Jakarta: Tuntutan hukuman mati terdakwa kasus korupsi di PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) Heru Hidayat, dikritik. Sebab, tuntutan itu tak sesuai dengan dakwaan terduga pelaku korupsi itu.
"Sama saja perdata, dia menggugat ganti kerugian Rp 10 miliar, tidak bisa nanti dia maunya (nuntut) Rp 20 miliar. Itu namanya ultra petita. Yang dituntut harus berdasarkan surat dakwaan, apa yang didakwakan," kata pakar hukum pidana Andi Hamzah saat dikonfirmasi, Minggu, 12 Desember 2021.
Jaksa penuntut umum (JPU) tidak mendakwa Heru dengan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Otomatis, Pasal yang memuat hukuman mati bagi terdakwa perkara kasus korupsi dalam kondisi tertentu, seperti bencana nasional, krisis moneter atau pengulangan tindak pidana itu tak bisa digunakan dalam tuntutan.
Andi memprediksi tuntutan yang tidak tepat tersebut tak akan digubris hakim. Sebab, pengadil bakal memutus perkara sesuai dakwaan.
"Iya, harus (sesuai dakwaan). Hakim harus memutuskan berdasarkan surat dakwaan, putusan hakim didasarkan surat dakwaan kalau terbukti," kata dia.
Baca: Tuntutan Hukuman Mati Heru Hidayat Dinilai Tak Tepat, Ini Alasannya
Sebelumnya, pakar hukum tindak pidana korupsi Nur Basuki Minarno menyebut tuntutan hukuman mati Heru Hidayat tak tepat. Sebab, Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor tidak masuk di dalam surat dakwaan.
Nur menyebut jaksa penuntut umum JPU hanya mencantumkan Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor dalam surat dakwaan. Ancaman hukuman mati terdapat di Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor.
“Apakah Pasal 2 ayat 2 itu harus dicantum di dalam surat dakwaan? Menurut pendapat saya, Pasal 2 ayat (2) harus dicatumkan dalam surat dakwaan, baru bisa jaksa itu menuntut pidana mati," kata Nur.
Pakar pidana Universitas Trisakti Dian Adriawan membeberkan pandangan serupa. Menurut dia, jaksa keliru dalam menuntut karena tak merujuk pada dakwaan.
"Kalau tidak ada dalam surat dakwaan, berarti kekeliruan yang dilakukan jaksa ketika dia mencantumkan itu (pidana hukum mati) di dalam tuntutan pidana," kata Dian.
Sebelumnya, Heru Hidayat dituntut hukuman mati dalam kasus dugaan korupsi di PT ASABRI. Jaksa menilai hukuman itu pantas untuk Heru.
"Menghukum terdakwa Heru Hidayat dengan pidana mati," kata jaksa penuntut umum (JPU) pada Kejaksaan Agung di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Senin, 6 Desember 2021.
Jaksa menilai hukuman itu pantas karena Heru juga terlibat dalam kasus korupsi di PT Asuransi Jiwasraya. Heru dihukum penjara seumur hidup karena menyebabakan kerugian negara lebih dari Rp16 triliun dalam kasus itu.
Tindakan Heru juga dinilai masuk dalam kategori kejahatan luar biasa. Heru juga tidak mendukung pemerintah yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jaksa menilai tidak ada alasan untuk meringankan hukuman Heru.
Heru disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 Jo Pasal 18 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Serta Pasal 3 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Jakarta: Tuntutan hukuman mati terdakwa kasus korupsi di PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (
ASABRI) Heru Hidayat, dikritik. Sebab, tuntutan itu tak sesuai dengan dakwaan terduga pelaku korupsi itu.
"Sama saja perdata, dia menggugat ganti kerugian Rp 10 miliar, tidak bisa nanti dia maunya (nuntut) Rp 20 miliar. Itu namanya
ultra petita. Yang dituntut harus berdasarkan surat dakwaan, apa yang didakwakan," kata pakar hukum pidana Andi Hamzah saat dikonfirmasi, Minggu, 12 Desember 2021.
Jaksa penuntut umum (JPU) tidak mendakwa Heru dengan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Otomatis, Pasal yang memuat
hukuman mati bagi terdakwa perkara kasus korupsi dalam kondisi tertentu, seperti bencana nasional, krisis moneter atau pengulangan tindak pidana itu tak bisa digunakan dalam tuntutan.
Andi memprediksi tuntutan yang tidak tepat tersebut tak akan digubris hakim. Sebab, pengadil bakal memutus perkara sesuai dakwaan.
"Iya, harus (sesuai dakwaan). Hakim harus memutuskan berdasarkan surat dakwaan, putusan hakim didasarkan surat dakwaan kalau terbukti," kata dia.
Baca:
Tuntutan Hukuman Mati Heru Hidayat Dinilai Tak Tepat, Ini Alasannya
Sebelumnya, pakar hukum tindak pidana korupsi Nur Basuki Minarno menyebut tuntutan hukuman mati Heru Hidayat tak tepat. Sebab, Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor tidak masuk di dalam surat dakwaan.
Nur menyebut jaksa penuntut umum JPU hanya mencantumkan Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor dalam surat dakwaan. Ancaman
hukuman mati terdapat di Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor.
“Apakah Pasal 2 ayat 2 itu harus dicantum di dalam surat dakwaan? Menurut pendapat saya, Pasal 2 ayat (2) harus dicatumkan dalam surat dakwaan, baru bisa jaksa itu menuntut pidana mati," kata Nur.