Ilustrasi Medcom.id.
Ilustrasi Medcom.id.

Februari: Upaya Mencegah Terorisme Melalui Deradikalisasi Masih Buntu

Achmad Zulfikar Fazli • 15 Desember 2020 11:24
Jakarta: Jaringan terorisme masih mengakar di Indonesia. Mereka masih terus melancarkan aksinya dengan alasan 'berjihad'.
 
Paham radikal tak hanya meracuni otak masyarakat sipil. Ada pula aparat keamanan yang terpapar pemahaman itu. Contohnya, kasus polisi wanita (polwan) Bripda Nesti Ode Samiliyang di Polda Maluku Utara.
 
Nesti Ode dipecat. Polisi kemudian memburu orang yang mendoktrin Nesti Ode.

Langkah cepat itu membuahkan hasil. Polisi menyergap WF alias Ibnu Thayyi, 29, di Perairan Sungai Kampar, Riau, pada Kamis, 6 Februari 2020. Ibnu diduga yang merekrut Nesti Ode masuk ke jaringan Jemaah Ansharut Daulah (JAD).
 
"Yang bersangkutan admin grup WhatsApp yang menarik orang dijadikan sebagai volunteer," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Argo Yuwono di Gedung Humas, Jakarta Selatan, Senin, 10 Februari 2020.
 
Sayangnya, Ibnu tewas di tangan polisi. Dia didor karena melawan dengan melempar bom ke arah petugas.

Jaringan Ali Kalora

Upaya pemutusan jaringan terorisme juga dilakukan di Kecamatan Poso Pesisir Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Polisi menangkap dua terduga teroris, yakni I, 32, dan M , 29. Mereka diduga merupakan simpatisan MIT di Poso.
 
Saat ditangkap, keduanya hendak masuk ke hutan untuk bergabung bersama Ali Kalora alias Ali Ahmad. Ali merupakan pemimpin MIT menggantikan Santoso alias Abu Wardah yang tewas ditembak Satgas Tinombala.
 
Namun, masih ada sejumlah anggota MIT lain yang masih masuk daftar pencarian orang (DPO). Mereka ialah Qatar alias Farel alias Anas, Askar alias Jaid alias Pak Guru, Galu alias Nae alias Mukhlas, dan Abu Alim alias Ambo.
 
Kemudian, Moh Faisal alias Namnung, Rajif Gandi Sabban alias Rajes, Alvin alias Adam alias Mus'Ab, Jaka Ramadhan alias Ikrima alias Rama, Hairul alias Irul, serta Ali Kalora. Lalu, Qatar, Askar, Galu, dan Abu Alim diketahui berasal dari Nusa Tenggara Barat (NTB). Mereka merupakan mantan Mujahidin Indonesia Barat (MIB).
 
 

Masih berkeliarannya orang-orang yang terpapar paham radikal membuat aksi terorisme tak kunjung hilang. Bahkan, masih banyak teror dan penindakan yang dilakukan aparat keamanan di sepanjang 2020.

Optimalisasi Program Deradikalisasi

Pemerintah telah menjalankan program deradikalisasi. Program itu dilakukan untuk membuang radikalisme dari beberapa orang yang sudah terpapar. Ini juga salah satu cara memutus jaringan terorisme.
 
Namun, deradikalisasi belum berjalan optimal. Musababnya, belum ada sinergisitas yang kuat antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menjalankan deradikalisasi.
 
Contohnya, penanganan 75 deportan warga negara Indonesia (WNI) yang masuk ke Suriah melalui Turki. Mereka sudah menjalani deradikalisasi selama sebulan. Namun, program itu tak menjamin bisa mengubah paham radikal mereka.
 
Deradikalisasi tidak bisa dilakukan setengah-setengah. Program ini harus dilakukan serius. Komitmen pemerintah daerah untuk memulihkan pemikiran warganya yang terpapar radikalisme juga harus maksimal.
 
Respons pemerintah daerah dalam menangani warganya yang datang dari daerah konflik, seperti Suriah berbeda-beda. Ada yang hanya menjemput dan ada yang betul-betul membina mereka.
 
"Perlu ada regulasi atau komitmen langsung operasional kepala daerah mulai dari provinsi, kabupaten-kota dalam mendukung peran BNPT dan FKPT," kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Suhardi Alius saat pelantikan pengurus Forum Koordinasi Pencegahan Teroris (FKPT) 32 provinsi, di Jakarta, Senin, 17 Februari 2020.
 
Pemerintah daerah juga selama ini seakan tutup kuping dengan peringatan ancaman terorisme dari BNPT. Alhasil, aksi terorisme masih terjadi di daerah-daerah. Misalnya, penikaman Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto di Pandeglang, Banten, Kamis, 10 Oktober 2019.
 
Padahal, BNPT sudah mewanti-wanti pemerintah daerah setempat soal kerawanan aksi terorisme. Sayangnya, peringatan dini itu tak didengar sehingga peristiwa penusukan itu terjadi.
 
Tak hanya di Banten, aksi terorisme dan radikalisme sangat rawan terjadi di Aceh, Riau, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, dan Jawa Timur. Pemerintah daerah setempat diminta tidak berleha-leha. Menganggap daerahnya bebas dari radikalisme dan terorisme. Sebab, aksi teror bisa muncul kapan dan di mana saja.
 
Banyak kasus warga terpapar radikalisme dan terorisme dari belajar agama melalui 'Mbah Google'. Pemerintah daerah bisa mengatasi itu dengan menggali kearifan lokal. Cara kearifan lokal ampuh dalam menumbuhkan imunitas terhadap paham radikalisme tersebut.
 
Misalnya, mengefektifkan kembali peran rukun tetangga (RT), rukun warga (RW), seluruh perangkat, dan oraganisasi daerah. Radikalisme dan terorisme tidak akan tumbuh bila semua upaya pencegahan berjalan dengan baik.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)
  • Halaman :
  • 1
  • 2
Read All


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan