Jakarta: Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan akan menjalani sidang vonis di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat. Sidang rencananya digelar pada siang ini.
"Benar sidang putusan pukul 13.00 WIB," kata jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Takdir Suhan kepada Medcom.id, Senin, 24 Agustus 2020.
Sidang rencananya digelar melalui konferensi televideo serta disiarkan melalui akun YouTube 'KPK RI'. Eks anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Agustiani Tio Fridelina juga akan mendengarkan putusan hakim.
Takdir berharap majelis hakim memutus perkara sesuai fakta sidang dan uraian surat tuntutan jaksa. Sementara itu, penasihat hukum Wahyu Setiawan, Tony Akbar Hasibuan, tak berharap banyak terhadap putusan hakim.
"Harapannya hakim putus seadil-adilnya," ujar Tony.
JPU KPK menuntut Wahyu dihukum delapan tahun penjara serta denda Rp400 juta subsider enam bulan kurungan. Sedangkan Agustiani dituntut 4,5 tahun penjara serta denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan.
Jaksa juga meminta hak politik Wahyu dicabut selama empat tahun. Permohonan justice collaborator (JC) juga diminta tak dikabulkan.
Baca: Wahyu Setiawan Menyesal
Dianggap Terbukti Korupsi
Wahyu dianggap terbukti menerima suap SGD57.350 atau setara Rp600 juta. Perbuatan itu dilakukan bersama-sama eks Agustiani.
Suap tersebut berasal dari swasta Saeful Bahri dan Harun Masiku. Uang diberikan bertahap, yakni SGD19 ribu dan SGD38.350 melalui perantara Agustiani.
Uang diberikan agar Wahyu mengupayakan permohonan pergantian antar waktu (PAW) disetujui KPU. PAW diberikan dari Riezky Aprilia sebagai anggota DPR Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatra Selatan (Sumsel) 1 kepada Harun Masiku.
Wahyu dan Agustiani dianggap terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Wahyu juga dinilai terbukti menerima gratifikasi dari Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan melalui Sekretaris KPU Provinsi Papua Barat, Rosa Muhammad Thamrin Payapo. Wahyu menerima Rp500 juta.
Pemberian uang terkait proses seleksi calon anggota KPU Daerah Provinsi Papua Barat periode 2020-2025. Wahyu diminta mengupayakan calon asal Papua Barat dipilih dalam proses seleksi itu.
Wahyu dianggap melanggar Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dianggap Terbukti Korupsi
Wahyu dianggap terbukti menerima
suap SGD57.350 atau setara Rp600 juta. Perbuatan itu dilakukan bersama-sama eks Agustiani.
Suap tersebut berasal dari swasta Saeful Bahri dan Harun Masiku. Uang diberikan bertahap, yakni SGD19 ribu dan SGD38.350 melalui perantara Agustiani.
Uang diberikan agar Wahyu mengupayakan permohonan pergantian antar waktu (PAW) disetujui KPU. PAW diberikan dari Riezky Aprilia sebagai anggota DPR Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatra Selatan (Sumsel) 1 kepada Harun Masiku.
Wahyu dan Agustiani dianggap terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Wahyu juga dinilai terbukti menerima gratifikasi dari Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan melalui Sekretaris KPU Provinsi Papua Barat, Rosa Muhammad Thamrin Payapo. Wahyu menerima Rp500 juta.
Pemberian uang terkait proses seleksi calon anggota KPU Daerah Provinsi Papua Barat periode 2020-2025. Wahyu diminta mengupayakan calon asal Papua Barat dipilih dalam proses seleksi itu.
Wahyu dianggap melanggar Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)