Jakarta: Sudah lima hari berjalan sejak Menteri Sosial nonaktif Juliari Peter Batubara menyerahkan diri ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menjadi tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan batuan sosial (bansos) sembako covid-19 di Jabodetabek pada 2020. Juliari menyerahkan diri usai dinyatakan diburu KPK.
Kasus ini bermula ketika KPK melakukan operasi senyap dan menangkap beberapa pejabat Kementerian Sosial (Kemensos) pada Jumat, 4 Desember 2020 pukul 23.00 WIB sampai dengan Sabtu, 5 Desember 2020 pukul 02.00 WIB. Juliari menghilang saat operasi senyap itu berlangsung.
Juliari mendengar kabar operasi tangkap tangan (OTT) pejabat Kemensos yang dilakukan KPK. Namun, Juliari mengaku sedang berada di luar kota .
Juliari sempat membocorkan ke wartawan, pejabat Kemensos yang terseret pusaran kasus korupsi ialah aparat sipil negara (ASN) golongan III. Dia mengaku hanya akan memantau perkembangan kasus itu sebelum menentukan langkah.
Dia sempat mempersilakan KPK untuk memproses anak buahnya yang tertangkap. Tapi, beberapa jam setelah Juliari membuat pernyataan di media, KPK mengadakan konferensi pers terkait OTT pejabat Kemensos.
Ketua KPK Firli Bahuri menyebut lima nama tersangka korupsi bantuan sosial (bansos) di Kemensos. Mereka ialah Juliari, dua pejabat pembuat komitmen (PPK) Kemensos, Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso; serta dua pihak swasta, Ardian IM dan Harry Sidabuke.
Mereka berlima berkomplot melakukan pemufakatan jahat. Juliari dan Adi sempat dinyatakan buron saat konferensi pers. Satu jam setelah konferensi pers itu berakhir Juliari menyerahkan diri. Sementara itu, Adi menyerahkan diri pada pagi harinya.
Baca: Mensos Juliari Menyerahkan Diri ke KPK
Juliari dapat Rp10.000 per paket bansos
KPK menduga Juliari mendapatkan Rp10 ribu tiap paket bansos covid-19 yang disalurkan ke masyarakat. Kongkalikong untuk rasuah ini berlangsung selama dua periode.
Periode pertama kerja sama pengadaan dengan perusahaan rekanan berlangsung Mei hingga November 2020. Juliari diduga mendapatkan uang Rp8,2 miliar.
Lalu, pengadaan bansos periode kedua berlangsung pada Oktober 2020 hingga Desember 2020. KPK mencatat pengumpulan fee sampai Rp8,8 miliar yang masuk ke kantong Juliari.
Juliari mengantongi total uang Rp17 miliar dari Mei hingga Desember. Uang itu diduga dipakai untuk kepentingan pribadinya.
Korupsi Juliari diyakini lebih besar
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman tidak percaya Juliari hanya mencatut Rp10 ribu per paket bansos. Berdasarkan perhitungan pihaknya, sembako yang diterima masyarakat hanya senilai Rp188 ribu.
Boyamin membuat penghitungan singkat dalam pembiayaan satu paket bansos. Menurutnya, anggaran Rp300 ribu per paket masih dipotong Rp15 ribu untuk ongkos kirim dan Rp15 ribu untuk pembelian tas furing.
Dari potongan itu, sisa dana untuk sembako tinggal Rp270 ribu. Namun, berdasarkan nilai riil barang-barnag dalam paket, uang yang dibelikan sembako dari perusahaan penyuplai hanya Rp188 ribu.
"Barang-barang yang ada di lapangan itu Rp188 ribu. Maka Rp270 ribu dikurangi Rp188 ribu maka uang yang menguap adalah Rp82 ribu," ujar Boyamin, Kamis 10 Desember 2020.
KPK tidak ingin menyepelekan penghitungan singkat Boyamin. Pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK Ali Fikri menyebut pihaknya akan mendalami dugaan tersebut.
"Seluruh data dan informasi terkait pengadaan bansos tersebut tentu akan di dalami dan digali dari keterangan para saksi yang akan dihadirkan dalam proses penyidikan," ujar Ali, Kamis, 10 Desember 2020.
KPK mengakui penyaluran bansos di daerah sulit dikawal. Sebab, data penyaluran bansos tidak terbuka.
Baca: KPK Kesulitan Memantau Pembagian Bansos Akibat Kurang Transparan
KPK meminta masyarakat menunggu dan memberikan kepercayaan kepada KPK untuk mendalami kasus. Semua fakta bansos dan yang dikorupsi Mensos Juliari bakal diungkap dengan terang.
Heboh hukuman mati
KPK pernah menegaskan tidak akan segan 'menggigit' pelaku korupsi dana pandemi. Bahkan, Firli seringkali menekankan hukuman mati bagi siapa pun yang berani korupsi dana penanganan pandemi.
Firli sempat menyebut Juliari bisa diancam hukuman mati. Hukuman itu bisa dikenakan jika Juliari terbukti melanggar Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
KPK tidak mau gegabah dalam menyangkakan Juliari dengan pidana hukuman mati. Namun, Lembaga Antikorupsi tetap mendalami fakta dan bukti Juliari melanggar Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor.
"Kita harus bekerja keras untuk membuktikan ada atau tidaknya tindak pidana sebagaimana maksud dalam Pasal 2 UU 31 Tahun 1999 itu," kata Firli di Gedung Penunjang KPK, Jakarta Selatan, Minggu, 6 Desember 2020.
Baca: Pemerintah Didesak Evaluasi Pengadaan Bansos Covid-19
Juliari dinilai sudah memenuhi syarat untuk disangkakan dengan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pasalnya bansos covid-19 merupakan bagian dari penanganan pandemi virus korona.
"Kalau ini tidak dalam keadaan korona, bansos tidak akan dilakukan semasif ini. Anggaran (bansos) itu juga berkaitan dengan bencana nonalam. Itu kan (bansos) bagian dari yang dianggarkan timbulnya Perppu korona," kata Boyamin kepada Medcom.id, Jumat, 11 Desember 2020.
Hukuman mati tak hapuskan korupsi
Penyidik KPK Novel Baswedan mengatakan hukuman mati dalam kasus Juliari belum tentu bisa menghilangkan sikap koruptif masyarakat. Sikap koruptif hanya bisa dihilangkan dengan cara pendidikan antikorupsi.
"Contohnya masalah buang sampah sembarang di Singapura enggak terjadi. Ketertiban di sana baik karena keyakinan orang kalau berbuat melanggar (aturan), dia akan segera kena dan pasti kena (hukuman)," kata Novel dalam telekonferensi di Jakarta, Kamis, 10 Desember 2020.
Novel mengamini banyak pengamat hukum yang menilai hukuman mati bisa menimbulkan efek jera untuk pejabat yang korupsi. Namun, kata Novel, tak sedikit juga pengamat yang menilai hukuman mati melanggar hak asasi manusia (HAM).
Jakarta: Sudah lima hari berjalan sejak Menteri Sosial nonaktif Juliari Peter Batubara menyerahkan diri ke Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK) karena menjadi tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan batuan sosial (
bansos) sembako covid-19 di Jabodetabek pada 2020. Juliari menyerahkan diri usai dinyatakan diburu KPK.
Kasus ini bermula ketika KPK melakukan operasi senyap dan menangkap beberapa pejabat Kementerian Sosial (Kemensos) pada Jumat, 4 Desember 2020 pukul 23.00 WIB sampai dengan Sabtu, 5 Desember 2020 pukul 02.00 WIB. Juliari menghilang saat operasi senyap itu berlangsung.
Juliari mendengar kabar operasi tangkap tangan (
OTT) pejabat Kemensos yang dilakukan KPK. Namun, Juliari mengaku sedang berada di luar kota .
Juliari sempat membocorkan ke wartawan, pejabat Kemensos yang terseret pusaran kasus korupsi ialah aparat sipil negara (ASN) golongan III. Dia mengaku hanya akan memantau perkembangan kasus itu sebelum menentukan langkah.
Dia sempat mempersilakan KPK untuk memproses anak buahnya yang tertangkap. Tapi, beberapa jam setelah Juliari membuat pernyataan di media, KPK mengadakan konferensi pers terkait OTT pejabat Kemensos.
Ketua KPK Firli Bahuri menyebut lima nama tersangka korupsi bantuan sosial (bansos) di Kemensos. Mereka ialah Juliari, dua pejabat pembuat komitmen (PPK) Kemensos, Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso; serta dua pihak swasta, Ardian IM dan Harry Sidabuke.
Mereka berlima berkomplot melakukan pemufakatan jahat. Juliari dan Adi sempat dinyatakan buron saat konferensi pers. Satu jam setelah konferensi pers itu berakhir Juliari menyerahkan diri. Sementara itu, Adi menyerahkan diri pada pagi harinya.
Baca:
Mensos Juliari Menyerahkan Diri ke KPK
Juliari dapat Rp10.000 per paket bansos
KPK menduga Juliari mendapatkan Rp10 ribu tiap paket bansos covid-19 yang disalurkan ke masyarakat. Kongkalikong untuk rasuah ini berlangsung selama dua periode.
Periode pertama kerja sama pengadaan dengan perusahaan rekanan berlangsung Mei hingga November 2020. Juliari diduga mendapatkan uang Rp8,2 miliar.
Lalu, pengadaan bansos periode kedua berlangsung pada Oktober 2020 hingga Desember 2020. KPK mencatat pengumpulan fee sampai Rp8,8 miliar yang masuk ke kantong Juliari.
Juliari mengantongi total uang Rp17 miliar dari Mei hingga Desember. Uang itu diduga dipakai untuk kepentingan pribadinya.
Korupsi Juliari diyakini lebih besar
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman tidak percaya
Juliari hanya mencatut Rp10 ribu per paket bansos. Berdasarkan perhitungan pihaknya, sembako yang diterima masyarakat hanya senilai Rp188 ribu.
Boyamin membuat penghitungan singkat dalam pembiayaan satu paket bansos. Menurutnya, anggaran Rp300 ribu per paket masih dipotong Rp15 ribu untuk ongkos kirim dan Rp15 ribu untuk pembelian tas furing.
Dari potongan itu, sisa dana untuk sembako tinggal Rp270 ribu. Namun, berdasarkan nilai riil barang-barnag dalam paket, uang yang dibelikan sembako dari perusahaan penyuplai hanya Rp188 ribu.
"Barang-barang yang ada di lapangan itu Rp188 ribu. Maka Rp270 ribu dikurangi Rp188 ribu maka uang yang menguap adalah Rp82 ribu," ujar Boyamin, Kamis 10 Desember 2020.
KPK tidak ingin menyepelekan penghitungan singkat Boyamin. Pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK Ali Fikri menyebut pihaknya akan mendalami dugaan tersebut.
"Seluruh data dan informasi terkait pengadaan bansos tersebut tentu akan di dalami dan digali dari keterangan para saksi yang akan dihadirkan dalam proses penyidikan," ujar Ali, Kamis, 10 Desember 2020.
KPK mengakui penyaluran bansos di daerah sulit dikawal. Sebab, data penyaluran bansos tidak terbuka.
Baca:
KPK Kesulitan Memantau Pembagian Bansos Akibat Kurang Transparan
KPK meminta masyarakat menunggu dan memberikan kepercayaan kepada KPK untuk mendalami kasus. Semua fakta bansos dan yang dikorupsi Mensos Juliari bakal diungkap dengan terang.
Heboh hukuman mati
KPK pernah menegaskan tidak akan segan 'menggigit' pelaku korupsi dana pandemi. Bahkan, Firli seringkali menekankan hukuman mati bagi siapa pun yang berani korupsi dana penanganan pandemi.
Firli sempat menyebut Juliari bisa diancam hukuman mati. Hukuman itu bisa dikenakan jika Juliari terbukti melanggar Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (
Tipikor).
KPK tidak mau gegabah dalam menyangkakan Juliari dengan pidana hukuman mati. Namun, Lembaga Antikorupsi tetap mendalami fakta dan bukti Juliari melanggar Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor.
"Kita harus bekerja keras untuk membuktikan ada atau tidaknya tindak pidana sebagaimana maksud dalam Pasal 2 UU 31 Tahun 1999 itu," kata Firli di Gedung Penunjang KPK, Jakarta Selatan, Minggu, 6 Desember 2020.
Baca:
Pemerintah Didesak Evaluasi Pengadaan Bansos Covid-19
Juliari dinilai sudah memenuhi syarat untuk disangkakan dengan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pasalnya bansos covid-19 merupakan bagian dari penanganan pandemi virus korona.
"Kalau ini tidak dalam keadaan korona, bansos tidak akan dilakukan semasif ini. Anggaran (bansos) itu juga berkaitan dengan bencana nonalam. Itu kan (bansos) bagian dari yang dianggarkan timbulnya Perppu korona," kata Boyamin kepada
Medcom.id, Jumat, 11 Desember 2020.
Hukuman mati tak hapuskan korupsi
Penyidik KPK Novel Baswedan mengatakan hukuman mati dalam kasus Juliari belum tentu bisa menghilangkan sikap koruptif masyarakat. Sikap koruptif hanya bisa dihilangkan dengan cara pendidikan antikorupsi.
"Contohnya masalah buang sampah sembarang di Singapura enggak terjadi. Ketertiban di sana baik karena keyakinan orang kalau berbuat melanggar (aturan), dia akan segera kena dan pasti kena (hukuman)," kata Novel dalam telekonferensi di Jakarta, Kamis, 10 Desember 2020.
Novel mengamini banyak pengamat hukum yang menilai hukuman mati bisa menimbulkan efek jera untuk pejabat yang korupsi. Namun, kata Novel, tak sedikit juga pengamat yang menilai hukuman mati melanggar hak asasi manusia (HAM).
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SUR)