Jakarta: Pengamat kekerasan anak dari Forum Indonesia Child Online Protection Maria Advianti menilai kebebasan penggunaan ponsel pintar pada anak sangat berbahaya. Anak akan mudah berkenalan dengan 'predator' dalam aplikasi ponsel pintar.
"Kurangnya pengawasan orang tua tentang penggunaan ponsel pintar oleh anak menjadi salah satu penyebab anak menjadi korban grooming online," kata Maria kepada Medcom.id, Selasa 30 Juli 2019.
Baca: 'Predator Anak' Dapat Nomor Telepon dari Gim Hago
Maria mengatakan orang tua harus membuat aturan saat memberikan ponsel pintar kepada anak. Anak, kata dia, harus diberi tahu agar tidak sembarangan berhubungan dengan orang tak dikenal.
"Antara lain pembatasan waktu dalam menggunakan ponsel, tidak boleh chatting dengan orang tak dikenal, tidak boleh mengunduh aplikasi tanpa seizin dan sepengetahuan orang tua, dan sebagainya," kata Maria.
Mantan komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia itu menilai anak belum mengetahui bahaya aplikasi dalam ponsel pintar. Pemikiran mereka belum dewasa untuk menggunakan aplikasi tersebut.
Anak cenderung polos meladeni siapa pun yang mengajaknya berkenalan karena tertarik dengan hal baru. Sifat itu kerap dimanfaatkan para 'predator anak' untuk beraksi.
"Jadi ketika seseorang asing bisa menarik perhatian anak dengan hal baru (sex video call) yang pertama kali dipahami anak bukan dari perspektif benar atau salah, tapi dari keinginan untuk eksplorasi hal baru," kata Maria.
Pola anak dalam bermain di aplikasi itu pun sama. Maria menilai, anak baru akan berhenti setelah menyesal karena dilecehkan atau hal lain yang serupa. Dalam pengamatannya, anak biasanya takut melawan. Para 'predator anak' biasanya mengancam agar sang anak bungkam. Mereka pun bakal takut kepada pelaku.
"Sehingga cenderung mengikuti kemauan pelaku," kata Maria.
Sebelumnya, Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Metro Jaya menangkap pelaku pornografi anak melalui video call WhatsApp. Sebanyak 10 anak di bawah umur menjadi korban.
'Pelaku berinisial AAP usia 27 tahun. Kita tangkap di kawasan Kota Bekasi, Jawa Barat,' kata Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda Metro Jaya Kombes Iwan Kurniawan di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Senin, 29 Juli 2019.
Kasus ini terungkap setelah ada laporan dari salah satu orang tua korban, Rabu, 26 Juni 2019. Pelapor mengaku anaknya mendapat ancaman dari seseorang yang memaksa melakukan video call seks melalui aplikasi WhatsApp.
Baca: KPAI akan Panggil Pengembang Gim Hago
Polisi bekerja cepat dan langsung membentuk tim untuk menyelidiki kasus itu. Bermodal keterangan saksi, pelaku akhirnya ditangkap.
Akibat perbuatannya, AAP dijerat Pasal 27 ayat 1 dan Pasal 29 Undang-Undang ITE, dan Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak. Dengan ancaman hingga 15 tahun penjara.
Jakarta: Pengamat kekerasan anak dari Forum Indonesia Child Online Protection Maria Advianti menilai kebebasan penggunaan ponsel pintar pada anak sangat berbahaya. Anak akan mudah berkenalan dengan 'predator' dalam aplikasi ponsel pintar.
"Kurangnya pengawasan orang tua tentang penggunaan ponsel pintar oleh anak menjadi salah satu penyebab anak menjadi korban
grooming online," kata Maria kepada
Medcom.id, Selasa 30 Juli 2019.
Baca: 'Predator Anak' Dapat Nomor Telepon dari Gim Hago
Maria mengatakan orang tua harus membuat aturan saat memberikan ponsel pintar kepada anak. Anak, kata dia, harus diberi tahu agar tidak sembarangan berhubungan dengan orang tak dikenal.
"Antara lain pembatasan waktu dalam menggunakan ponsel, tidak boleh
chatting dengan orang tak dikenal, tidak boleh mengunduh aplikasi tanpa seizin dan sepengetahuan orang tua, dan sebagainya," kata Maria.
Mantan komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia itu menilai anak belum mengetahui bahaya aplikasi dalam ponsel pintar. Pemikiran mereka belum dewasa untuk menggunakan aplikasi tersebut.
Anak cenderung polos meladeni siapa pun yang mengajaknya berkenalan karena tertarik dengan hal baru. Sifat itu kerap dimanfaatkan para 'predator anak' untuk beraksi.
"Jadi ketika seseorang asing bisa menarik perhatian anak dengan hal baru (
sex video call) yang pertama kali dipahami anak bukan dari perspektif benar atau salah, tapi dari keinginan untuk eksplorasi hal baru," kata Maria.
Pola anak dalam bermain di aplikasi itu pun sama. Maria menilai, anak baru akan berhenti setelah menyesal karena dilecehkan atau hal lain yang serupa. Dalam pengamatannya, anak biasanya takut melawan. Para 'predator anak' biasanya mengancam agar sang anak bungkam. Mereka pun bakal takut kepada pelaku.
"Sehingga cenderung mengikuti kemauan pelaku," kata Maria.
Sebelumnya, Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Metro Jaya menangkap pelaku pornografi anak melalui
video call WhatsApp. Sebanyak 10 anak di bawah umur menjadi korban.
'Pelaku berinisial AAP usia 27 tahun. Kita tangkap di kawasan Kota Bekasi, Jawa Barat,' kata Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda Metro Jaya Kombes Iwan Kurniawan di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Senin, 29 Juli 2019.
Kasus ini terungkap setelah ada laporan dari salah satu orang tua korban, Rabu, 26 Juni 2019. Pelapor mengaku anaknya mendapat ancaman dari seseorang yang memaksa melakukan
video call seks melalui aplikasi
WhatsApp.
Baca: KPAI akan Panggil Pengembang Gim Hago
Polisi bekerja cepat dan langsung membentuk tim untuk menyelidiki kasus itu. Bermodal keterangan saksi, pelaku akhirnya ditangkap.
Akibat perbuatannya, AAP dijerat Pasal 27 ayat 1 dan Pasal 29 Undang-Undang ITE, dan Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak. Dengan ancaman hingga 15 tahun penjara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DRI)