Jakarta: Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dianggap sebagai salah satu penyebab mudahnya koruptor mendapat pemotongan masa tahanan. Hasil dari revisi UU KPK itu, korupsi tidak lagi dianggap sebagai extra ordinary crime.
"Karena itu korupsi cukup ditangani KPK yang di bawah kendali pemerintah, bukan oleh badan independen lagi," kata Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar kepada Medcom.id, 2 Oktober 2020.
Dia menyebut kondisi ini akhirnya mengubah pandangan hakim dalam memberikan putusan. Sehingga, pandangan hakim terdegradasi dalam melihat kasus korupsi.
"Dan dengan mudah menurunkan hukumannya," kata dia.
Penurunan status kasus korupsi menjadi tindak pidana biasa karena KPK lebih mementingkan pencegahan daripada penanganan. Padahal, inti dibentuknya KPK, yaitu penindakan karena korupsi dianggap sebagai extra ordinary crime.
"Jadi dengan gaya penindakan yang biasa-biasa saja dengan sendirinya dapat disimpulkan bahwa korupsi itu tindak pidana yang biasa-biasa saja seperti lainnya," kata dia.
Selain itu, mudahnya pemotongan hukuman terpidana koruptor karena hilangnya sosok Artidjo Alkostar di Mahkamah Agung. Mantan Ketua Kamar Pidana MA itu dinilai sebagai sosok yang tak memberi ampun terpidana korupsi yang mengajukan kasasi atau Pengajuan Kembali (PK).
"(Artidjo) lebih sering menghukum bahkan menambah hukuman para koruptor," ucap dia.
Baca: Diskon Hukuman Anas Urbaningrum Buat Kerja KPK Sia-sia
Pensiunnya Artidjo membuat MA lebih leluasa dalam memberikan putusan. Sebab, tidak ada lagi sosok yang disegani oleh Hakim Agung dalam menangani persidangan kasasi atau PK yang diajukan terpidana korupsi.
"(Pensiunnya Artidjo) menghilangkan rasa malu dan segan para Hakim Agung untuk menurunkan hukuman bagi para koruptor," ujar dia.
Pemotongan masa tahanan koruptor kembali menjadi sorotan pascaputusan Peninjauan Kembali (PK) terpidana korupsi Anas Urbaningrum. Hakim Mahkamah Agung (MA) memotong hukuman mantan Ketua Umum (Ketum) Demokrat itu menjadi delapan tahun dari 14 tahun penjara dengan alasan kekhilafan hakim.
Jakarta: Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dianggap sebagai salah satu penyebab mudahnya koruptor mendapat pemotongan masa tahanan. Hasil dari revisi UU KPK itu, korupsi tidak lagi dianggap sebagai
extra ordinary crime.
"Karena itu korupsi cukup ditangani KPK yang di bawah kendali pemerintah, bukan oleh badan independen lagi," kata Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar kepada
Medcom.id, 2 Oktober 2020.
Dia menyebut kondisi ini akhirnya mengubah pandangan hakim dalam memberikan putusan. Sehingga, pandangan hakim terdegradasi dalam melihat kasus korupsi.
"Dan dengan mudah menurunkan hukumannya," kata dia.
Penurunan status kasus korupsi menjadi tindak pidana biasa karena KPK lebih mementingkan pencegahan daripada penanganan. Padahal, inti dibentuknya KPK, yaitu penindakan karena korupsi dianggap sebagai
extra ordinary crime.
"Jadi dengan gaya penindakan yang biasa-biasa saja dengan sendirinya dapat disimpulkan bahwa korupsi itu tindak pidana yang biasa-biasa saja seperti lainnya," kata dia.