Jakarta: Putusan lepas dalam perkara dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) dinilai tidak tepat. Eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu dinilai telah melanggar hukum.
"Menurut eksaminasi kami perbuatan SAT memenuhi unsur tindak pidana korupsi (tipikor). Pengajuan kasasi yang menjatuhkan putusan lepas untuk Syafruddin adalah putusan tidak tepat," kata ahli hukum pidana dari Universitas Parahyangan, Budi Prastowo, dalam diskusi daring, Sabtu, 26 September 2020.
Budi mengatakan dalam putusan kasasi dari hakim Mahkamah Agung, Syafruddin disebut menerbitkan SKL kepada debitur termasuk saksi Syamsul Nursalim dan Itjih S. Nursalim dalam melaksanakan tugas dan kewajiban selaku ketua BPPN. Budi mengakui Syafruddin memiliki kewenangan itu berdasarkan undang-undang.
"Akan tetapi kewenangan itu harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur dan syarat-syarat yang diatur dalam hukum," ujar Budi.
Budi memandang dalam implementasi kebijakan tersebut terjadi kesalahan administrasi atau prosedur yang dilakukan oleh BPPN. Dia menyebut kesalahan itu berpotensi menimbulkan kerugian pada keuangan negara dan menguntungkan pihak lain.
Dalam pertimbangannya, hakim MA mengakui ada kesalahan administrasi dan prosedur yang berpotensi merugikan keuangan negara. Hanya, kata Budi, MA mengatakan pihak lain yang diuntungkan tidak dapat dikatakan melakukan tindak pidana.
"Pihak lain ini tidak relevan dan bias, yang diadili dalam perkara ini adalah SAT, enggak ada urusannya dengan pihak lain, dengan kesalahan dan pertanggungjawaban pihak lain," tutur Budi.
Budi menjelaskan dalam pandangan pidana kesalahan administrasi dan prosedur itu secara yuridis merupakan salah satu kriteria terjadinya perbuatan melawan hukum. Aparat penegak hukum tinggal mencari bukti unsur-unsur kerugian keuangan negara.
"Enggak mungkin itu tidak disengaja, setidaknya SAT mengetahui kesalahan admimistrasi dan prosedur itu melawan hukum dan menimbulkan kerugian negara. Maka itu, seluruh unsur tipikor terpenuhi mestinya," papar dia.
Baca: MA Tolak Permohonan PK Perkara Syafruddin Arsyad Temenggung
Syafruddin terlepas dari vonis penjara dalam perkara dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI. Majelis hakim MA menyatakan Syafruddin terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan jaksa penuntut umum, tetapi perbuatan itu dipandang bukan suatu tindak pidana.
Dalam amar putusannya, majelis hakim agung MA membatalkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Dia sedianya divonis dengan 15 tahun pidana penjara dan denda Rp1 miliar subsider tiga bulan kurungan.
"Membatalkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta nomor 29/PID.SUS.TPK-2018/PT.DKI tanggal 2 Januari 2019 yang mengubah amar putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah dalam konferensi pers di Gedung MA, Jakarta, Selasa, 9 Juli 2019.
Jakarta: Putusan lepas dalam perkara dugaan
korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (
SKL BLBI) dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) dinilai tidak tepat. Eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu dinilai telah melanggar hukum.
"Menurut eksaminasi kami perbuatan SAT memenuhi unsur tindak pidana korupsi (tipikor). Pengajuan kasasi yang menjatuhkan putusan lepas untuk Syafruddin adalah putusan tidak tepat," kata ahli hukum pidana dari Universitas Parahyangan, Budi Prastowo, dalam diskusi daring, Sabtu, 26 September 2020.
Budi mengatakan dalam putusan kasasi dari hakim Mahkamah Agung, Syafruddin disebut menerbitkan SKL kepada debitur termasuk saksi Syamsul Nursalim dan Itjih S. Nursalim dalam melaksanakan tugas dan kewajiban selaku ketua BPPN. Budi mengakui Syafruddin memiliki kewenangan itu berdasarkan undang-undang.
"Akan tetapi kewenangan itu harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur dan syarat-syarat yang diatur dalam hukum," ujar Budi.
Budi memandang dalam implementasi kebijakan tersebut terjadi kesalahan administrasi atau prosedur yang dilakukan oleh BPPN. Dia menyebut kesalahan itu berpotensi menimbulkan kerugian pada keuangan negara dan menguntungkan pihak lain.
Dalam pertimbangannya, hakim MA mengakui ada kesalahan administrasi dan prosedur yang berpotensi merugikan keuangan negara. Hanya, kata Budi, MA mengatakan pihak lain yang diuntungkan tidak dapat dikatakan melakukan tindak pidana.
"Pihak lain ini tidak relevan dan bias, yang diadili dalam perkara ini adalah SAT, enggak ada urusannya dengan pihak lain, dengan kesalahan dan pertanggungjawaban pihak lain," tutur Budi.