Ilustrasi--Helikopter Agusta Westland (AW) 101 di Hanggar Skadron Teknik 021 Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (24/8)--MI/MOHAMAD IRFAN
Ilustrasi--Helikopter Agusta Westland (AW) 101 di Hanggar Skadron Teknik 021 Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (24/8)--MI/MOHAMAD IRFAN

Pembelian Heli AW-101 Diklaim Sesuai Prosedur

M Rodhi Aulia • 27 Agustus 2017 13:16
 medcom.id, Jakarta: Pembelian helikopter AgustaWestland (AW) 101 oleh TNI Angkatan Udara (AU) menyita perhatian publik, lantaran diduga terlalu mahal. Pembelian satu unit helikopter dengan nilai kontrak sekira Rp738 miliar itu, diklaim memenuhi prosedur pengadaan di lingkungan birokrasi pemerintahan.
 
"Tidak mungkin institusi seperti TNI AU bisa melakukan kegiatan (pembelian helikopter) tanpa ada semacam izin atau otorisasi anggaran dari institusi lain yang berwenang," kata Mantan Asisten Perencanaan Kepala Staf Angkatan Udara (Asrena KSAU) Marsekal Muda TNI SB di kawasan Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Jumat 25 Agustus 2017.
 
Baca: Tersangka Heran Pembelian Heli AW-101 Disebut Ada Kerugian Negara

SB meyakini pengadaan helikopter AW itu telah melalui prosedur pengadaan sebagaimana mestinya. Artinya, lanjut SB, pengadaan helikopter ini sudah melalui berbagai lapisan lembaga berwenang yang meneliti proses perencanaan dan penganggaran itu.
 
"Insya Allah sesuai prosedur. Karena kalau tidak sesuai (kondisi helikopter), tidak mungkin anggaran sebesar itu turun. Tidak mungkin saya cari uang sendiri, cari utang ke bank, untuk beli pesawat," ucap dia.
 
SB menjelaskan anggaran pengadaan helikopter ini sempat diblokir oleh Kementerian Keuangan karena terdapat permintaan pengadaan helikopter untuk VVIP pada Desember 2015. Kemudian TNI AU mengajukan perubahan anggaran pengadaan helikopter untuk angkut atau kegiatan SAR.
 
"Helikopter jenis AW sangat tepat untuk SAR. Karena tidak butuh lapangan luas untuk helipad," ucap dia.
 
Baca: KPK Segera Proses Swasta di Kasus Heli AW-101
 
Menurut SB, pemblokiran anggaran untuk helikopter VVIP itu karena ada pembatalan dari Presiden Jokowi kendati tidak eksplisit dan desakan dari masyarakat. Padahal, lanjut SB, helikopter VVIP yang ada saat ini kondisinya tidak memadai.
 
Alhasil, SB menjalankan tupoksinya sebagai Asrena untuk mengajukan helikopter untuk kegiatan SAR. Karena helikopter SAR ini juga menjadi bagian dari rencana strategis TNI AU lima tahunan.
 
Proses perubahan pengadaan helikopter dari VVIP ke angkut atau SAR ini tidak mudah. Pemerintah menelaah secara intensif pengajuan perubahan itu sehingga pada Juni 2016, pemblokiran anggaran dicabut.
 
TNI AU pun menerima anggaran dari pemerintah untuk membeli helikopter angkut atau SAR tersebut.
 
"Kalau VVIP tidak diizinkan, kita mengajukan untuk angkut. Sekali lagi kita hanya mengajukan. Mereka pasti menelaah," ucapnya
 
Dia menilai proses pembukaan blokir tidak mudah. Terbukti dari proses waktunya. "Sekitar enam bulan dari pemblokiran dan pelepasan blokir. Penelaahan cukup intens. Kami mengajukan surat melalui jalur birokrasi, administras di atas kemudian turun ke bawah," beber dia.
 
SB menegaskan seandainya pembelian helikopter AW untuk keperluan SAR juga tidak diizinkan, maka pihaknya pun tidak mempermasalahkan lebih lanjut. Karena pihaknya dalam posisi mengajukan saja terhadap pihak lain yang memiliki kewenangan dalam penganggaran.
 
Namun kini, SB mengaku bingung ditetapkan menjadi salah satu tersangka dalam kasus pembelian helikopter AW 101. Ia pun hingga belum mendapatkan penjelasan resmi terkait penetapan status tersangka tersebut.
 
"UU APBN (2016) sudah jelas melalui proses itu, kita diizinkan mengadakan pesawat angkut," ucap dia.
 
SB pun menambahkan, dirinya merasa bingung telah ada kesimpulan sementara bahwa pembelian ini telah mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp220 miliar. Kendati helikopter AW 101 sudah tiba di Jakarta awal 2017, namun pembayarannya belum lunas dan kontraknya belum selesai.
 
"Selama ini barangkali informasi yang diterima publik, saya lihat hanya satu arah dalam hal ini dari pihak penyidik, Mabes TNI dan Puspom TNI. Sedangkan dari pihak kami dan institusi memang cukup minim," tandas dia.
 
Pada Jumat 4 Agustus 2017, Danpuspom TNI Mayjen TNI Dodik Wijanarko mengumumkan penetapan tersangka untuk mantan Asrena KSAU Marsekal Muda TNI SB dalam perkara pengadaan helikopter AW 101. SB dinilai telah melakukan perbuatan melawan hukum di antaranya diatur dalam Pasal 130 KUHP Militer, Pasal 16 KUHP Militer, dan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU 31/1999 sebagaimana diubah UU 20/2001 juncto pasal 55 ayat (1) KUHP.
 
Dalam kasus ini, POM TNI juga telah menetapkan sejumlah tersangka lain. Mereka adalah Kolonel Kal FTS SE, Marsma TNI FA, Letkol ADM TNI, WW, dan Pelda SS.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(YDH)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan