Jakarta: Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi selaku Staf Khusus Bidang Perencanaan dan Anggaran Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Arie Soedewo diduga kuat memiliki peran dalam kasus suap terkait pengadaan monitoring satelitte di Bakamla. Ia disebut mengajak pihak swasta bermain proyek di Bakamla.
Hal ini terungkap dalam surat dakwaan Nofel Hasan, mantan Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Badan Keamanan Laut (Bakamla). Mulanya, Ali Fahmi mendatangi kantor PT Merial Esa, perusahaan pelaksana pengadaan monitoring satelitte dan drone di Bakamla.
Saat itu, Politikus PDI Perjuangan itu bertemu dengan Direktur Utama PT Merial Esa, Fahmi Darmawansyah yang didampingi oleh Muhammad Adami Okta selaku orang kepercayaan Fahmi.
"Ali Fahmi menawarkan kepada Fahmi Darmawansyah untuk 'main proyek' di Bakamla," kata Jaksa Kiki Ahmad Yani saat membacakan surat dakwaan untuk Nofel Hasan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu, 3 Januari 2018.
Jaksa melanjutkan, jika Fahmi Darmawansyah bersedia, dia harus mengikuti arahan Ali Fahmi supaya dapat memenangkan pengadaan di Bakamla. Syaratnya Fahmi Darmawansyah memberikan fee sebesar 15 persen dari nilai pengadaan.
Kemudian, sekitar April atau Mei 2016, Ali Fahmi kembali bertemu dengan Fahmi Darmawansyah, Adami Okta, dan Hardy Stefanus. Dalam pertemuan itu, Ali Fahmi menyampaikan jika anggaran untuk pengadaan monitoring satelitte di Bakamla disetujui sebesar RP400 miliar.
(Baca juga: Kabakamla Memberikan Rp1 Miliar ke Bambang Udoyo)
Ali kemudian meminta down payment (DP) sebesar 6 persen dari nilai anggaran pengadaan tersebut. Fahmi Darmawansyah lalu mengikuti lelang di Bakamla.
"Sekitar September 2016, saat lelang akan dimulai, Adami Okta diberitahu oleh Ali Fahmi jika pengadaan monitoring satelitte dimenangkan oleh perusahaan milik Fahmi Darmawansyah lainnya, PT Melati Technofo Indonesia," ungkap jaksa Kiki.
Sementara itu, pengadaan drone dimenangkan oleh PT Merial Esa. Namun, untuk anggaran drone masih dibintangi, artinya, anggaran itu tidak dapat digunakan sebelum syarat-syarat terpenuhi.
Akhirnya, Ali Fahmi bersama dengan Nofel mengurus hal tersebut ke Direktorat Jendral Anggaran Kementerian Keuangan untuk membuka tanda bintang. Kemudian, pada 28 Oktober 2016, Nofel menghubungi Ali Fahmi dan menyampaikan jika Hardy Stefanus, salah seorang staf PT Merial Esa ingin membicarakan masalah penting mengenai pembukaan blocking anggaran penggunaan drone.
Sebelumnya, KPK juga masih menelusuri keberadaan Ali Fahmi. Ia diduga kuat terlibat dalam kasus dugaan suap proyek pengadaan satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla). Ali Fahmi telah berulang kali mangkir dari pemeriksaan baik di tingkat penyidikan ataupun pada proses persidangan.
Hingga kini, KPK masih mencari tahu keberadaan Ali Fahmi yang disebut-sebut sebagai saksi penting untuk mengungkap aliran dana Fahmi Dharmawansyah ke sejumlah anggota DPR.
(Baca juga: KPK Telusuri Keberadaan Fahmi Habsyi dari Sejumlah Saksi)
Jakarta: Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi selaku Staf Khusus Bidang Perencanaan dan Anggaran Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Arie Soedewo diduga kuat memiliki peran dalam kasus suap terkait pengadaan monitoring satelitte di Bakamla. Ia disebut mengajak pihak swasta bermain proyek di Bakamla.
Hal ini terungkap dalam surat dakwaan Nofel Hasan, mantan Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Badan Keamanan Laut (Bakamla). Mulanya, Ali Fahmi mendatangi kantor PT Merial Esa, perusahaan pelaksana pengadaan monitoring satelitte dan drone di Bakamla.
Saat itu, Politikus PDI Perjuangan itu bertemu dengan Direktur Utama PT Merial Esa, Fahmi Darmawansyah yang didampingi oleh Muhammad Adami Okta selaku orang kepercayaan Fahmi.
"Ali Fahmi menawarkan kepada Fahmi Darmawansyah untuk 'main proyek' di Bakamla," kata Jaksa Kiki Ahmad Yani saat membacakan surat dakwaan untuk Nofel Hasan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu, 3 Januari 2018.
Jaksa melanjutkan, jika Fahmi Darmawansyah bersedia, dia harus mengikuti arahan Ali Fahmi supaya dapat memenangkan pengadaan di Bakamla. Syaratnya Fahmi Darmawansyah memberikan fee sebesar 15 persen dari nilai pengadaan.
Kemudian, sekitar April atau Mei 2016, Ali Fahmi kembali bertemu dengan Fahmi Darmawansyah, Adami Okta, dan Hardy Stefanus. Dalam pertemuan itu, Ali Fahmi menyampaikan jika anggaran untuk pengadaan monitoring satelitte di Bakamla disetujui sebesar RP400 miliar.
(Baca juga:
Kabakamla Memberikan Rp1 Miliar ke Bambang Udoyo)
Ali kemudian meminta down payment (DP) sebesar 6 persen dari nilai anggaran pengadaan tersebut. Fahmi Darmawansyah lalu mengikuti lelang di Bakamla.
"Sekitar September 2016, saat lelang akan dimulai, Adami Okta diberitahu oleh Ali Fahmi jika pengadaan monitoring satelitte dimenangkan oleh perusahaan milik Fahmi Darmawansyah lainnya, PT Melati Technofo Indonesia," ungkap jaksa Kiki.
Sementara itu, pengadaan drone dimenangkan oleh PT Merial Esa. Namun, untuk anggaran drone masih dibintangi, artinya, anggaran itu tidak dapat digunakan sebelum syarat-syarat terpenuhi.
Akhirnya, Ali Fahmi bersama dengan Nofel mengurus hal tersebut ke Direktorat Jendral Anggaran Kementerian Keuangan untuk membuka tanda bintang. Kemudian, pada 28 Oktober 2016, Nofel menghubungi Ali Fahmi dan menyampaikan jika Hardy Stefanus, salah seorang staf PT Merial Esa ingin membicarakan masalah penting mengenai pembukaan blocking anggaran penggunaan drone.
Sebelumnya, KPK juga masih menelusuri keberadaan Ali Fahmi. Ia diduga kuat terlibat dalam kasus dugaan suap proyek pengadaan satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla). Ali Fahmi telah berulang kali mangkir dari pemeriksaan baik di tingkat penyidikan ataupun pada proses persidangan.
Hingga kini, KPK masih mencari tahu keberadaan Ali Fahmi yang disebut-sebut sebagai saksi penting untuk mengungkap aliran dana Fahmi Dharmawansyah ke sejumlah anggota DPR.
(Baca juga:
KPK Telusuri Keberadaan Fahmi Habsyi dari Sejumlah Saksi)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)