Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyatakan bahwa tak ada kaitan antara aksi radikal terorisme dengan agama apapun. Adapun Organisasi Masyarakat (ormas) keagamaan dianggap berada dalam garda terdepan dalam pencegahan penyebaran radikal terorisme.
Ormas keagamaan justru bisa memberikan 'vaksinanasi ideologi' kepada umat. Caranya, dengan menggaungkan nasionalisme dengan pendekatan agama.
"Yaitu ajaran agama yang baik dan benar, serta menjunjung tinggi toleransi, serta ideologi Pancasila," ujar Direktur Pencegahan BNPT Brigjen R Ahmad Nurwakhid dalam Rakernas I Pengurus Besar Mathla'ul Anwar, dilansir Media Indonesia, Minggu, 13 Februari 2022.
Baca: Kepala BNPT Ibaratkan Paham Radikal Sama Bahayanya dengan Covid-19
Menurut Nurwakhid, ideologi terorisme sebagai gerakan politik kerap memanipulasi dan mendistorsi agama untuk mengganti ideologi negara dengan ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila sebagai konsensus nasional.
“Terorisme adalah gerakan politik kekuasaan dengan memanipulasi dan mempolitisasi agama yang bertujuan mengganti ideologi negara dengan ideologi transnasional," ucap Nurwakhid.
"Wataknya adalah intoleran terhadap perbedaan dan keberagaman, serta eksklusif terhadap perubahan,” ujarnya.
Pada kesempatan itu, ia memberikan pemahaman terkait hubungan eksklusifisme, intoleransi, radikalisme, dan aksi terorisme. Menurutnya, sikap eksklusif dan intoleran adalah watak dasar dari radikalisme, yang menjiwai semua aksi terorisme dan semuanya diawali oleh paham takfiri.
“Jadi tidak ada kaitannya aksi radikal terorisme dengan agama apapun, karena bertentangan dengan ajaran semua agama," paparnya.
Nurwakhid mengungkapkan, bukti dari efektivitas peran ormas keagamaan dan tokoh agama dalam melakukan pencegahan atau kontra radikalisasi terutama di dunia maya terlihat dari data indeks potensi radikalisme pada 2019 yang berada di angka 38 persen.
Begitu terjadi pandemi covid-9 awal 2020, dalam survei yang dilakukan BNPT pada Oktober-November 2020, indeks potensi radikalisme itu turun dari 38 menjadi 12,2 persen.
“Artinya apa? Salah satu faktor penurunan diakibatkan masifnya tokoh agama dan tokoh masyarakat moderat yang selama ini tidak aktif berdakwah di media sosial, menjadi aktif ikut berdakwah di berbagai platform media sosial,” ungkapnya.
Dalam survei Setara Institute, lanjut Nurwakhid, selama ini konten keagamaan intoleran dan radikal di media sosial atau dunia maya berada di kisaran lebih dari 67 persen. Tetapi, sejak tahun lalu jumlah itu terus menurun setelah diimbangi konten keagamaan moderat yang dilakukan oleh para ulama, kiai, guru, dan anak muda yang selama ini tidak aktif di media sosial.
Ia melanjutkan, pentingnya peran ormas keagamaan juga dilandasi dengan bahayanya ideologi radikal terorisme sebagai gerakan politik, yang kerap memanipulasi agama untuk mengganti ideologi negara dengan ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila sebagai konsensus nasional.
Ia menegaskan bahwa tindakan, watak dan aksi terorisme yang terjadi selama ini tentunya sangat bertentangan dengan nilai agama dan nilai kearifan lokal bangsa yang sangat multikultural.
“Terorisme adalah gerakan politik kekuasaan dengan memanipulasi agama yang bertujuan mengganti ideologi negara dengan ideologi transnasional. Wataknya adalah intoleran terhadap perbedaan dan ekslusif terhadap perubahan,” tandasnya.
Nurwakhid juga mengingatkan untuk terus meningkatkan upaya dan kewaspadaan. Karena, meskipun kelompok seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jamaah Islamiyah (JI) dan Jamaah Ansyorut Daulah (JAD) sudah dibubarkan dan menunjukkan tren penurunan pasca ditetapkannya Undang-Undang No.5 Tahun 2018, ideologinya masih tersisa dan mengintai siapapun yang lengah.
Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (
BNPT) menyatakan bahwa tak ada kaitan antara aksi radikal terorisme dengan agama apapun. Adapun Organisasi Masyarakat (
ormas) keagamaan dianggap berada dalam garda terdepan dalam pencegahan penyebaran radikal terorisme.
Ormas keagamaan justru bisa memberikan 'vaksinanasi ideologi' kepada umat. Caranya, dengan menggaungkan nasionalisme dengan pendekatan agama.
"Yaitu ajaran agama yang baik dan benar, serta menjunjung tinggi toleransi, serta ideologi Pancasila," ujar Direktur Pencegahan BNPT Brigjen R Ahmad Nurwakhid dalam Rakernas I Pengurus Besar Mathla'ul Anwar, dilansir
Media Indonesia, Minggu, 13 Februari 2022.
Baca:
Kepala BNPT Ibaratkan Paham Radikal Sama Bahayanya dengan Covid-19
Menurut Nurwakhid, ideologi terorisme sebagai gerakan politik kerap memanipulasi dan mendistorsi agama untuk mengganti ideologi negara dengan ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila sebagai konsensus nasional.
“Terorisme adalah gerakan politik kekuasaan dengan memanipulasi dan mempolitisasi agama yang bertujuan mengganti ideologi negara dengan ideologi transnasional," ucap Nurwakhid.
"Wataknya adalah intoleran terhadap perbedaan dan keberagaman, serta eksklusif terhadap perubahan,” ujarnya.
Pada kesempatan itu, ia memberikan pemahaman terkait hubungan eksklusifisme, intoleransi, radikalisme, dan aksi terorisme. Menurutnya, sikap eksklusif dan intoleran adalah watak dasar dari radikalisme, yang menjiwai semua aksi terorisme dan semuanya diawali oleh paham takfiri.
“Jadi tidak ada kaitannya aksi radikal terorisme dengan agama apapun, karena bertentangan dengan ajaran semua agama," paparnya.