medcom.id, Jakarta: Kuasa hukum warga Bukit Duri, Vera Wenny Soemarwi, mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta segera membangun hunian layak bagi korban penggusuran di Bukit Duri. Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menyatakan, warga Bukit Duri berhak mendapatkan ganti rugi dengan memulihkan kembali hak-hak atas perumahan, pendidikan, dan pekerjaan.
"Jadi, kami minta Pemprov DKI segera membangun permukiman seperti di awal kesepakatan," kata Vera, Rabu (11/1/2017).
Vera menjelaskan, ada kesepakatan bersama antara warga Bukit Duri dengan Pemprov DKI saat Surat Peringatan (SP) pertama diterbitkan. Kesepakatan yang dimaksud adalah warga bersedia direlokasi, asal dibangun permukiman yang jaraknya tak jauh dari Bukit Duri.
"Dan itu disepakati oleh kedua belah pihak," ujar Vera.
Namun, perjanjian berubah saat SP kedua terbit. Perjanjian hanya menyebutkan jika warga akan mendapatkan Rusunawa.
"Ini (berubah) secara sepihak saja, dan ini terungkap di pengadilan," ujarnya.
Bahkan, sambung Vera, Majelis Hakim PTUN Jakarta menyebut ada inkonsistensi Pemprov DKI saat perencanaan program ganti rugi. "Masyarakat keberatan, karena itu berarti melanggar perjanjian dengan warga," ujarnya.
Menurut Vera, penolakan disebabkan rusunawa yang ditawarkan tidak sebanding dengan tanah dan bangunan yang dimiliki warga. Selain itu, tidak ada jaminan kepastian atas hunian di rusunawa.
"Salah satu pertimbangan majelis hakim adalah Pemprov DKI tidak profesional dan tidak transparan. Salah satunya, yaitu kriteria pemberian rusun. Di dalam perjajian, rusun hanya diberikan dalam jangka waktu dua tahun," bebernya.
(Baca: Wali Kota Jaksel Bakal Ajukan Banding Terkait Kasus Bukit Duri)
Warga Bukit Duri melayangkan gugatan ke PTUN Jakarta terkait SP-1 yang dikeluarkan Kasatpol PP Jakarta Selatan pada Oktober 2016. SP-1 yang menjadi objek gugatan ini berisi perintah bagi warga untuk membongkar bangunan tempat tinggalnya sendiri, dalam kurun waktu 7x24 jam setelah surat dilayangkan.
Hasilnya, PTUN Jakarta memenangkan gugatan warga Bukit Duri. Majelis Hakim berpendapat, pemerintah DKI Jakarta wajib memberikan ganti rugi yang layak kepada warga Bukit Duri akibat dari ditertibkannya objek sengketa, dihancurkannya rumah-rumah warga, dan dirampasnya tanah-tanah warga tanpa kompensasi yang layak.
Hakim juga berpendapat, pelaksanaan pembebasan tanah warga Bukit Duri tidak berdasarkan pada tahapan dalam Undang-Undang Pengadaan Tanah. Pemprov DKI dinyatakan melanggar asas partisipasi, kemanusiaan, keadilan, kesepakatan, dan keterbukaan.
Sebelum menggugat SP-1, warga Bukit Duri juga mengajukan gugatan class action di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hasilnya, warga juga memenangkan gugatan tersebut.
(Baca: Sumarsono Pastikan Normalisasi Cilwung Jalan Terus)
medcom.id, Jakarta: Kuasa hukum warga Bukit Duri, Vera Wenny Soemarwi, mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta segera membangun hunian layak bagi korban penggusuran di Bukit Duri. Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menyatakan, warga Bukit Duri berhak mendapatkan ganti rugi dengan memulihkan kembali hak-hak atas perumahan, pendidikan, dan pekerjaan.
"Jadi, kami minta Pemprov DKI segera membangun permukiman seperti di awal kesepakatan," kata Vera, Rabu (11/1/2017).
Vera menjelaskan, ada kesepakatan bersama antara warga Bukit Duri dengan Pemprov DKI saat Surat Peringatan (SP) pertama diterbitkan. Kesepakatan yang dimaksud adalah warga bersedia direlokasi, asal dibangun permukiman yang jaraknya tak jauh dari Bukit Duri.
"Dan itu disepakati oleh kedua belah pihak," ujar Vera.
Namun, perjanjian berubah saat SP kedua terbit. Perjanjian hanya menyebutkan jika warga akan mendapatkan Rusunawa.
"Ini (berubah) secara sepihak saja, dan ini terungkap di pengadilan," ujarnya.
Bahkan, sambung Vera, Majelis Hakim PTUN Jakarta menyebut ada inkonsistensi Pemprov DKI saat perencanaan program ganti rugi. "Masyarakat keberatan, karena itu berarti melanggar perjanjian dengan warga," ujarnya.
Menurut Vera, penolakan disebabkan rusunawa yang ditawarkan tidak sebanding dengan tanah dan bangunan yang dimiliki warga. Selain itu, tidak ada jaminan kepastian atas hunian di rusunawa.
"Salah satu pertimbangan majelis hakim adalah Pemprov DKI tidak profesional dan tidak transparan. Salah satunya, yaitu kriteria pemberian rusun. Di dalam perjajian, rusun hanya diberikan dalam jangka waktu dua tahun," bebernya.
(Baca: Wali Kota Jaksel Bakal Ajukan Banding Terkait Kasus Bukit Duri)
Warga Bukit Duri melayangkan gugatan ke PTUN Jakarta terkait SP-1 yang dikeluarkan Kasatpol PP Jakarta Selatan pada Oktober 2016. SP-1 yang menjadi objek gugatan ini berisi perintah bagi warga untuk membongkar bangunan tempat tinggalnya sendiri, dalam kurun waktu 7x24 jam setelah surat dilayangkan.
Hasilnya, PTUN Jakarta memenangkan gugatan warga Bukit Duri. Majelis Hakim berpendapat, pemerintah DKI Jakarta wajib memberikan ganti rugi yang layak kepada warga Bukit Duri akibat dari ditertibkannya objek sengketa, dihancurkannya rumah-rumah warga, dan dirampasnya tanah-tanah warga tanpa kompensasi yang layak.
Hakim juga berpendapat, pelaksanaan pembebasan tanah warga Bukit Duri tidak berdasarkan pada tahapan dalam Undang-Undang Pengadaan Tanah. Pemprov DKI dinyatakan melanggar asas partisipasi, kemanusiaan, keadilan, kesepakatan, dan keterbukaan.
Sebelum menggugat SP-1, warga Bukit Duri juga mengajukan gugatan
class action di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hasilnya, warga juga memenangkan gugatan tersebut.
(Baca: Sumarsono Pastikan Normalisasi Cilwung Jalan Terus) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(NIN)