Jakarta: Direktur Utama nonaktif PLN Sofyan Basir diperiksa penyidik usai ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia ditahan usai menjalani pemeriksaan kedua sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek pembangunan PLTU Riau-1.
Pengacara Sofyan Basir, Soesilo Aribowo mengaku belum mengetahui pasti garis besar materi pemeriksaan kliennya. Sejumlah pertemuan yang dilakukan Sofyan kemungkinan turut dikonfirmasi.
"Mungkin ini penyidik akan mendalami soal pertemuan itu. Apa yang dibahas," ujar Soesilo ditemui di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa, 28 Mei 2019.
Soesilo menepis agenda pemeriksaan menyangkut penyadapan yang dilakukan lembaga antirasuah. "Kita belum bicara soal itu. Jadi kemarin baru soal pertemuannya berapa kali, di mana, itu saja. Ini kan substansinya apa kita belum tahu," ujar dia.
Baca juga: Sofyan Basir Dicecar Soal Kontrak Proyek PLTU Riau-1
KPK resmi menahan Sofyan Basir Senin malam, 27 Mei 2019. Ia akan ditahan selama 20 hari ke depan. Penahanan guna penyidikan lebih lanjut perkara yang menjeratnya.
Keterlibatan Sofyan berawal ketika Direktur PT Samantaka Batubara mengirimi PT PLN (Persero) surat, pada Oktober 2015. Surat pada pokoknya memohon PLN memasukkan proyek dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
Sayangnya, surat tak ditanggapi. Johannes akhirnya mencari bantuan agar dibukakan jalan berkoordinasi dengan PLN untuk mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listnk Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-I.
Pertemuan diduga dilakukan beberapa kali. Pertemuan membahas proyek PLTU itu dihadiri mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih, Sofyan, dan Johannes. Namun, beberapa pertemuan tak selalu dihadiri ketiga orang tersebut.
Pada 2016, Sofyan menunjuk Johannes mengerjakan proyek Riau-I. Sebab, mereka sudah memiliki kandidat mengerjakan PLTU di Jawa.
Baca juga: Sofyan Basir Pasrah Ditahan KPK
Padahal, saat itu, Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang menugaskan PT PLN menyelenggarakan Pembangunan Infrastruktur Kelistrikan (PIK) belum terbit. PLTU Riau-I dengan kapasitas 2x300 MW kemudian diketahui masuk Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
Johannes meminta anak buahnya siap-siap karena sudah dipastikan Riau-I milik PT Samantaka. Sofyan lalu memerintahkan salah satu Direktur PT PLN merealisasikan PPA antara PLN dengan BNR dan CHEC.
Sofyan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka merupakan pengembangan penyidikan Eni, Johannes, dan Idrus Marham yang telah divonis. Eni dihukum enam tahun penjara, Kotjo 4,5 tahun penjara dan Idrus Marham 3 tahun penjara.
Sofyan dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dlubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsijuncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 ayat (2) KUHP Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Jakarta: Direktur Utama nonaktif PLN Sofyan Basir diperiksa penyidik usai ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia ditahan usai menjalani pemeriksaan kedua sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek pembangunan PLTU Riau-1.
Pengacara Sofyan Basir, Soesilo Aribowo mengaku belum mengetahui pasti garis besar materi pemeriksaan kliennya. Sejumlah pertemuan yang dilakukan Sofyan kemungkinan turut dikonfirmasi.
"Mungkin ini penyidik akan mendalami soal pertemuan itu. Apa yang dibahas," ujar Soesilo ditemui di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa, 28 Mei 2019.
Soesilo menepis agenda pemeriksaan menyangkut penyadapan yang dilakukan lembaga antirasuah. "Kita belum bicara soal itu. Jadi kemarin baru soal pertemuannya berapa kali, di mana, itu saja. Ini kan substansinya apa kita belum tahu," ujar dia.
Baca juga:
Sofyan Basir Dicecar Soal Kontrak Proyek PLTU Riau-1
KPK resmi menahan Sofyan Basir Senin malam, 27 Mei 2019. Ia akan ditahan selama 20 hari ke depan. Penahanan guna penyidikan lebih lanjut perkara yang menjeratnya.
Keterlibatan Sofyan berawal ketika Direktur PT Samantaka Batubara mengirimi PT PLN (Persero) surat, pada Oktober 2015. Surat pada pokoknya memohon PLN memasukkan proyek dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
Sayangnya, surat tak ditanggapi. Johannes akhirnya mencari bantuan agar dibukakan jalan berkoordinasi dengan PLN untuk mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listnk Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-I.
Pertemuan diduga dilakukan beberapa kali. Pertemuan membahas proyek PLTU itu dihadiri mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih, Sofyan, dan Johannes. Namun, beberapa pertemuan tak selalu dihadiri ketiga orang tersebut.
Pada 2016, Sofyan menunjuk Johannes mengerjakan proyek Riau-I. Sebab, mereka sudah memiliki kandidat mengerjakan PLTU di Jawa.
Baca juga:
Sofyan Basir Pasrah Ditahan KPK
Padahal, saat itu, Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang menugaskan PT PLN menyelenggarakan Pembangunan Infrastruktur Kelistrikan (PIK) belum terbit. PLTU Riau-I dengan kapasitas 2x300 MW kemudian diketahui masuk Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
Johannes meminta anak buahnya siap-siap karena sudah dipastikan Riau-I milik PT Samantaka. Sofyan lalu memerintahkan salah satu Direktur PT PLN merealisasikan PPA antara PLN dengan BNR dan CHEC.
Sofyan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka merupakan pengembangan penyidikan Eni, Johannes, dan Idrus Marham yang telah divonis. Eni dihukum enam tahun penjara, Kotjo 4,5 tahun penjara dan Idrus Marham 3 tahun penjara.
Sofyan dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dlubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsijuncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 ayat (2) KUHP Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)