Jakarta: Seorang warga bernama R Lutfi menyurati Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas statusnya sebagai tersangka. Lutfi menjadi tersangka atas kasus masuk pekarangan tanpa izin.
Surat terbuka itu sebagai upaya dirinya untuk menuntut keadilan dan kepastian hukum. Status tersangkanya aktif kembali setelah perkara itu pernah dihentikan penyidikannya (SP3) oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya.
Surat terbuka tertanggal 16 Juli 2021 tersebut merupakan rangkaian upaya mencari keadilan yang telah dilakukan Lutfi selama tiga tahun. Ia pernah meminta bantuan Komnas HAM dan Ombudsman. Ia berharap kedua lembaga itu mampu membebaskan dirinya dari jerat hukum.
"Ini permohonan perlindungan dan kepastian hukum,” ujarnya, Jumat, 3 September 2021.
Umar Saleh yang ditunjuk Lutfi sebagai kuasa hukum berharap Jokowi menginstruksikan Kapolri Jenderal Listyo Sigit menghentikan perkara ini. Apalagi, kata Umar, Pengamanan Internal Polri menyatakan penetapan tersangka itu tidak prosedural.
Lutfi ditersangkakan melalui gelar perkara yang diinisiasi oleh Kasubdit Harda Direskrimum Polda Metro Jaya, AKBP Gafur Siregar. Beberapa hari sebelum Gafur dimutasi menjadi Anjak Binmas Polda Metro Jaya.
Perkara ini sebelumnya sudah pernah dihentikan penyidikannya (SP3). Gafur yang kala itu masih berpangkat komisaris polisi, menjabat sebagai Kanit IV yang menangani perkara tersebut.
Penghentiaan penyidikan itu tertuang dalam Surat Perintah Penghentian Penyidikan tertanggal 29 Mei 2017 yang ditandatangani oleh Direskrimum Polda Mtero Jaya Kombes Rudy Heriyanto Adi Nugroho. Alasan penghentian penyidikan dikarenakan tidak cukup bukti.
Lutfi ditersangkakan atas laporan PT Multi Aneka Sarana (PT MAS) yang mengklaim tanah milik Lutfi sebagai haknya dengan menggunakan legalitas SHGB no 1444/Kebon Kelapa sebagai dasar laporannya. "Entah untuk alasan dan kepentingan apa, kami ditersangkakan memasuki pekarangan yang disebut milik orang lain, padahal itu tanah kami sendiri," kata Umar.
Guru besar Hukum Universitas Padjadjaran, Prof I Gede Pantja Astawa menyebut langkah penyidik Polda Metro Jaya membuka perkara yang sudah di SP3 sebagai sesuatu yang tak lazim. "Sebuah perkara yang sudah dinyatakan SP3 kembali diproses tanpa adanya bukti baru yang diperkuat oleh keputusan praperadilan,” ujar Gede.
Gede menyatakan sebuah perkara yang sudah dinyatakan SP3 harusnya tidak bisa dilakukan penyidikan kembali sebagai jaminan adanya kepastian hukum. Fenomena munculnya sprindik dengan alat bukti dan pelapor dua kali berturut-turut ini, kata Astawa, akan melahirkan persoalan hukum baru.
"Maka, polisi sebelum menerbitkan SP3, tentu harus dipertimbangkan secara komprehensif dan akurat. Agar sekali terbit SP3, maka sejak saat itu menjadi final, mengikat, dan mempunyai legal binding,” tegasnya.
Pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakir, mendorong Divisi Profesi dan Pengamana (Divpropam) Polri menyelisik motivasi maupun kepentingan di balik keputusan Gafur Siregar yang membuka kembali penyidikan perkara yang sudah dihentikan penyidikannya.
Dalam ilmu hukum pidana, kata Mudzakir, jika sebuah objek yang disidik itu tidak termasuk perbuatan pidana, bukan perbuatan pidana, maka proses penyidikan mutlak tidak bisa dibuka kembali. Yang kedua, disebabkan karena kurang cukup bukti, maka bisa di SP3 demi kepastian hukum.
Dalam kasus yang melibatkan penyidikan Gafur Siregar, Mudzakir melihat upaya menyidik kembali perkara yang telah di SP3 sebagai sebuah kekeliruan, cacat hukum, sehingga tidak bisa dibuka kembali.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Yusri Yunus, membenarkan Gafur telah menjalani sidang kode etik terkait penanganan kasus saat menjabat Kasubdit II Ditreskrimum Polda Metro Jaya. Namun, setelah dilakukan sidang dan pemeriksaan, Yusri menyampaikan yang bersangkutan tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik.
"Sudah dilakukan sidang dan Paminal Polri kemudian menyatakan Gafur tidak bersalah dan tidak melanggar kode etik profesi dalam penanganan perkara tersebut,” ujarnya.
Jakarta: Seorang warga bernama R Lutfi menyurati Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas statusnya sebagai tersangka. Lutfi menjadi tersangka atas kasus masuk pekarangan tanpa izin.
Surat terbuka itu sebagai upaya dirinya untuk menuntut keadilan dan kepastian hukum. Status tersangkanya aktif kembali setelah perkara itu pernah dihentikan penyidikannya (SP3) oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya.
Surat terbuka tertanggal 16 Juli 2021 tersebut merupakan rangkaian upaya mencari keadilan yang telah dilakukan Lutfi selama tiga tahun. Ia pernah meminta bantuan Komnas HAM dan Ombudsman. Ia berharap kedua lembaga itu mampu membebaskan dirinya dari jerat hukum.
"Ini permohonan perlindungan dan kepastian hukum,” ujarnya, Jumat, 3 September 2021.
Umar Saleh yang ditunjuk Lutfi sebagai kuasa hukum berharap Jokowi menginstruksikan Kapolri Jenderal Listyo Sigit menghentikan perkara ini. Apalagi, kata Umar, Pengamanan Internal Polri menyatakan penetapan tersangka itu tidak prosedural.
Lutfi ditersangkakan melalui gelar perkara yang diinisiasi oleh Kasubdit Harda Direskrimum Polda Metro Jaya, AKBP Gafur Siregar. Beberapa hari sebelum Gafur dimutasi menjadi Anjak Binmas Polda Metro Jaya.
Perkara ini sebelumnya sudah pernah dihentikan penyidikannya (SP3). Gafur yang kala itu masih berpangkat komisaris polisi, menjabat sebagai Kanit IV yang menangani perkara tersebut.
Penghentiaan penyidikan itu tertuang dalam Surat Perintah Penghentian Penyidikan tertanggal 29 Mei 2017 yang ditandatangani oleh Direskrimum Polda Mtero Jaya Kombes Rudy Heriyanto Adi Nugroho. Alasan penghentian penyidikan dikarenakan tidak cukup bukti.
Lutfi ditersangkakan atas laporan PT Multi Aneka Sarana (PT MAS) yang mengklaim tanah milik Lutfi sebagai haknya dengan menggunakan legalitas SHGB no 1444/Kebon Kelapa sebagai dasar laporannya. "Entah untuk alasan dan kepentingan apa, kami ditersangkakan memasuki pekarangan yang disebut milik orang lain, padahal itu tanah kami sendiri," kata Umar.