Jakarta: Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo siap bertanggung jawab atas kasus dugaan korupsi di kementerian yang dipimpinnya. Dia bakal mengikuti penuh proses di peradilan.
"Saya bertanggung jawab terhadap kejadian di kementerian saya, saya tidak lari dari tanggung jawab," kata Edhy di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa, 29 Juni 2021.
Menurut Edhy, dugaan korupsi itu muncul karena kesalahan staf di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dia menyatakan kesalahan tersebut juga jadi tanggung jawabnya.
"Saya tidak bisa kontrol semua kesalahan yang dilakukan oleh staf-staf saya. Sekali lagi kesalahan mereka adalah kesalahan saya, karena saya lalai," ujar Edhy.
Edhy mengaku tidak mengetahui tindakan yang dilakukan anak buahnya. Sehingga, dia ikut terseret dalam kasus dugaan korupsi terkait izin ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur.
"Saya tidak tahu apa yang dilakukan anak buah saya. Saya juga tahu pas di persidangan ini bagaimana saya dituduhkan mengatur permainan," ucap Edhy.
Baca: Jaksa Minta Edhy Prabowo Bayar Uang Pengganti Rp10 Miliar
Kuasa hukum Edhy, Soesilo Aribowo, mengatakan kliennya tidak memiliki kewenangan seperti yang dituduhkan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Intervensi Edhy dalam urus izin ekspor BBL diklaim tak terbukti di persidangan.
"Bahkan secara terang benderang semua saksi mengatakan tidak tahu ada intervensi dari Pak Edhy termasuk sekretaris pribadi maupun staf khususnya sendiri," ujar Soesilo.
Edhy Prabowo dituntut lima tahun penjara serta denda Rp400 juta subsider enam bulan kurungan. Edhy dinilai terbukti menerima suap Rp25,7 miliar atas pengadaan ekspor BBL. Uang itu diterima Edhy melalui dua mata uang.
Edhy menerima uang US$77 ribu melalui asisten pribadinya Amiril Mukminin dan staf khusus menteri kelautan dan perikanan Safri. Duit itu diterima dari pemilik PT Dua Putera Perkasa Pratama, Suharjito.
Edhy juga menerima Rp24,62 miliar melalui Amiril, staf istri menteri kelautan dan perikanan Ainul Faqih, staf khusus menteri kelautan dan perikanan Andreau Pribadi Misanta, dan pengurus PT ACK Siswadhi Pranoto Loe.
Perbuatan Edhy dianggap melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Jaksa juga menuntut lima anak buah Edhy yang juga berstatus terdakwa. Mereka dinilai terbukti sebagai pihak penerima dan perantara suap izin ekspor BBL.
Kelimanya yakni staf istri menteri kelautan dan perikanan Ainul Faqih, pengurus PT ACK Siswadhi Pranoto Loe dituntut 4 tahun penjara. Kemudian denda Rp200 juta subsider 4 bulan kurungan.
Staf khusus menteri kelautan dan perikanan Andreau Pribadi Misanta dan Safri serta asisten pribadi Edhy, Amiril Mukminin, dituntut selama 4 tahun 6 bulan penjara. Ketiganya juga didenda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan.
Jakarta: Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan
Edhy Prabowo siap bertanggung jawab atas kasus dugaan korupsi di kementerian yang dipimpinnya. Dia bakal mengikuti penuh proses di peradilan.
"Saya bertanggung jawab terhadap kejadian di kementerian saya, saya tidak lari dari tanggung jawab," kata Edhy di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa, 29 Juni 2021.
Menurut Edhy, dugaan
korupsi itu muncul karena kesalahan staf di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dia menyatakan kesalahan tersebut juga jadi tanggung jawabnya.
"Saya tidak bisa kontrol semua kesalahan yang dilakukan oleh staf-staf saya. Sekali lagi kesalahan mereka adalah kesalahan saya, karena saya lalai," ujar Edhy.
Edhy mengaku tidak mengetahui tindakan yang dilakukan anak buahnya. Sehingga, dia ikut terseret dalam kasus dugaan korupsi terkait izin ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur.
"Saya tidak tahu apa yang dilakukan anak buah saya. Saya juga tahu pas di persidangan ini bagaimana saya dituduhkan mengatur permainan," ucap Edhy.
Baca:
Jaksa Minta Edhy Prabowo Bayar Uang Pengganti Rp10 Miliar
Kuasa hukum Edhy, Soesilo Aribowo, mengatakan kliennya tidak memiliki kewenangan seperti yang dituduhkan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Intervensi Edhy dalam urus izin ekspor BBL diklaim tak terbukti di persidangan.
"Bahkan secara terang benderang semua saksi mengatakan tidak tahu ada intervensi dari Pak Edhy termasuk sekretaris pribadi maupun staf khususnya sendiri," ujar Soesilo.
Edhy Prabowo dituntut lima tahun penjara serta denda Rp400 juta subsider enam bulan kurungan. Edhy dinilai terbukti menerima suap Rp25,7 miliar atas pengadaan ekspor BBL. Uang itu diterima Edhy melalui dua mata uang.
Edhy menerima uang US$77 ribu melalui asisten pribadinya Amiril Mukminin dan staf khusus menteri kelautan dan perikanan Safri. Duit itu diterima dari pemilik PT Dua Putera Perkasa Pratama, Suharjito.
Edhy juga menerima Rp24,62 miliar melalui Amiril, staf istri menteri kelautan dan perikanan Ainul Faqih, staf khusus menteri kelautan dan perikanan Andreau Pribadi Misanta, dan pengurus PT ACK Siswadhi Pranoto Loe.
Perbuatan Edhy dianggap melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Jaksa juga menuntut lima anak buah Edhy yang juga berstatus terdakwa. Mereka dinilai terbukti sebagai pihak penerima dan perantara suap izin ekspor BBL.
Kelimanya yakni staf istri menteri kelautan dan perikanan Ainul Faqih, pengurus PT ACK Siswadhi Pranoto Loe dituntut 4 tahun penjara. Kemudian denda Rp200 juta subsider 4 bulan kurungan.
Staf khusus menteri kelautan dan perikanan Andreau Pribadi Misanta dan Safri serta asisten pribadi Edhy, Amiril Mukminin, dituntut selama 4 tahun 6 bulan penjara. Ketiganya juga didenda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)