Jakarta: Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut ada dugaan prajurit TNI yang menembak pendeta Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII), Kabupaten Intan Jaya, Papua, Yeremias Zanambani. Untuk itu, kasus ini harus diusut tim independen.
"Hal ini bermula dari sangkaan bahwa pendeta atau warga Hitadipa adalah aktor tewasnya salah satu anggota TNI," kata Koordinator KontraS Fatia Mulidiyanti melalui keterangan tertulis, Kamis, 24 September 2020.
Menurut dia, pendeta Yeremias ditembak di distrik Hitadipa, Sabtu, 19 Agustus 2020, sekitar pukul 17.30 WIT. Selain penembakan, prajurit TNI diduga mengancam hingga mengusir paksa beberapa pendeta di Hitadipa pada Jumat dan Sabtu, 18-19 September 2020.
"Dalam melakukan pencarian atas pembunuhan rekannya, anggota TNI mengancam, mengusir warga secara paksa," ujar Fatia.
Fatia menyebut ada sejumlah pelanggaran yang dilakukan prajurit TNI atas tindakan tersebut. Pertama, inisiatif TNI mencari pelaku pembunuhan prajurit secara mandiri. Fatia menyebut yang berwenang menyelidiki peristiwa kejahatan itu ialah kepolisian.
"Hal ini justru berpotensi TNI akan main hakim sendiri atas langkah yang diambilnya," ungkap Fatia.
Kedua, lanjut dia, tindakan penembakan yang diduga dilakukan prajurit TNI itu merupakan kejahatan. Anggota TNI disebut melanggar Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara.
"Oleh karenanya, proses yang dilakukan harus menggunakan mekanisme peradilan pidana dan diadili melalui peradilan umum meskipun pelakunya ialah seorang prajurit TNI," tutur dia.
Terakhir, Fatia menilai personel TNI yang diduga menembak dan dan mengusir warga melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) serta Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Tragedi penembakan, kata dia, menambah daftar panjang peristiwa pelanggaran HAM di Papua.
"Ini membuktikan bahwa pendekatan keamanan dengan dalih perlindungan sangat tidak tepat untuk menyelesaikan masalah di Papua," jelas dia.
Fatia mengakui penembakan pandeta ini masih simpang siur. Aparat TNI, kata dia, menuduh anggota kelompok kriminal senjata (KKB) yang menembak. Sementara itu, masyarakat setempat yakin pelakunya personel TNI.
Fatia meminta Kapolda Papua Inspektur Jenderal (Irjen) Paulus Waterpauw membentuk tim independen dalam pengusutan penembakan terhadap pendeta Yeremias. Tim itu harus melibatkan Dewan Adat Papua, tokoh gereja, Komisi Nasional (Komnas) HAM, dan Ombudsman.
"Guna menjamin indepedensi dalam melakukan penyelidikan atau penyidikan," ujar dia.
Selain itu, Fatia mendesak Presiden Joko Widodo menghentikan pendekatan keamanan dalam menyelesaikan konflik di tanah Papua. Dia menganggap pendekatan itulah yang menyebabkan rantai pelanggaran HAM terus terjadi di Papua.
Baca: Penembak Pendeta Murni dari KKB
"Bahwa pendekatan keamanan tersebut merupakan tindakan yang tidak sah karena Indonesia tidak pernah mendeklarasikan Papua sebagai daerah operasi militer (DOM)," ucap dia.
Sementara itu, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto diminta mengevaluasi keberadaan dan fungsi dari pos-pos penjagaan TNI di wilayah Papua. Hal ini agar tidak terjadi fungsi kerja yang sewenang-wenang dan di luar tanggung jawab.
Jakarta: Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut ada dugaan prajurit TNI yang menembak pendeta Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII), Kabupaten Intan Jaya, Papua, Yeremias Zanambani. Untuk itu, kasus ini harus diusut tim independen.
"Hal ini bermula dari sangkaan bahwa pendeta atau warga Hitadipa adalah aktor tewasnya salah satu anggota TNI," kata Koordinator KontraS Fatia Mulidiyanti melalui keterangan tertulis, Kamis, 24 September 2020.
Menurut dia, pendeta Yeremias ditembak di distrik Hitadipa, Sabtu, 19 Agustus 2020, sekitar pukul 17.30 WIT. Selain penembakan, prajurit TNI diduga mengancam hingga mengusir paksa beberapa pendeta di Hitadipa pada Jumat dan Sabtu, 18-19 September 2020.
"Dalam melakukan pencarian atas pembunuhan rekannya, anggota TNI mengancam, mengusir warga secara paksa," ujar Fatia.
Fatia menyebut ada sejumlah pelanggaran yang dilakukan prajurit TNI atas tindakan tersebut. Pertama, inisiatif TNI mencari pelaku pembunuhan prajurit secara mandiri. Fatia menyebut yang berwenang menyelidiki peristiwa kejahatan itu ialah kepolisian.
"Hal ini justru berpotensi TNI akan main hakim sendiri atas langkah yang diambilnya," ungkap Fatia.
Kedua, lanjut dia, tindakan penembakan yang diduga dilakukan prajurit TNI itu merupakan kejahatan. Anggota TNI disebut melanggar Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara.