Jakarta: Kejaksaan Agung (Kejagung) membuka peluang menyatukan dugaan suap terpidana kasus Bank Bali Djoko Tjandra. Kasus ini meliputi dugaan suap pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) dan penghapusan red notice untuk pengurusan peninjauan kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Di sana (Bareskrim) kan kaitannya dalam rangka PK. Di sini fatwa. Itu waktunya juga berbeda. Bisa disatukan? Bisa saja kalau (untuk) Djoko Tjandra karena sumbernya sama kan," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Ali Mukartono di kantornya, Jumat, 11 September 2020.
Namun, Ali mengatakan penanganan perkara untuk tersangka lainnya tidak bisa disatukan. Pasalnya, peran penerima suap dari Djoko Tjandra berbeda-beda.
Ali tak menepis perkara suap dalam dugaan penghapusan red notice di Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri dengan pengurusan fatwa MA di Kejagung berkaitan. Pasalnya, kasus itu didalangi orang yang sama, yakni Djoko Tjandra. Namun, kata dia, pengurus suap di dua kasus ini berbeda sehingga penanganan kasusnya terpisah.
"Kalau pemberinya ya ada kaitannya, kan Djoko Tjandra semua pemberinya, pasti ada kaitannya. Tapi materi perkara bisa dipisahkan karena waktunya terpisah, tempatnya terpisah, penerimanya juga beda," jelas Ali.
Sementara itu, dalam perkara pengurusan fatwa, Kejagung telah menetapkan tiga orang tersangka. Mereka yakni jaksa Pinangki Sirna Malasari, terpidana Djoko Tjandra, dan politikus Andi Irfan Jaya.
Jaksa Pinangki diduga menerima suap US$500 ribu atau setara Rp7 miliar. Namun, Kejagung belum mencium aliran dana ke Andi Irfan Jaya. Hanya saja, Andi orang yang ikut meyakinkan Djoko Tjandra untuk pengurusan fatwa.
Baca: KPK Didesak Usut 5 Orang Seputar Kasus Suap Jaksa Pinangki
Untuk kasus suap dugaan penghapusan red notice, Bareskrim menetapkan empat tersangka. Mereka yakni Inspektur Jenderal (Irjen) Napoleon Bonaparte, Brigadir Jenderal (Brigjen) Prasetyo Utomo, pengusaha Tommy Sumardi, dan Djoko Tjandra.
Dua jenderal polisi diduga menerima suap dari Tommy dan Djoko Tjandra. Namun, Bareskrim Polri belum membeberkan nominalnya.
Jakarta: Kejaksaan Agung (Kejagung) membuka peluang menyatukan dugaan suap terpidana kasus Bank Bali Djoko Tjandra. Kasus ini meliputi dugaan suap pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) dan penghapusan
red notice untuk pengurusan peninjauan kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Di sana (Bareskrim) kan kaitannya dalam rangka PK. Di sini fatwa. Itu waktunya juga berbeda. Bisa disatukan? Bisa saja kalau (untuk) Djoko Tjandra karena sumbernya sama kan," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Ali Mukartono di kantornya, Jumat, 11 September 2020.
Namun, Ali mengatakan penanganan perkara untuk tersangka lainnya tidak bisa disatukan. Pasalnya, peran penerima suap dari
Djoko Tjandra berbeda-beda.
Ali tak menepis perkara suap dalam dugaan penghapusan
red notice di Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri dengan pengurusan fatwa MA di Kejagung berkaitan. Pasalnya, kasus itu didalangi orang yang sama, yakni Djoko Tjandra. Namun, kata dia, pengurus suap di dua kasus ini berbeda sehingga penanganan kasusnya terpisah.
"Kalau pemberinya ya ada kaitannya, kan Djoko Tjandra semua pemberinya, pasti ada kaitannya. Tapi materi perkara bisa dipisahkan karena waktunya terpisah, tempatnya terpisah, penerimanya juga beda," jelas Ali.
Sementara itu, dalam perkara pengurusan fatwa, Kejagung telah menetapkan tiga orang tersangka. Mereka yakni
jaksa Pinangki Sirna Malasari, terpidana Djoko Tjandra, dan politikus Andi Irfan Jaya.