Jakarta: Polres Jakarta Barat telah memeriksa dua saksi terkait dugaan kartel kremasi. Penyelidikan terus berlangsung supaya duduk perkara terang benderang.
“Kemungkinan bisa lebih (banyak saksi) kami periksa,” kata Kapolres Jakarta Barat Kombes Ady Wibowo saat dihubungi, Kamis, 22 Juli 2021
Menurut dia, kedua saksi itu ialah pemilik Yayasan Rumah Duka Abadi dan seorang warga, William. William salah satu sosok yang memviralkan kasus ini ke media.
“Nanti akan ada beberapa saksi dipanggil. Saat ini masih dalam tahap pendalaman,” ujar dia.
Meski begitu, Ady belum mengonfirmasi apakah kasus ini masuk ranah hukum atau tidak. Pihaknya enggan gegabah sebelum mengumpulkan data dan bukti yang lengkap.
Baca: Gelar Perkara Dugaan Penimbunan Obat di Kalideres Menunggu Kemenkes
“Kami akan (bekerja) maraton untuk pastikan kejadian sebenarnya,” papar dia.
Ady mengatakan tidak membentuk satuan tugas (satgas) khusus untuk mengusut kasus ini. Pasalnya, perkara tersebut menjadi bagian tugas Unit Reserse Kriminal (Reskrim) Polres Jakarta Barat.
“Kami harap hal ini tidak terjadi karena pandemi cukup susah jadi jangan ambil keuntungan dalam kesulitan orang,” tegas Ady.
Muncul pesan berantai di aplikasi WhatsApp yang mempermasalahkan biaya kremasi jenazah pasien covid-19. Dalam pesan itu, warga Jakarta Barat, Martin, mengaku diperas.
Peristiwa itu berawal saat ibunda Martin meninggal di salah satu rumah sakit di Jakarta pada Senin pagi, 12 Juli 2021. Dinas Pemakaman lalu membantu mencarikan krematorium.
Martin mengaku dihampiri orang yang mengaku dari Dinas Pemakaman. Mereka menyampaikan jenazah bisa segera dikremasi di Karawang dengan paket seharga Rp48,8 juta.
"Kami terkejut karena enam minggu lalu kakak kami meninggal dan dikremasi, paket ini tidak sampai Rp10 juta. Lalu, dua minggu kemudian besan kakak kami meninggal bersama anak perempuannya akibat covid-19, paketnya Rp24 juta per orang. Bagaimana harga bisa meroket begini tinggi dalam waktu singkat?" kata Martin dalam pesan itu.
Dia mencoba menghubungi berbagai krematorium di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Namun, rata-rata tidak ada yang merespons. Bila pun ada, krematorium itu sudah penuh.
"Kami menghubungi orang yang dulu mengurus kremasi kakak dan dapat keterangan bahwa memang segitu sekarang biayanya. Kemudian dia juga ditawarkan Rp45 juta, jenazah juga bisa segera dikremasi tapi besok di Cirebon," ujar Martin.
Rekannya yang membantu mencarikan krematorium juga mendapat informasi harga paket kremasi Rp45 juta hingga Rp55 juta. Martin kalang kabut karena rumah sakit mendesak agar jenazah segera dipindahkan.
Keluarga Martin akhirnya memutuskan mengkremasi sang ibunda di Karawang. Namun, keputusan itu sudah terlambat.
Slot di krematorium telah dipesan orang lain. Martin mendapatkan informasi ada slot lima hari ke depan di krematorium pinggir kota dengan harga Rp65 juta.
"Segera kami mengerti bahwa kartel telah menguasai jasa mengkremasi sanak famili korban covid-19 dengan tarif Rp45 juta-Rp65 juta," ungkap Martin.
Besok paginya sekitar pukul 09.30 WIB, Martin mengaku tiba di krematorium daerah Cirebon. Mobil jenazah ibunya tiba sejak pukul 07.00 WIB. Dia melihat ternyata dalam satu mobil ada dua peti jenazah.
Dia sempat mengobrol dengan pengurus kremasi. Pengurus itu menyebut hanya ada satu harga kremasi, yaitu Rp2,5 juta. Namun, prosedur covid-19 mengharuskan adanya tambahan biaya ratusan ribu rupiah untuk membeli alat pelindung diri (APD), penyemprotan, dan lainnya.
"Betapa nyamannya kartel ini merampok keluarga yang berduka, karena biaya peti dan biaya mobil jenazah (satu mobil dua jenazah) harusnya tidak sampai Rp10 juta. Mereka ini hanya berbekal telepon saja dan bisa booking slot di krematorium, tidak perlu nongol. Sementara, orang lapangan, orang kecil yang bekerja, dan tidak merasakan tetesan keuntungan ini," ucap Martin.
Dia berharap Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membaca pesannya. Anies diharap menindak tegas apabila ada aparat pemakaman yang berubah fungsi menjadi calo untuk mencari keuntungan.
Martin menduga pihak itu bekerja sama dengan petugas di rumah sakit. Dia ingin pelaku ditangkap dan dihukum seberat-beratnya.
"Karena ulah mereka adalah sama menyusahkannya seperti ulah virus covid-19 yang menari di atas penderitaan korbannya," tutur Martin.
Jakarta:
Polres Jakarta Barat telah memeriksa dua saksi terkait dugaan kartel kremasi. Penyelidikan terus berlangsung supaya duduk perkara terang benderang.
“Kemungkinan bisa lebih (banyak saksi) kami periksa,” kata Kapolres Jakarta Barat Kombes Ady Wibowo saat dihubungi, Kamis, 22 Juli 2021
Menurut dia, kedua saksi itu ialah pemilik Yayasan Rumah Duka Abadi dan seorang warga, William. William salah satu sosok yang memviralkan kasus ini ke media.
“Nanti akan ada beberapa saksi dipanggil. Saat ini masih dalam tahap pendalaman,” ujar dia.
Meski begitu, Ady belum mengonfirmasi apakah kasus ini masuk ranah hukum atau tidak. Pihaknya enggan gegabah sebelum mengumpulkan data dan bukti yang lengkap.
Baca:
Gelar Perkara Dugaan Penimbunan Obat di Kalideres Menunggu Kemenkes
“Kami akan (bekerja) maraton untuk pastikan kejadian sebenarnya,” papar dia.
Ady mengatakan tidak membentuk satuan tugas (satgas) khusus untuk mengusut kasus ini. Pasalnya, perkara tersebut menjadi bagian tugas Unit Reserse Kriminal (Reskrim) Polres Jakarta Barat.
“Kami harap hal ini tidak terjadi karena pandemi cukup susah jadi jangan ambil keuntungan dalam kesulitan orang,” tegas Ady.
Muncul pesan berantai di aplikasi WhatsApp yang mempermasalahkan biaya kremasi jenazah pasien
covid-19. Dalam pesan itu, warga Jakarta Barat, Martin, mengaku diperas.
Peristiwa itu berawal saat ibunda Martin meninggal di salah satu rumah sakit di Jakarta pada Senin pagi, 12 Juli 2021. Dinas Pemakaman lalu membantu mencarikan krematorium.
Martin mengaku dihampiri orang yang mengaku dari Dinas Pemakaman. Mereka menyampaikan jenazah bisa segera dikremasi di Karawang dengan paket seharga Rp48,8 juta.
"Kami terkejut karena enam minggu lalu kakak kami meninggal dan dikremasi, paket ini tidak sampai Rp10 juta. Lalu, dua minggu kemudian besan kakak kami meninggal bersama anak perempuannya akibat covid-19, paketnya Rp24 juta per orang. Bagaimana harga bisa meroket begini tinggi dalam waktu singkat?" kata Martin dalam pesan itu.