Jakarta: Mantan narapidana terorisme (Napiter) Haris Amir Falah mengingatkan pemerintah tidak menyepelekan perempuan Indonesia eks ISIS. Haris menyebut perempuan lebih militan ketimbang laki-laki.
"Terakhir, kasus bom Polresta Medan suami terpapar dari istrinya. Banyak yang saya kenal juga suaminya ditinggal istrinya berhijrah ke sana (ISIS), karena tidak sepaham," kata Haris di IBIS Tamarin, Jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Sabtu, 7 Maret 2020.
Haris menyarankan pemerintah tidak memulangkan perempuan Indonesia eks ISIS. Sebab, mereka berangkat berdasarkan ideologi.
Dia menilai mereka bukan lagi WNI. Apalagi, sudah dibaiat menyatakan janji setia pada ISIS dan meninggalkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Pengalaman saya, doktrin anti atau menolak NKRI sudah menjadi paket wajib untuk menjadi seorang yang radikalis," ujar dia.
(Baca: Virus Radikal Dinilai Lebih Ngeri Ketimbang Virus Korona)
Terlebih, kata dia, saat ini perempuan ISIS lebih militan daripada laki-laki. Dia menuturkan sulit mengubah seseorang ketika ideologinya sudah kuat.
"Dulu saya terpapar dari 1983, butuh tujuh tahun untuk pulih. Tapi, saya rasa semua orang bisa terjadi perubahan. Kita tidak bisa mengatakan orang tidak bisa berubah, tapi sulit," tutur dia.
Dia menyarankan pemerintah lebih dulu menyiapkan sejumlah hal bila ingin memulangkan perempuan eks ISIS. Mereka mesti menjalani proses hukum bila melakukan pelanggaran.
"Mereka harus masuk penjara. Di penjara banyak deradikalisasi yang efektif," kata dia.
Haris menyetujui langkah pemerintah memulangkan anak-anak yatim piatu. Namun, mereka juga mesti dites untuk melihat kadar paparan radikalisme.
(Baca: Pemerintah Proses Pemblokiran Paspor WNI Eks ISIS)
Jakarta: Mantan narapidana terorisme (Napiter) Haris Amir Falah mengingatkan pemerintah tidak menyepelekan perempuan Indonesia eks ISIS. Haris menyebut perempuan lebih militan ketimbang laki-laki.
"Terakhir, kasus bom Polresta Medan suami terpapar dari istrinya. Banyak yang saya kenal juga suaminya ditinggal istrinya berhijrah ke sana (ISIS), karena tidak sepaham," kata Haris di IBIS Tamarin, Jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Sabtu, 7 Maret 2020.
Haris menyarankan pemerintah tidak memulangkan perempuan Indonesia eks ISIS. Sebab, mereka berangkat berdasarkan ideologi.
Dia menilai mereka bukan lagi WNI. Apalagi, sudah dibaiat menyatakan janji setia pada ISIS dan meninggalkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Pengalaman saya, doktrin anti atau menolak NKRI sudah menjadi paket wajib untuk menjadi seorang yang radikalis," ujar dia.
(Baca:
Virus Radikal Dinilai Lebih Ngeri Ketimbang Virus Korona)
Terlebih, kata dia, saat ini perempuan ISIS lebih militan daripada laki-laki. Dia menuturkan sulit mengubah seseorang ketika ideologinya sudah kuat.
"Dulu saya terpapar dari 1983, butuh tujuh tahun untuk pulih. Tapi, saya rasa semua orang bisa terjadi perubahan. Kita tidak bisa mengatakan orang tidak bisa berubah, tapi sulit," tutur dia.
Dia menyarankan pemerintah lebih dulu menyiapkan sejumlah hal bila ingin memulangkan perempuan eks ISIS. Mereka mesti menjalani proses hukum bila melakukan pelanggaran.
"Mereka harus masuk penjara. Di penjara banyak deradikalisasi yang efektif," kata dia.
Haris menyetujui langkah pemerintah memulangkan anak-anak yatim piatu. Namun, mereka juga mesti dites untuk melihat kadar paparan radikalisme.
(Baca:
Pemerintah Proses Pemblokiran Paspor WNI Eks ISIS)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)