Jakarta: Privatisasi penjara dengan menggandeng keterlibatan pihak swasta ke dalam sistem lembaga pemasyarakatan (lapas) yang dimonopoli negara dinilai sulit diwujudkan. Padahal, hal itu untuk mewujudkan akuntabilitas lapas.
"Kalau ya mau diuji coba yang monggo oleh pemerintah. Tapi, kelihatannya dasar hukumnya belum kuat," kata kriminolog dari Universitas Indonesia (UI), Adrianus Eliasta Meliala, kepada Medcom.id, Kamis, 9 September 2021.
Menurut Adrianus, dasar hukum untuk melegalkan privatisasi penjara belum kuat. Bahkan, aturan itu belum menjadi pokok bahasan dalam Revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU PAS).
Adrianus menilai jika sistem diubah maka ada pihak yang tidak tenang. Padahal, privatisasi penjara penting untuk mencegah terjadinya korupsi seperti pungli di lapas.
"Saya bisa mengerti karena kalau itu yang terjadi maka memang itu menjadi kebat kebit bagi puluhan ribu petugas lapas," ujar Adrianus.
Adrianus menjelaskan sedikitnya ada tiga model privatisasi penjara. Pertama, menggandeng swasta masuk ke lapas dalam rangka satu atau lebih elemen produksinya.
"Sebagai contoh misalnya hotel itu membutuhkan laundry seprai maka dari pada dia laundry sendiri, atau maka laundry diserahkan kepada lapas. Lapas yang mengerjakan, lalu lapas yang dapat duit," kata Adrianus.
Model kedua disebut join corporation. Kehadiran swasta dalam hal ini lebih banyak.
Adrianus mencontohkan penjagaan di luar bangunan diserahkan kepada swasta seperti untuk petugas keamanan. Bisa juga pengangkutan warga binaan keluar dan masuk lapas.
"Itu diserahkan kepada perusahaan security yang khusus mengurusi transportasi," ucap Adrianus.
Kemudian, model ketiga adalah privatisasi dalam arti penuh. Adrianus mengibaratkan seperti tender atau pihak ketiga yang punya wewenang penuh mengelola lapas.
Mantan Komisioner Ombudsman itu menilai banyak dampak positif dari model terakhir tersebut. Khususnya mencegah unsur manipulasi hingga korupsi.
Pasalnya, pengelolaan oleh swasta bakal memperhitungkan untung-rugi. Lapas dipastikan lebih teratur dalam hal mencegah kelebihan kapasitas. Sebab, perusahaan memperhitungkan biaya yang bakal dikeluarkan.
"Ketika saya menjadi pemenang (tender) lalu saya bekerja eh tiba-tiba datang kiriman napi dari tempat lain, saya bilang apa? Saya tolak kan. Agar kemudian di penjara yang saya tangani tidak terjadi over kapasitas dan kedua agar tidak menambah biaya operasional kan, bahan makanan dan seterusnya," ucap Adrianus.
Adrianus menyebut model privatisasi penjara satu dan dua sudah diterapkan di sejumlah lapas di Indonesia. Dia mencontohkan lapas di Makassar, Sulawesi Selatan. Perusahaan swasta memberdayakan warga binaan untuk menggarap furniture dan bisa dijual kembali.
Namun, hal ini berpotensi hilang ketika kepala lapas berganti. Menurut dia, birokrasi dan keengganan untuk berkolaborasi dengan pihak swasta masih rendah.
"Di Indonesia ada 750 unit pelaksana teknis (UPT), mulai dari klas III sampai klas I, tapi kita lihat yang berkolaborasi dengan swasta itu mungkin cuma 5 persen," kata Adrianus.
Sedangkan, privatisasi penjara model ketiga sama sekali belum terealisasi. Padahal, ketika penjara diserahkan ke swasta ada arah pengelolaan yang lebih baik.
Model ketiga disebut sudah diterapkan di Australia. Privatisasi penjara dijadikan sebagai prototipe. Sistem penjara menggunakan teknologi canggih sehingga tanpa melibatkan banyak petugas.
"Contoh 15 orang mengawasi 2.000 orang kita boleh ketawa. Tapi ketika lapas sudah memiliki yang saya maksud sebagian otomatisasi optimal, jadi bangunan itu digerakkan dengan teknologi semua, pakai teknologi buka tutup pintu dan seterusnya, maka angka 15 (petugas) juga enggak tinggi-tinggi banget," ujar Adrianus.
Jakarta: Privatisasi penjara dengan menggandeng keterlibatan pihak swasta ke dalam sistem
lembaga pemasyarakatan (lapas) yang dimonopoli negara dinilai sulit diwujudkan. Padahal, hal itu untuk mewujudkan akuntabilitas lapas.
"Kalau ya mau diuji coba yang monggo oleh pemerintah. Tapi, kelihatannya dasar hukumnya belum kuat," kata kriminolog dari Universitas Indonesia (UI), Adrianus Eliasta Meliala, kepada
Medcom.id, Kamis, 9 September 2021.
Menurut Adrianus, dasar hukum untuk melegalkan privatisasi penjara belum kuat. Bahkan, aturan itu belum menjadi pokok bahasan dalam Revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU PAS).
Adrianus menilai jika sistem diubah maka ada pihak yang tidak tenang. Padahal, privatisasi penjara penting untuk mencegah terjadinya korupsi seperti pungli di lapas.
"Saya bisa mengerti karena kalau itu yang terjadi maka memang itu menjadi kebat kebit bagi puluhan ribu petugas lapas," ujar Adrianus.
Adrianus menjelaskan sedikitnya ada tiga model privatisasi penjara. Pertama, menggandeng swasta masuk ke lapas dalam rangka satu atau lebih elemen produksinya.
"Sebagai contoh misalnya hotel itu membutuhkan
laundry seprai maka dari pada dia
laundry sendiri, atau maka
laundry diserahkan kepada lapas. Lapas yang mengerjakan, lalu lapas yang dapat duit," kata Adrianus.
Model kedua disebut
join corporation. Kehadiran swasta dalam hal ini lebih banyak.
Adrianus mencontohkan penjagaan di luar bangunan diserahkan kepada swasta seperti untuk petugas keamanan. Bisa juga pengangkutan warga binaan keluar dan masuk lapas.
"Itu diserahkan kepada perusahaan
security yang khusus mengurusi transportasi," ucap Adrianus.
Kemudian, model ketiga adalah privatisasi dalam arti penuh. Adrianus mengibaratkan seperti tender atau pihak ketiga yang punya wewenang penuh mengelola lapas.