Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan agar pemilihan kepala daerah (pilkada) berjalan dengan bersih. Lembaga Antirasuah mengendus adanya upaya praktik rasuah dalam pesta demokrasi tersebut.
"KPK mensinyalir masih ada upaya untuk mengotori pesta demokrasi Pilkada Serentak 2020 dengan praktik-praktik korupsi," kata Firli melalui keterangan tertulis, Jakarta, Rabu, 16 September 2020.
Menurut Firli, praktik korupsi berupa suap, gratifikasi, jual-beli suara hingga keterlibatan cukong sebagai pemodal bagi pasangan calon kepala daerah kerap mewarnai perhelatan pemilu. Sebagai langkah pencegahan, kata dia, KPK menerapkan pendekatan melalui mata rakyat, yaitu menerima laporan seluruh eksponen bangsa yang melihat dugaan praktik korupsi di pilkada.
"Jadi, jangan pernah berpikir KPK akan kesulitan untuk memantau pergerakan khususnya potensi tindak pidana korupsi dalam perhelatan Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah," ucapnya.
Di sisi lain, Firli menyinggung potensi dugaan korupsi dalam penanganan covid-19. Praktik rasuah itu berupa pengadaan barang/jasa mulai dari kolusi, mark up harga, kickback, konflik kepentingan dan kecurangan.
Baca: Demokrasi Cukong
Untuk mengantisipasi hal itu, KPK mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 8 Tahun 2020 tentang Penggunaan Anggaran Pelaksanaan Barang/Jasa dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 Terkait Pencegahan Korupsi.
"Isi dari SE tersebut adalah memberikan rambu-rambu pencegahan untuk memberi kepastian bagi pelaksana pengadaan barang dan jasa hingga mendorong keterlibatan aktif Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan pengawalan, dan pendampingan dengan berkonsultasi kepada Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP)," jelas dia.
Potensi praktik kotor lain berupa korupsi filantropi atau sumbangan pihak ketiga. Hal itu terletak pada kerawanan pencatatan penerimaan, penyaluran bantuan, dan penyelewengan bantuan.
KPK juga telah mengantisipasi hal ini dengan menerbitkan panduan berupa Surat KPK Nomor B/1939/GAH.00/0 1-10/04/2020 tentang Penerimaan Sumbangan/Hibah dari Masyarakat yang ditujukan kepada Gugus Tugas dan seluruh kementerian/lembaga/pemda.
Potensi ketiga, yakni korupsi pada proses refocusing dan realokasi anggaran covid-19 untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Titik rawannya terletak pada alokasi sumber dana dan belanja serta pemanfaatan anggaran.
Hal ini diantisipasi KPK dengan melakukan koordinasi, monitoring perencanaan refocusing/realokasi anggaran, dan memberikan rekomendasi kepada kementerian/lembaga/pemda apabila menemukan ketidakwajaran penganggaran atau pengalokasian.
Potensi terakhir ialah korupsi pada dana bantuan jaring pengaman sosial (social safety net) oleh pemerintah pusat dan daerah. KPK mengidentifikasi titik rawan pada pendataan penerima, klarifikasi dan validasi data, belanja barang, distribusi bantuan, serta pengawasan.
KPK telah mendorong kementerian/lembaga/pemda untuk menggunakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sebagai rujukan pendataan penerima bansos dan mendorong keterbukaan data penerima bansos serta membuka saluran pengaduan masyarakat.
Potensi praktik kotor lain berupa korupsi filantropi atau sumbangan pihak ketiga. Hal itu terletak pada kerawanan pencatatan penerimaan, penyaluran bantuan, dan penyelewengan bantuan.
KPK juga telah mengantisipasi hal ini dengan menerbitkan panduan berupa Surat KPK Nomor B/1939/GAH.00/0 1-10/04/2020 tentang Penerimaan Sumbangan/Hibah dari Masyarakat yang ditujukan kepada Gugus Tugas dan seluruh kementerian/lembaga/pemda.
Potensi ketiga, yakni korupsi pada proses
refocusing dan realokasi anggaran
covid-19 untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Titik rawannya terletak pada alokasi sumber dana dan belanja serta pemanfaatan anggaran.
Hal ini diantisipasi KPK dengan melakukan koordinasi, monitoring perencanaan
refocusing/realokasi anggaran, dan memberikan rekomendasi kepada kementerian/lembaga/pemda apabila menemukan ketidakwajaran penganggaran atau pengalokasian.
Potensi terakhir ialah korupsi pada dana bantuan jaring pengaman sosial (
social safety net) oleh pemerintah pusat dan daerah. KPK mengidentifikasi titik rawan pada pendataan penerima, klarifikasi dan validasi data, belanja barang, distribusi bantuan, serta pengawasan.
KPK telah mendorong kementerian/lembaga/pemda untuk menggunakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sebagai rujukan pendataan penerima bansos dan mendorong keterbukaan data penerima bansos serta membuka saluran pengaduan masyarakat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)