Jakarta: Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin berharap ada sinkronisasi aturan dan sinergitas untuk pelaksanaan restorative justice (RJ) dalam tindak pidana umum. Sinkronisasi aturan itu harus dikuatkan dalam peraturan perundang-undangan bukan hanya melalui peraturan internal aparat penegak hukum.
"Tentunya kami berharap ada sinkronisasi aturan yang sinergitas dalam pelaksanaan restorative justice dalam suatu tindak pidana umum. Ke depan dikuatkan oleh peraturan perundangan tidak hanya melalui peraturan internal melainkan diatur dalam rencana kitab hukum tindak pidana dan rencana kitab hukum acara pidana," kata Burhanuddin dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Kamis, 27 Januari 2022.
Dia menyebut pelaksanaan restorative justice di lingkungan kejaksaan telah dituangkan dan dilaksanakan dalam peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restorative Justice dan surat edaran petunjuk Jampidum serta peraturan lainnya.
"Proses restorative justice dilakukan secara berjenjang dan proses akhir dengan melakukan ekspose dengan Jampidum," ucap dia.
Restorative justice merupakan wewenang jaksa untuk melimpahkan atau tidak sebuah perkara ke pengadilan. Mekanisme restorative justice berbeda dengan pembuktian penyidikan atau konsep penghentian penuntutan sebagaimana diatur KUHAP.
Perkara yang dengan proses restorative justice adalah perkara yang secara hukum positif dinyatakan lengkap dan dapat disidangkan. Secara internasional, jaksa yang memberikan kewenangan untuk melakukan restorative justice berdasarkan azas dominus litis dan azas oportunitas.
"Kejaksaan dengan memerhatikan animo masyarakat atas pelaksanaan restorative justice kami membuka wacana untuk memperluas restorative justice dengan kajian akademis terkait pelaksanaan restorative justice bukan hanya untuk kemanfaatan restorative justice yang pragmatis seperti misalnya kelebihan kapasitas di lapas namun lebih dari itu tujuannya pencapaian azas keadilan hukum yang substantif bagi para pencari keadilan," tegasnya.
Baca: SETARA Institute: Restoratif Justice Kejaksaan Perkuat Sistem Peradilan Pidana
Dalam rapat yang berlangsung dua jam itu, Burhanuddin juga memaparkan berbagai perkara korupsi yang menjadi perhatian publik karena nilai kerugian negara yang besar atau pun yang menjadi laporan masyarakat luas. Kejaksaan akan terus berkoordinasi dengan pihak terkait, misalnya BUMN perihal penanganan perkara dugaan korupsi Garuda dan Satelit 123 BT.
Termasuk, mafia tanah, mafia pelabuhan, mafia bandara, dan lainnya. Kejaksaan bahkan telah membentuk pemberantasan mafia pelabuhan dan bandara untuk mengusut kasus tersebut.
"Pelaporan hinga 19 Januari 2022, sebanyak 394 laporan dengan rincian 110 sedang ditindaklanjuti dan 200 lebih atau sisanya masih tahap pengkajian. Sedangkan jumlah DPO yang sudah ditangkap 667 orang dan yang belum berhasil ditangkap 370 orang," kata dia.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR Wayan Sidarta menilai Jaksa Agung tidak memberikan pengarahan atau SOP khusus terhadap jaksa yang ditugaskan di Satgas Khusus. Sehingga, jaksa melakukan penanganan kasus mafia tanah yang viral yang sudah ditangani oleh Kementerian Pertanahan.
"Tolong Satgas Khusus diperkuat karena pernyataan Presiden (Joko Widodo) jelas negara tidak boleh kalah dengan mafia tanah tapi dalam praktiknya kalau mafia tanah yang ada di BPN bersatu dengan oknum pemda rasanya rikuh yang luar biasa pada kejaksaan itu jadi kenyataan. Maka akan terdapatlah data di daerah berpuluh tahun ada putusan MA tidak dapat dieksekusi, berpuluh tahun pilih pura kalau di Bali diambil oleh penggarap tidak dikembalikan karena bersekutu dengan mafia tanah, BPN dan pemda," kata Wayan.
Jakarta:
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin berharap ada sinkronisasi aturan dan sinergitas untuk pelaksanaan
restorative justice (RJ) dalam tindak pidana umum. Sinkronisasi aturan itu harus dikuatkan dalam peraturan perundang-undangan bukan hanya melalui peraturan internal aparat
penegak hukum.
"Tentunya kami berharap ada sinkronisasi aturan yang sinergitas dalam pelaksanaan
restorative justice dalam suatu tindak pidana umum. Ke depan dikuatkan oleh peraturan perundangan tidak hanya melalui peraturan internal melainkan diatur dalam rencana kitab hukum tindak pidana dan rencana kitab hukum acara pidana," kata Burhanuddin dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Kamis, 27 Januari 2022.
Dia menyebut pelaksanaan
restorative justice di lingkungan kejaksaan telah dituangkan dan dilaksanakan dalam peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan
Restorative Justice dan surat edaran petunjuk Jampidum serta peraturan lainnya.
"Proses
restorative justice dilakukan secara berjenjang dan proses akhir dengan melakukan ekspose dengan Jampidum," ucap dia.
Restorative justice merupakan wewenang jaksa untuk melimpahkan atau tidak sebuah perkara ke pengadilan. Mekanisme
restorative justice berbeda dengan pembuktian penyidikan atau konsep penghentian penuntutan sebagaimana diatur KUHAP.
Perkara yang dengan proses
restorative justice adalah perkara yang secara hukum positif dinyatakan lengkap dan dapat disidangkan. Secara internasional, jaksa yang memberikan kewenangan untuk melakukan
restorative justice berdasarkan azas
dominus litis dan azas oportunitas.
"Kejaksaan dengan memerhatikan animo masyarakat atas pelaksanaan
restorative justice kami membuka wacana untuk memperluas
restorative justice dengan kajian akademis terkait pelaksanaan
restorative justice bukan hanya untuk kemanfaatan
restorative justice yang pragmatis seperti misalnya kelebihan kapasitas di lapas namun lebih dari itu tujuannya pencapaian azas keadilan hukum yang substantif bagi para pencari keadilan," tegasnya.
Baca:
SETARA Institute: Restoratif Justice Kejaksaan Perkuat Sistem Peradilan Pidana