Jakarta: Karpet merah seakan terbentang untuk jaksa Pinangki Sirna Malasari dalam pengusutan kasus dugaan pemberian suap dari terpidana kasus hak tagih Bank Bali Djoko Soegiarto Tjandra. Sudah dua kali Kejaksaan Agung bersikap yang justru membuat masyarakat bingung.
Langkah pertama, yakni diterbitkannya Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pemberian Izin Jaksa Agung atas Pemanggilan, Pemeriksaan, Penggeledahan, Penangkapan dan Penahanan terhadap Jaksa yang Diduga Melakukan Tindak Pidana, saat pengusutan kasus Pinangki sedang panas-panasnya. Jaksa Agung ST Burhanuddin langsung mencabut pedoman itu setelah dapat banyak respons negatif dari masyarakat.
Tak lama setelah adanya pedoman itu, Kejaksaan Agung menyatakan memberikan bantuan hukum untuk Pinangki. Alasan pemberian bantuan hukum karena Pinangki masih berstatus pegawai kejaksaan. Pemberian bantuan hukum disebut sebagai hak jaksa Pinangki.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai langkah Kejaksaan Agung aneh. Fickar curiga ada yang 'melindungi' Pinangki di Kejaksaan Agung.
"Ada konflik kepentingan yang terjadi, menuntut Pinangki sekaligus melindunginya. Sesuatu yang tidak masuk akal sehat," ujar Fickar kepada Medcom.id, Jumat, 21 Agustus 2020.
Menurut dia, dugaan pemberian 'karpet merah' semakin kentara saat Korps Adhyaksa mengumumkan Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) memberikan bantuan hukum untuk Pinangki. Tak lama setelah pernyataan itu, PJI justru menegaskan tidak akan memberikan pembelaan.
PJI menilai perbuatan Pinangki bukan permasalahan hukum terkait tugas profesinya sebagai jaksa, melainkan masuk ranah pidana. PJI emoh untuk memberikan bantuan.
"Mestinya yang mengumumkan hal itu PJI bukan Biro Humas Kejaksaan Agung. Ini semua sudah melawan akal sehat," ujar Fickar.
Kejaksaan Agung dianggap 'melindungi' Pinangki dengan terus memaksakan menangani kasusnya. Padahal, terang Fickar, tersangka gratifikasi itu lebih cocok ditangani kepolisian atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Fickar menilai dalam Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK berhak menangani korupsi penegak hukum. Kepolisian juga dinilai cocok menanganinya karena kasus Pinangki berhubungan dengan surat jalan palsu terpidana DJoko Tjandra.
"Seharusnya perkara korupsi pinangki diintegrasikan dengan perkara korupsi di kepolisian terkait pemalsuan surat, membantu buronan, dan korupsi oleh dua jenderal," tutur Fickar.
Fickar menilai Kejaksaan Agung sedang menjaga citranya. Korps Adhyaksa dinilai takut Pinangki menyeret beberapa jaksa jika kasusnya ditangani lembaga lain.
Kejaksaan Agung diminta tidak tebang pilih jika ingin terus menangani kasus Pinangki. Independensi Korps Adhyaksa dipertaruhkan dalam penanganan kasus ini.
"Tidak salah jika masyarakat menyangka bahwa Pinangki mendapat karpet merah karena diduga akan menyelamatkan pelaku lain," ucap Fickar.
Kritik KPK
KPK mengomentari penanganan kasus Pinangki yang sedang digarap Kejaksaan Agung. Lembaga Antirasuah itu seakan 'menegur' Kejaksaan Agung tiap kali memberikan pernyataan yang kontroversional.
Baca: Herman Hery Minta Kejagung Profesional Tangani Kasus Jaksa Pinangki
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menyebut Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 hanya menggerus upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Terkait pemberian bantuan hukum kepada Pinangki, Nawawi menilai Kejaksaan Agung salah langkah.
"Pendampingan itu akan semakin menimbulkan prasangka kecurigaan publik dan sangat memberi kesan ketertutupan Kejaksaan Agung dalam menangani kasus dimaksud," kata Nawawi kepada Medcom.id, Jumat, 21 Agustus 2020.
Nawawi meminta Kejaksaan Agung tidak sembarangan bertindak di kasus Pinangki. Kejaksaan Agung diminta profesional dalam pengusutan kasus ini.
Jakarta: Karpet merah seakan terbentang untuk jaksa Pinangki Sirna Malasari dalam pengusutan kasus dugaan pemberian suap dari terpidana kasus hak tagih Bank Bali Djoko Soegiarto Tjandra. Sudah dua kali Kejaksaan Agung bersikap yang justru membuat masyarakat bingung.
Langkah pertama, yakni diterbitkannya Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pemberian Izin Jaksa Agung atas Pemanggilan, Pemeriksaan, Penggeledahan, Penangkapan dan Penahanan terhadap Jaksa yang Diduga Melakukan Tindak Pidana, saat pengusutan kasus Pinangki sedang panas-panasnya. Jaksa Agung ST Burhanuddin langsung mencabut pedoman itu setelah dapat banyak respons negatif dari masyarakat.
Tak lama setelah adanya pedoman itu, Kejaksaan Agung menyatakan memberikan bantuan hukum untuk Pinangki. Alasan pemberian bantuan hukum karena Pinangki masih berstatus pegawai kejaksaan. Pemberian bantuan hukum disebut sebagai hak jaksa Pinangki.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai langkah Kejaksaan Agung aneh. Fickar curiga ada yang 'melindungi' Pinangki di Kejaksaan Agung.
"Ada konflik kepentingan yang terjadi, menuntut Pinangki sekaligus melindunginya. Sesuatu yang tidak masuk akal sehat," ujar Fickar kepada
Medcom.id, Jumat, 21 Agustus 2020.
Menurut dia, dugaan pemberian 'karpet merah' semakin kentara saat Korps Adhyaksa mengumumkan Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) memberikan bantuan hukum untuk Pinangki. Tak lama setelah pernyataan itu, PJI justru menegaskan tidak akan memberikan pembelaan.
PJI menilai perbuatan Pinangki bukan permasalahan hukum terkait tugas profesinya sebagai jaksa, melainkan masuk ranah
pidana. PJI emoh untuk memberikan bantuan.
"Mestinya yang mengumumkan hal itu PJI bukan Biro Humas Kejaksaan Agung. Ini semua sudah melawan akal sehat," ujar Fickar.
Kejaksaan Agung dianggap 'melindungi' Pinangki dengan terus memaksakan menangani kasusnya. Padahal, terang Fickar, tersangka gratifikasi itu lebih cocok ditangani kepolisian atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Fickar menilai dalam Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK berhak menangani korupsi penegak hukum. Kepolisian juga dinilai cocok menanganinya karena kasus Pinangki berhubungan dengan surat jalan palsu terpidana
DJoko Tjandra.
"Seharusnya perkara korupsi pinangki diintegrasikan dengan perkara korupsi di kepolisian terkait pemalsuan surat, membantu buronan, dan korupsi oleh dua jenderal," tutur Fickar.
Fickar menilai Kejaksaan Agung sedang menjaga citranya. Korps Adhyaksa dinilai takut Pinangki menyeret beberapa jaksa jika kasusnya ditangani lembaga lain.
Kejaksaan Agung diminta tidak tebang pilih jika ingin terus menangani kasus Pinangki. Independensi Korps Adhyaksa dipertaruhkan dalam penanganan kasus ini.
"Tidak salah jika masyarakat menyangka bahwa Pinangki mendapat karpet merah karena diduga akan menyelamatkan pelaku lain," ucap Fickar.
Kritik KPK
KPK mengomentari penanganan kasus Pinangki yang sedang digarap Kejaksaan Agung. Lembaga Antirasuah itu seakan 'menegur' Kejaksaan Agung tiap kali memberikan pernyataan yang kontroversional.
Baca:
Herman Hery Minta Kejagung Profesional Tangani Kasus Jaksa Pinangki
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menyebut Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 hanya menggerus upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Terkait pemberian bantuan hukum kepada Pinangki, Nawawi menilai Kejaksaan Agung salah langkah.
"Pendampingan itu akan semakin menimbulkan prasangka kecurigaan publik dan sangat memberi kesan ketertutupan Kejaksaan Agung dalam menangani kasus dimaksud," kata Nawawi kepada
Medcom.id, Jumat, 21 Agustus 2020.
Nawawi meminta Kejaksaan Agung tidak sembarangan bertindak di kasus Pinangki. Kejaksaan Agung diminta profesional dalam pengusutan kasus ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(OGI)