Jakarta: Polri dan Kejaksaan Agung (Kejagung) dianggap lebih strategis menangani kasus Djoko Tjandra dan Jaksa Pinangki Sirna Malasari ketimbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kedua lembaga itu bahkan dianggap mampu membuat terang kasus tersebut.
Apalagi, hubungan Jaksa Pinangki, Jaksa Agung Burhanuddin dan Djoko Tjandra disebut sudah terjalin sejak 2012. Sehingga penegak hukum dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan yang tengah menangani kasus Jaksa Pinangki lebih mudah membuka sengkarut permasalahan tersebut.
"Kalau perkenalan mereka sudah terjalin lama ini sangat startegis. Karena menurut saya sudah mungkin sekali perkenalan lama itu bisa berimplikasi seperti saat ini. Dan itu lebih strategis lagi bagi penegak hukum," kata Pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Prof Mudzakkir ketika dihubungi wartawan, Rabu, 9 September 2020.
Mudzakkir mengatakan momen ini juga seharusnya bisa dimanfaatkan bersih-bersih di lembaga penegak hukum terutama kejaksaan dan kepolisian. Apalagi, Jaksa Pinangki pernah menjadi Staf di Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejaksaan Agung, yang saat itu dijabat oleh Burhanuddin.
"Kalau ingin membersihkan kejaksaan maka pegang Pinangki ini, begitu juga di Kepolisian," kata dia.
Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta itu menyebut tak menutup kemungkinan jaksa Pinangki sudah bermain kasus di Kejaksaan Agung selama ini. "Apalagi kalau dia Staf dari Jaksa Agung sekarang, bisa saja dia melakukan cawe-cawe, karena dia sudah kenal," kata dia.
Baca: Belum Lengkap, Berkas Perkara Surat Sakti Djoko Tjandra Dikembalikan
Di sisi lain, Mudazakkir menyesalkan adanya nota kesepahaman atau MoU antara lembaga penegak hukum. Jika tidak, kata dia, KPK bisa menangani kasus tersebut.
"Inilah sesusunguhnya peran KPK, kalau saja ketika itu tidak MoU dengan kejaksan dan kepolisian, ini yang dibongkar KPK dan ini bisa menyelesaikan, diduga dalam kasus Djoko Tjandra ada keterlibatan oknum kejaksaan dan kepolisian dan juga hakim. Dan KPK punya peran membongkar ini semua," kata dia.
Namun demikian, langkah KPK yang ingin mengungkap kasus ini justru tersandera. KPK seolah tersandera dengan permainan sendiri.
"Kalau kepolisian dan kejaksaan itu kan saling lirik. Kalau misalkan Kepolisian ada menangani kasus, ini nanti dipersulit di penuntutuan. Ini seharusnya menjadi momentum mengevaluasi keputusan KPK. Tapi dengan tidak ada ketegasan dari KPK, sekarang lebih jelas bahwa menjadi tidak perlu adanya KPK, karena KPK blunder sendiri," kata dia.
Pinangki ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penerimaan suap dari Djoko Tjandra untuk mengurus fatwa di Mahkamah Agung (MA). Fatwa itu bertujuan membebaskan Djoko Tjandra dari eksekusi Kejagung atas kasus korupsi hak tagih Bank Bali.
Pinangki diduga menerima suap sebesar USD500 ribu atau setara Rp7 miliar. Pinangki disangkakan melanggar Pasal 5 huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, dengan hukuman penjara maksimal lima tahun dan denda paling banyak Rp250 juta.
Teranyar, Pinangki dikenakan pasal TPPU. Pinangki diduga menyamarkan uang suap yang diterimanya menjadi sejumlah barang mewah.
Jakarta: Polri dan Kejaksaan Agung (Kejagung) dianggap lebih strategis menangani kasus Djoko Tjandra dan Jaksa
Pinangki Sirna Malasari ketimbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kedua lembaga itu bahkan dianggap mampu membuat terang kasus tersebut.
Apalagi, hubungan Jaksa Pinangki, Jaksa Agung Burhanuddin dan Djoko Tjandra disebut sudah terjalin sejak 2012. Sehingga penegak hukum dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan yang tengah menangani kasus Jaksa Pinangki lebih mudah membuka sengkarut permasalahan tersebut.
"Kalau perkenalan mereka sudah terjalin lama ini sangat startegis. Karena menurut saya sudah mungkin sekali perkenalan lama itu bisa berimplikasi seperti saat ini. Dan itu lebih strategis lagi bagi penegak hukum," kata Pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Prof Mudzakkir ketika dihubungi wartawan, Rabu, 9 September 2020.
Mudzakkir mengatakan momen ini juga seharusnya bisa dimanfaatkan bersih-bersih di lembaga penegak hukum terutama kejaksaan dan kepolisian. Apalagi, Jaksa Pinangki pernah menjadi Staf di Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejaksaan Agung, yang saat itu dijabat oleh Burhanuddin.
"Kalau ingin membersihkan kejaksaan maka pegang Pinangki ini, begitu juga di Kepolisian," kata dia.
Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta itu menyebut tak menutup kemungkinan jaksa Pinangki sudah bermain kasus di Kejaksaan Agung selama ini. "Apalagi kalau dia Staf dari Jaksa Agung sekarang, bisa saja dia melakukan cawe-cawe, karena dia sudah kenal," kata dia.
Baca:
Belum Lengkap, Berkas Perkara Surat Sakti Djoko Tjandra Dikembalikan