan besar itu bukan hanya pada Freeport, tapi juga bagi Indonesia. Karena saat ini Freeport secara terang-terangan mengatakan akan menghentikan tenaga kerjanya. Memang terkesan mengancam, namun, kata Said, itulah yang terjadi. "Freeport tidak lagi ada uang yang dimasukan dari investor. Semua kegiatan berhenti sejak awal tahun ini."
Sekarang, menurut Said, apapun keputusan pemerintah adalah memperhatikan kepentingan masyarakat papua, khususnya tenaga kerja Freeport, yang akan kehilangan pekerjaannya.
Dampak arbitrase
Rencana arbitrase internasional yang rencananya diajukan Freeport terhadap Indonesia, soal wanprestasi Kontrak Karya, juga perlu dipertimbangkan.
Baca: Freeport Indonesia akan Lakukan Arbitrase Jika 120 Hari Tak Ada Titik Temu
"Ini masalah serius," ujar Said. Pasalnya, proses ini bisa menjadi preseden buruk bagi kelangsungan investasi asing di Indonesia. "Keraguan akan kepastian hukum."
Selain itu, mundurnya Freeport dikhawatirkan dapat mengganggu ekonomi Indonesia. Dampak fiskal, yakni penerimaan berkurang. Belum lagi tuntutan ganti ruginya. "Dampak fiskal bayar densa, jika kalah (arbitrase)," pungkas Said.
Meski begitu, Menteri ESDM Ignasius Jonan mengaku tidak masalah dengan ancaman gugatan Freeport ke arbitrase. “Itu kan haknya,” kata dia menanggapi konferensi pers Richard C. Adkerson, Senin, 20 Februari 2017. “Perlu diketahui, kita (pemerintah) juga punya hak yang sama (menggugat).”
medcom.id, Jakarta: Akhirnya Freeport McMoran Inc menegaskan sikapnya untuk tidak menerima tawaran skema baru kerja sama dengan pemerintah RI dengan mengubah status Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada anak usahanya di Indonesia, PT Freeport Indonesia (PTFI). Alih-alih menyambut penawaran pemerintah, Freeport McMoran justru berniat menyelesaikan persoalan ini melalui jalur arbitrase.
Keengganan Freeport McMoran untuk menerima ajakan pemerintah untuk membangun kerja sama yang lebih baik ini seperti menjawab prediksi para pakar. Tanda-tanda perusahaan asal Amerika Serikat tersebut tak mau mematuhi pemerintah sudah terlihat sejak tarik ulur masalah revisi kontrak karya yang disodorkan sejak 2014.
Pakar sekaligus pengamat BUMN, Said Didu, menyatakan bahwa ulah Freeport McMoran yang seperti ini memang sudah bisa ditebak. "Seperti perkiraan saya, hari ini Freeport sudah menyatakan bahwa sudah serius memikirkan untuk memulai proses arbitrase," ucap Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) era 2014-2016 itu melalui akun media sosialnya, Twitter.
Komentar Said menyusul pernyataan CEO Freeport-McMoran Richard C. Adkerson soal kesiapannya menghadapi arbitrase. Sang bos besar, yang saat ini sedang berada di Jakarta, menyatakan PTFI tidak mau mengakhiri Kontrak Karya 1991, seperti permintaan pemerintah Indonesia. "Termasuk hak untuk memulai arbitrase untuk menegakkan setiap ketentuan-ketentuan Kontrak Karya dan memperoleh ganti rugi yang sesuai," ujar Richard melalui sebuah siaran pers, Senin, 20 Februari 2017.
Baca: Freeport McMoran Tak Terima Keputusan Pemerintah
Said mengatakan, arbitrase ini adalah buntut kebijakan yang tidak jelas dari Indonesia. Ketidakjelasan itu juga akibat dari banyaknya 'benalu' di perundingan Indonesia-PTFI.
Terganggu benalu
Walaupun kontrak PTFI baru selesai tahun 2021, namun PTFI sudah meminta kepastian perpanjangan kontraknya sejak 2015. Namun, kepastian yang diharapkan berbenturan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017, yang menegaskan agar PTFI harus membangun smelter dan juga divestasi saham sebesar 51 persen.
Baca: Imbalan Besar di Balik Relaksasi Ekspor Konsentrat
Bagi Freeport justru sebaliknya. Agar pembangunan smelter berjalan, diperlukan keputusan apakah kontraknya diperpanjang atau tidak. Kepastian tersebut dibutuhkan bagi masuknya investasi untuk membangun smelter.
"Ibarat mana lebih dahulu, telur atau ayam," ucap Said kepada Metro TV, Minggu, 19 Februari 2017.
Tapi, sambung dia, saat itu sebetulnya negosisasi hampir selesai. Seperti, perubahan Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), menyerahkan saham secara bertahap hingga 51 persen, peningkatan pendapatan negara menjadi sekitar 60 persen. Kemudian penggunaan produk dalam negeri menjadi 90 persen lebih dan penggunaan tenaga kerja lokal menjadi 99 persen. Itu semua sudah hampir disepakati.
"Tapi tahu-tahu ada penumpang gelap yang bermain. Benalu. Atau yang kita kenal dengan kasus 'papa minta saham'. Itu bikin semua buyar, perundingan batal," ucapnya.
Termasuk soal kewajiban divestasi saham 51 persen. Freeport, dari yang semula memberikan sinyal positif, berubah sikap. Keseriusan Freeport dipertanyakan, bahkan sikapnya dianggap arogan. Seolah menggampangkan ketentuan pemerintah.
Namun, sikap itu seyogyanya perlu dijadikan evaluasi bagi Indonesia sendiri. Boleh jadi, persoalan siapa yang akan memegang 51 persen sahamnya, yang menjadi pertimbangan PTFI.
"Siapa yang akan membeli saham itu. Apakah pemerintah? Tapi mereka tahu APBN 2017 tidak ada (anggaran) untuk pembelian saham itu. Apakah BUMN? Itu juga belum jelas," ujar Said.
Alhasil, banyak wacana berbau 'mungkin' soal pembelian saham Freeport ini. Termasuk mengarah kepada para benalu, alias penumpang gelap di perundingan-perundingan Indonesia-Freeport.
"Apakah swasta yang akan membeli? Atau 'teman papa' juga mau masuk membeli? Mudah-mudahan pikiran saya ini salah," ucap mantan Sekretaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu.
Berlebihan
PTFI terus mempertahankan status Kontrak Karya. Menolak perjanjian baru di atas IUPK sesuai amanah UU Minerba. Bahkan, sebagian kalangan menilai tuntutan PTFI terlalu berlebihan.
Salah satunya terkait pajak, PTFI ingin nilainya tetap sesuai perjanjian awal hingga berakhirnya kontrak. Sementara, dalam perjanjian yang diteken pada 1991 itu disebutkan PTFI boleh meminta dan menentukan perpanjangan kontrak kapan saja.
Selain itu, perusahaan tambang dengan cadangan biji emas terbesar di dunia itu juga mengajukan insentif khusus yang memudahkan operasinya. Namun, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasuition sempat menolak permintaan itu, dengan mengatakan, "tidak perlu lagi ada insentif khusus bagi Freeport."
Inilah yang memunculkan panas-dingin hubungan Indonesia dengan Freeport. Bahkan, mayoritas fraksi di DPR RI mendukung sikap tegas pemerintah.
Sejak 2015 Said mengaku sudah memprediksi kekisruhan hari ini. Alasannya, saat itu Freeport melaporkan bahwa pada 2017 semua tambang atas tanah akan habis. Sementara tambang bawah tanah harus diinvestasi 2 tahun sebelumnya, yakni 2015, agar pada 2017 tidak terjadi pengurangan tenaga kerja.
"Jadi apapun keputusan sekarang, mau diputus atau dilanjutkan kontraknya, proses pengurangan tenaga kerja pasti terjadi," ujarnya.
Kini, persoalan besar itu bukan hanya pada Freeport, tapi juga bagi Indonesia. Karena saat ini Freeport secara terang-terangan mengatakan akan menghentikan tenaga kerjanya. Memang terkesan mengancam, namun, kata Said, itulah yang terjadi. "Freeport tidak lagi ada uang yang dimasukan dari investor. Semua kegiatan berhenti sejak awal tahun ini."
Sekarang, menurut Said, apapun keputusan pemerintah adalah memperhatikan kepentingan masyarakat papua, khususnya tenaga kerja Freeport, yang akan kehilangan pekerjaannya.
Dampak arbitrase
Rencana arbitrase internasional yang rencananya diajukan Freeport terhadap Indonesia, soal wanprestasi Kontrak Karya, juga perlu dipertimbangkan.
Baca: Freeport Indonesia akan Lakukan Arbitrase Jika 120 Hari Tak Ada Titik Temu
"Ini masalah serius," ujar Said. Pasalnya, proses ini bisa menjadi preseden buruk bagi kelangsungan investasi asing di Indonesia. "Keraguan akan kepastian hukum."
Selain itu, mundurnya Freeport dikhawatirkan dapat mengganggu ekonomi Indonesia. Dampak fiskal, yakni penerimaan berkurang. Belum lagi tuntutan ganti ruginya. "Dampak fiskal bayar densa, jika kalah (arbitrase)," pungkas Said.
Meski begitu, Menteri ESDM Ignasius Jonan mengaku tidak masalah dengan ancaman gugatan Freeport ke arbitrase. “Itu kan haknya,” kata dia menanggapi konferensi pers Richard C. Adkerson, Senin, 20 Februari 2017. “Perlu diketahui, kita (pemerintah) juga punya hak yang sama (menggugat).”
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADM)