Jakarta: Pemerintah disebut hanya memiliki waktu dua tahun mengungkap kasus kematian aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib. Setelah itu kasus Munir dianggap kedaluwarsa.
"Kasus Munir bisa jadi ditutup dan para pelaku yang menjadi otak intelektual dari pembunuhan dari Munir ini bisa mendapatkan kebebasan sedemikian murah," ujar Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arif Maulana dalam konferensi pers secara visual, Senin, 7 September 2020.
Kedaluwarsa kasus Munir didasari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 78 ayat (1). Aturan itu menyebut kewenangan menuntut pidana akan dihapus karena kedaluwarsa (mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati) sesudah delapan belas tahun.
Arif melihat belum ada langkah serius dari pemerintah untuk mengungkap kasus secara terang. Sebab pemerintah menangani kasus Munir dengan pendekatan tindak pidana biasa.
Baca: Kasus Pembunuhan Munir 'Menghantui' Pegiat HAM
"(Harus) melihat ini sebagai tindak pidana yang luar biasa dalam hal pelanggaran HAM berat," kata dia.
Menurut Arif, tindak tuntasnya kasus kematian Munir menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum dan HAM di Indonesia. Hal tersebut memperpanjang daftar impunitas dan menjadi catatan kelam.
"Tetapi kita tidak tahu, apakah Presiden Joko Widodo berani melakukan itu (pengungkapan)," kata dia.
Arif menyebut kondisi saat ini cenderung ironis. Sebab pihak-pihak yang diduga terlibat pembunuhan Munir telah menduduki kursi pimpinan partai politik atau berada di lingkup Istana. Namun dia tak membeberkan siapa pihak yang dimaksud.
Jakarta: Pemerintah disebut hanya memiliki waktu dua tahun mengungkap kasus kematian aktivis hak asasi manusia (HAM)
Munir Said Thalib. Setelah itu kasus Munir dianggap kedaluwarsa.
"Kasus Munir bisa jadi ditutup dan para pelaku yang menjadi otak intelektual dari pembunuhan dari Munir ini bisa mendapatkan kebebasan sedemikian murah," ujar Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arif Maulana dalam konferensi pers secara visual, Senin, 7 September 2020.
Kedaluwarsa kasus
Munir didasari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 78 ayat (1). Aturan itu menyebut kewenangan menuntut pidana akan dihapus karena kedaluwarsa (mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati) sesudah delapan belas tahun.
Arif melihat belum ada langkah serius dari pemerintah untuk mengungkap kasus secara terang. Sebab pemerintah menangani kasus Munir dengan pendekatan tindak pidana biasa.
Baca: Kasus Pembunuhan Munir 'Menghantui' Pegiat HAM