Jakarta: Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri Irjen Napoleon Bonaparte dinilai layak dipecat. Kasus suap yang menjerat Napoleon telah berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
"Kalau desersi tiga bulan saja sudah layak untuk pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH), dihukum lebih dari satu tahun harusnya sudah layak dikenai PTDH juga," kata pengamat kepolisian Bambang Rukminto kepada Medcom.id, Kamis, 2 Juni 2022.
Bambang menyayangkan lambatnya langkah Polri melaksanakan sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) terhadap Napoleon. Menurut dia, hal itu menjadi bias dalam penegakan hukum untuk aparat penegak hukum.
"Equality before the law seolah tak berlaku bagi aparat penegak hukum," ujar dia.
Bambang menilai tak ada gunanya mempertahankan Napoleon. Keberadaan jenderal bintang dua itu justru menjadi beban negara untuk memberi gaji buta pada aparat yang menjadi terpidana tersebut.
Baca: Tak Dipecat, Polri Diminta Beberkan Prestasi Brotoseno
Hal senada disampaikan Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti. Menurut dia, pelaksanaan sidang etik Napoleon seharusnya digelar dengan memboyong satu kasus yang sudah inkrah.
"Yang penting sudah berkekuatan hukum tetap. Tetapi karena waktunya dekat dengan persidangan kasus kedua, jadi sekaligus menguatkan ada dua putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap," kata Poengky saat dikonfirmasi terpisah.
Napoleon masih berstatus anggota Polri aktif. Dia masih memegang pangkat kebanggaan, yakni jenderal polisi bintang dua.
Napoleon dijerat tiga kasus. Pertama, kasus suap dan penghapusan red notice buronan Djoko Soegiarto Tjandra.
Jenderal bintang dua itu dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cipinang untuk menjalani hukuman empat tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider enam bulan kurungan.
Kedua, menjadi tersangka kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam kasus suap dan penghapusan red notice buronan Djoko Tjandra. Napoleon terbukti menerima suap dari Djoko Tjandra senilai SGD200 ribu atau sekitar Rp2.145.743.167 dan USD370 ribu sekitar Rp5.148.180.000. Fulus diberikan melalui perantara pengusaha Tommy Sumardi. Kasus ini belum bergulir ke persidangan.
Terakhir, kasus penganiayaan terhadap tersangka kasus dugaan penistaan agama Muhammad Kece (M Kece). Irjen Napoleon melumuri tinja manusia ke wajah M Kece karena kekesalannya atas pernyataan M Kece yang diduga menghina agama islam.
Peristiwa penganiayaan itu terjadi saat mereka sama-sama menjadi penghuni Rumah Tahanan Negara (Rutan) Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, pada 26 Agustus 2021. Kini, kasusnya tengah bergulir di persidangan.
Jakarta: Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri Irjen
Napoleon Bonaparte dinilai layak dipecat. Kasus suap yang menjerat Napoleon telah
berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
"Kalau desersi tiga bulan saja sudah layak untuk pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH), dihukum lebih dari satu tahun harusnya sudah layak dikenai PTDH juga," kata pengamat kepolisian Bambang Rukminto kepada
Medcom.id, Kamis, 2 Juni 2022.
Bambang menyayangkan lambatnya langkah
Polri melaksanakan sidang
Komisi Kode Etik Polri (KKEP) terhadap Napoleon. Menurut dia, hal itu menjadi bias dalam penegakan hukum untuk aparat penegak hukum.
"
Equality before the law seolah tak berlaku bagi aparat penegak hukum," ujar dia.
Bambang menilai tak ada gunanya mempertahankan Napoleon. Keberadaan jenderal bintang dua itu justru menjadi beban negara untuk memberi gaji buta pada aparat yang menjadi terpidana tersebut.
Baca:
Tak Dipecat, Polri Diminta Beberkan Prestasi Brotoseno
Hal senada disampaikan Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti. Menurut dia, pelaksanaan sidang etik Napoleon seharusnya digelar dengan memboyong satu kasus yang sudah inkrah.
"Yang penting sudah berkekuatan hukum tetap. Tetapi karena waktunya dekat dengan persidangan kasus kedua, jadi sekaligus menguatkan ada dua putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap," kata Poengky saat dikonfirmasi terpisah.