medcom.id, Jakarta: Dari sebutannya saja, istilah Syahbandar sudah kentara sebagai warisan lampau negeri-negeri maritim. Termasuk Indonesia.
Syahbandar sebagai empu pelabuhan telah ada sejak kejayaan Malaka, abad 15. Ia menjadi jabatan strategis. Kedudukan sempurna dalam perhubungan dan perdagangan melalui jalur laut.
"Kemitraannya menguntungkan. Dengan penguasa di satu pihak, dan orang asing yang memerlukan restu di pihak lain," tulis Anthony Reid dalam Asia Tenggara Kurun Niaga 1450-1680.
Hingga hari ini pun, tanggung jawab dan tugas Syahbandar masih tampil seksi. Tugas-tugas itu termaktub dalam PP No. 81 Tahun 2000 tentang Kenavigasian dan PP No. 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhan. Dari kedua regulasi penjabaran UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran itu, poin penting yang patut dicetak tebal adalah ihwal kewenangan Syahbandar dalam menentukan mana kapal yang laik dan tidak sebelum berlayar.
Jika dianggap layak, Syahbandar akan meloloskannya melalui penerbitan Surat Persetujuan Berlayar (SPB).
Mempertanyakan keseriusan KSOP
Awal tahun 2017 dikejutkan dengan kabar terbakarnya Kapal Zahro Express tujuan Pelabuhan Kaliadem-Pulau Tidung, Kepulauan Seribu. Insiden yang terjadi pada Minggu, 1 Januari, itu diduga disebabkan masalah kerusakan mesin.
Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta, mengabarkan kapal terbakar pada pukul 08.30 WIB. Kebakaran Kapal Zahro Express menyebabkan 23 penumpang tewas. Sementara ratusan lainnya terluka.
Sang nahkoda, Mohammad Nali ditetapkan Polda Metro Jaya sebagai tersangka. Meski begitu, Direktur Polisi Air Polda Metro Jaya Kombes Hero Hendrianto mengatakan, penetapan tersangka itu belum dianggap cukup. Ia menduga, kecelakaan pelayaran ini berpotensi menyeret banyak nama lain.
"Ini kan ada perbedaan manifes kapal. Pasti akan kami cari itu pelaku lain, karena kejahatan ini bisa saja melibatkan banyak orang," kata Hero kepada Metrotvnews.com, Selasa (3/1/2017).
Ada yang menyebut manifes kapal Zahro Express mengangkut 251 orang, ada juga yang melaporkan 238 orang. Berapapun angka itu disebut, yang jelas keduanya telah melebihi manifes Kapal Zahro Express.
Baca: Polemik Manifes dalam Kecelakaan Kapal
Dalam SPB yang diterbitkan Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Muara Angke, manifes penumpang kapal Zahro Express cuma sebanyak 100 orang.
Selalu berulang
Polemik angka manifes kapal tidak cuma ada dalam kasus Zahro Ekspress. Hitungan serupa juga ditemukan pada peristiwa tenggelamnya Kapal Motor Penyeberangan (KMP) Rafelia 2 di Selat Bali, 4 Maret tahun lalu. Manifes yang awalnya dirilis sebanyak 51 orang, setelah seluruh penumpang dievakuasi, ternyata jumlahnya mencapai 82 orang.
Perbedaan angka manifes penumpang dengan fakta lapangan bukanlah perkara sepele. Sebab tidak mustahil, insiden pelayaran itu disebabkan beban angkut yang melampaui kapasitas, serta kemampuan kapal.
Persoalan yang berulang menunjukkan jaminan keselamatan angkutan di perairan tidak dilakukan secara optimal. Mungkin ini pula yang menjadikan sebab Menteri Perhubungan RI, Budi Karya Sumadi memecat Kepala KSOP Muara Angke, Deddy Junaedi, sehari usai kejadian.
"Kami sudah bebas tugaskan Syahbandar. Syahbandar akan kami klarifikasi, tanya, sejauh mana SOP yang ada dijalankan di lapangan," kata Budi di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Senin (2/1/2017).
Benar, sangat disayangkan jika perkara yang menewaskan puluhan orang ini hanya ditanggapi sebatas pemecatan. Perlu dilakukan penyelidikan lebih lanjut kemungkinan adanya penyimpangan terhadap keselamatan transportasi.
Baca: KNKT Survei Profil Kapal Zahro Express
Pada bab ini, masyarakat menaruh harap pada Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) demi mencegah peristiwa nahas terus berulang. Tidak hanya memburu penyebab kecelakaan di sekitar mesin kapal, namun seperti apa pula pola dan sistem yang ditempuh KSOP dalam menentukan laik dan tidaknya angkutan yang hendak menyeberang.
Peran Syahbandar yang optimal, ditambah KNKT yang mampu bersikap netral. Keduanya menjadi syarat atas jaminan keselamatan berlayar.
medcom.id, Jakarta: Dari sebutannya saja, istilah Syahbandar sudah kentara sebagai warisan lampau negeri-negeri maritim. Termasuk Indonesia.
Syahbandar sebagai empu pelabuhan telah ada sejak kejayaan Malaka, abad 15. Ia menjadi jabatan strategis. Kedudukan sempurna dalam perhubungan dan perdagangan melalui jalur laut.
"Kemitraannya menguntungkan. Dengan penguasa di satu pihak, dan orang asing yang memerlukan restu di pihak lain," tulis Anthony Reid dalam
Asia Tenggara Kurun Niaga 1450-1680.
Hingga hari ini pun, tanggung jawab dan tugas Syahbandar masih tampil seksi. Tugas-tugas itu termaktub dalam PP No. 81 Tahun 2000 tentang Kenavigasian dan PP No. 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhan. Dari kedua regulasi penjabaran UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran itu, poin penting yang patut dicetak tebal adalah ihwal kewenangan Syahbandar dalam menentukan mana kapal yang laik dan tidak sebelum berlayar.
Jika dianggap layak, Syahbandar akan meloloskannya melalui penerbitan Surat Persetujuan Berlayar (SPB).
Mempertanyakan keseriusan KSOP
Awal tahun 2017 dikejutkan dengan kabar terbakarnya Kapal Zahro Express tujuan Pelabuhan Kaliadem-Pulau Tidung, Kepulauan Seribu. Insiden yang terjadi pada Minggu, 1 Januari, itu diduga disebabkan masalah kerusakan mesin.
Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta, mengabarkan kapal terbakar pada pukul 08.30 WIB. Kebakaran Kapal Zahro Express menyebabkan 23 penumpang tewas. Sementara ratusan lainnya terluka.
Sang nahkoda, Mohammad Nali ditetapkan Polda Metro Jaya sebagai tersangka. Meski begitu, Direktur Polisi Air Polda Metro Jaya Kombes Hero Hendrianto mengatakan, penetapan tersangka itu belum dianggap cukup. Ia menduga, kecelakaan pelayaran ini berpotensi menyeret banyak nama lain.
"Ini kan ada perbedaan manifes kapal. Pasti akan kami cari itu pelaku lain, karena kejahatan ini bisa saja melibatkan banyak orang," kata Hero kepada
Metrotvnews.com, Selasa (3/1/2017).
Ada yang menyebut manifes kapal Zahro Express mengangkut 251 orang, ada juga yang melaporkan 238 orang. Berapapun angka itu disebut, yang jelas keduanya telah melebihi manifes Kapal Zahro Express.
Baca: Polemik Manifes dalam Kecelakaan Kapal
Dalam SPB yang diterbitkan Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Muara Angke, manifes penumpang kapal Zahro Express cuma sebanyak 100 orang.
Selalu berulang
Polemik angka manifes kapal tidak cuma ada dalam kasus Zahro Ekspress. Hitungan serupa juga ditemukan pada peristiwa tenggelamnya Kapal Motor Penyeberangan (KMP) Rafelia 2 di Selat Bali, 4 Maret tahun lalu. Manifes yang awalnya dirilis sebanyak 51 orang, setelah seluruh penumpang dievakuasi, ternyata jumlahnya mencapai 82 orang.
Perbedaan angka manifes penumpang dengan fakta lapangan bukanlah perkara sepele. Sebab tidak mustahil, insiden pelayaran itu disebabkan beban angkut yang melampaui kapasitas, serta kemampuan kapal.
Persoalan yang berulang menunjukkan jaminan keselamatan angkutan di perairan tidak dilakukan secara optimal. Mungkin ini pula yang menjadikan sebab Menteri Perhubungan RI, Budi Karya Sumadi memecat Kepala KSOP Muara Angke, Deddy Junaedi, sehari usai kejadian.
"Kami sudah bebas tugaskan Syahbandar. Syahbandar akan kami klarifikasi, tanya, sejauh mana SOP yang ada dijalankan di lapangan," kata Budi di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Senin (2/1/2017).
Benar, sangat disayangkan jika perkara yang menewaskan puluhan orang ini hanya ditanggapi sebatas pemecatan. Perlu dilakukan penyelidikan lebih lanjut kemungkinan adanya penyimpangan terhadap keselamatan transportasi.
Baca: KNKT Survei Profil Kapal Zahro Express
Pada bab ini, masyarakat menaruh harap pada Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) demi mencegah peristiwa nahas terus berulang. Tidak hanya memburu penyebab kecelakaan di sekitar mesin kapal, namun seperti apa pula pola dan sistem yang ditempuh KSOP dalam menentukan laik dan tidaknya angkutan yang hendak menyeberang.
Peran Syahbandar yang optimal, ditambah KNKT yang mampu bersikap netral. Keduanya menjadi syarat atas jaminan keselamatan berlayar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)