Jakarta: Direktur Utama PLN Sofyan Basir selesai diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sofyan diperiksa sebagai tersangka dalam kasus suap proyek pembangunan PLTU Riau-I.
Sofyan mengaku tak banyak yang dikonfirmasi penyidik dalam pemeriksaan. Semua hal yang ditanyakan penyidik dalam pemeriksaan masih seputar identitas dan tupoksinya sebagai Dirut.
"Belum (ke materi perkara), baru pertanyaan awal. Masih panjang ini ya," kata Sofyan di Gedung KPK, Jakarta, Senin, 6 Mei 2019.
Sofyan menolak berkomentar lebih jauh soal pemeriksaan tersebut. Yang jelas, Sofyan pasrah dengan statusnya sebagai tersangka dan akan mengikuti proses hukum yang berjalan di Lembaga Antirasuah.
"Proses hukum kita harus hormati, kita harus jalankan dengan baik, KPK profesional. Ikuti saja," ujarnya.
Kuasa hukum Sofyan, Soesilo Ariwibowo, menjelaskan dalam pemeriksaan perdana, kliennya sempat dicecar soal penandatangan kontrak proyek PLTU Riau-I. Hanya saja, terkait kontrak proyek belum detail.
"Jadi sedikit masalah di Riau-I, yang lain-lain belum ada. Cuma 15 pertanyaan," kata Soesilo.
Keterlibatan Sofyan berawal ketika Direktur PT Samantaka Batubara mengirimi PT PLN (Persero) surat, pada Oktober 2015. Surat pada pokoknya memohon PLN memasukkan proyek dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
(Baca juga: Saksi Diminta Jujur jika Diancam Sofyan Basir)
Sayangnya, surat tak ditanggapi. Bos Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo akhirnya mencari bantuan agar dibukakan jalan berkoordinasi dengan PLN untuk mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listnk Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-I.
Pertemuan diduga dilakukan beberapa kali. Pertemuan membahas proyek PLTU itu dihadiri mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih, Sofyan, dan Johannes. Namun, beberapa pertemuan tak selalu dihadiri ketiga orang tersebut.
Selanjutnya pada 2016, Sofyan menunjuk Johannes mengerjakan proyek Riau-I. Sebab, mereka sudah memiliki kandidat mengerjakan PLTU di Jawa.
Padahal, saat itu, Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang menugaskan PT PLN menyelenggarakan Pembangunan Infrastruktur Kelistrikan (PIK) belum terbit. PLTU Riau-I dengan kapasitas 2x300 MW kemudian diketahui masuk Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
Johannes meminta anak buahnya siap-siap karena sudah dipastikan Riau-I milik PT Samantaka. Sofyan lalu memerintahkan salah satu Direktur PT PLN merealisasikan PPA antara PLN dengan BNR dan CHEC.
Sofyan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka merupakan pengembangan penyidikan Eni, Johannes, dan eks Menteri Sosial Idrus Marham yang telah divonis. Eni dihukum enam tahun penjara, Kotjo 4,5 tahun penjara dan Idrus Marham 3 tahun penjara.
Sofyan dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dlubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsijuncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 ayat (2) KUHP Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
(Baca juga: Komut Pertamina Buka Suara soal Pemanggilan Nicke oleh KPK)
Jakarta: Direktur Utama PLN Sofyan Basir selesai diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sofyan diperiksa sebagai tersangka dalam kasus suap proyek pembangunan PLTU Riau-I.
Sofyan mengaku tak banyak yang dikonfirmasi penyidik dalam pemeriksaan. Semua hal yang ditanyakan penyidik dalam pemeriksaan masih seputar identitas dan tupoksinya sebagai Dirut.
"Belum (ke materi perkara), baru pertanyaan awal. Masih panjang ini ya," kata Sofyan di Gedung KPK, Jakarta, Senin, 6 Mei 2019.
Sofyan menolak berkomentar lebih jauh soal pemeriksaan tersebut. Yang jelas, Sofyan pasrah dengan statusnya sebagai tersangka dan akan mengikuti proses hukum yang berjalan di Lembaga Antirasuah.
"Proses hukum kita harus hormati, kita harus jalankan dengan baik, KPK profesional. Ikuti saja," ujarnya.
Kuasa hukum Sofyan, Soesilo Ariwibowo, menjelaskan dalam pemeriksaan perdana, kliennya sempat dicecar soal penandatangan kontrak proyek PLTU Riau-I. Hanya saja, terkait kontrak proyek belum detail.
"Jadi sedikit masalah di Riau-I, yang lain-lain belum ada. Cuma 15 pertanyaan," kata Soesilo.
Keterlibatan Sofyan berawal ketika Direktur PT Samantaka Batubara mengirimi PT PLN (Persero) surat, pada Oktober 2015. Surat pada pokoknya memohon PLN memasukkan proyek dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
(Baca juga:
Saksi Diminta Jujur jika Diancam Sofyan Basir)
Sayangnya, surat tak ditanggapi. Bos Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo akhirnya mencari bantuan agar dibukakan jalan berkoordinasi dengan PLN untuk mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listnk Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-I.
Pertemuan diduga dilakukan beberapa kali. Pertemuan membahas proyek PLTU itu dihadiri mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih, Sofyan, dan Johannes. Namun, beberapa pertemuan tak selalu dihadiri ketiga orang tersebut.
Selanjutnya pada 2016, Sofyan menunjuk Johannes mengerjakan proyek Riau-I. Sebab, mereka sudah memiliki kandidat mengerjakan PLTU di Jawa.
Padahal, saat itu, Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang menugaskan PT PLN menyelenggarakan Pembangunan Infrastruktur Kelistrikan (PIK) belum terbit. PLTU Riau-I dengan kapasitas 2x300 MW kemudian diketahui masuk Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
Johannes meminta anak buahnya siap-siap karena sudah dipastikan Riau-I milik PT Samantaka. Sofyan lalu memerintahkan salah satu Direktur PT PLN merealisasikan PPA antara PLN dengan BNR dan CHEC.
Sofyan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka merupakan pengembangan penyidikan Eni, Johannes, dan eks Menteri Sosial Idrus Marham yang telah divonis. Eni dihukum enam tahun penjara, Kotjo 4,5 tahun penjara dan Idrus Marham 3 tahun penjara.
Sofyan dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dlubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsijuncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 ayat (2) KUHP Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
(Baca juga:
Komut Pertamina Buka Suara soal Pemanggilan Nicke oleh KPK)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)