Jakarta: Kuasa hukum mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara, Maqdir Ismail, menyebut kesaksian Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial (Dirjen Linjamsos) Pepen Nazaruddin tak memiliki bukti yang kuat. Dalam kesaksiannya di Pengadilan Tipikor, pada Senin, 10 Mei 2021, Pepen menyatakan ada perintah dari Juliari untuk memotong Rp10 ribu per paket bantuan sosial (bansos) sembako.
"Dalam keterangannyan sebagai saksi, Pepen Nazaruddin, menyatakan bahwa secara sekilas Adi Wahyono menyatakan mendapat arahan dari Menteri Sosial meminta fee sebesar Rp10 ribu untuk setiap paket," ujar Maqdir dalam keterangan tertulis, Selasa, 11 Mei 2021.
Maqdir menyebut kesaksian Pepen hanya berdiri sendiri. Dalam sidang, Pepen menyatakan mendengar adanya perintah Juliari itu dari kuasa pengguna anggaran Adi Wahyono.
"Keterangan ini bukan hanya berdiri sendiri, tetapi juga keterangan yang bersifat de auditu, keterangan saksi de auditu tidak mempunyai kekuatan sebagai alat bukti saksi," kata Maqdir.
Menurut Maqdir, kesaksian yang bersifat de auditu atau kesaksian karena mendengar keterangan dari pihak lain tak bisa diterima sebagai alat bukti. Apalagi, Pepen menyebut tak pernah mengonfirmasi langsung kepada Juliari soal adanya perintah memotong Rp10 ribu per paket bansos.
"Selain itu, mengenai kebenaran arahan ini, dikatakan pula bahwa dia (Pepen) tidak pernah meminta konfirmasi kepada Menteri mengenai kebenaran cerita yang disampaikan secara sekilas oleh Adi Wahyono tersebut," kata Maqdir.
Dalam kesaksiannya, Pepen juga mengaku bukan pihak yang bertanggung jawab atas pengadaan bansos sembako untuk wilayah Jabodetabek. Dia menuding tanggung jawab itu ada pada Juliari.
Namun, menurut Maqdir, tanggung jawab pengadaan bansos ada di tangan Pepen. "Berdasarkan fakta surat keputusan Dirjen Nomor:10/3/BS.01.02/4/2020, tanggal 30 April 2020, yang dia (Pepen) tanda tangani, dia adalah penanggung jawab dari pelaksanaan kegiatan," kata Maqdir.
Baca: Hakim Pertanyakan Urgensi Rapat Kemensos di Labuan Bajo
Maqdir meminta jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami dugaan gratifikasi yang diterima Pepen. Gratifikasi itu berupa sepeda Brompton dan pembelian cicin senilai Rp50 juta dari Adi Wahyono.
"Hal yang perlu juga dicatat dan ditindak lanjuti adanya penerimaan gratifikasi oleh Pepen Nazaruddin berupa sepeda Brompton dan pembayan cincin dengan akik seharga Rp50 juta oleh Adi Wahyono yang tidak dilaporkan kepada KPK," kata Maqdir.
Sebelumnya, Pepen menyebut ada perintah dari Juliari Batubara soal pemotongan Rp10 ribu per paket bansos. Hal itu disampaikan Pepen saat bersaksi untuk terdakwa Juliari dalam perkara dugaan suap pengadaan bansos penanganan pandemi covid-19 untuk wilayah Jabodetabek di Pengadilan Tipikor, Senin, 10 Mei 2021.
Awalnya, Pepen masih menutupi soal adanya perintah Juliari untuk memotong Rp10 ribu per paket bansos. Pepen hanya menyebut yang melakukan pemotongan Rp10 ribu adalah Adi Wahyono selaku kuasa pengguna anggaran (KPA) dan Matheus Joko Santoso selaku pejabat pembuat komitmen (PPK).
Hakim kemudian bertanya apakah pemotongan Rp10 ribu merupakan inisiatif KPA dan PPK atau ada perintah dari pihak lain. Pepen menyebut pemotongan Rp10 ribu merupakan inisiatif kedua orang tersebut.
"Setahu saya inisiatif mereka," ujar Pepen.
Mendengar jawaban Pepen, hakim sedikit kesal. Menurut hakim, keterangan Pepen berbeda dengan keterangan sebelumnya.
"Tolong keterangan saudara jangan bergeser. Ini saya catat waktu hari Rabu yang lalu, saudara bisa ditahan nanti setelah ini, kalau saudara ketahuan bohong. Saya akan perintahkan saudara ditahan selanjutnya diproses. Saya yakin, ini jangan main-main gitu," kata hakim.
Hakim mengingatkan Pepen berkata dengan jujur. "Saya ingatkan saudara apakah saudara mengetahui siapa yang memerintahkan melakukan pemotongan Rp 10 ribu per paket?," tanya hakim.
Mendengar ancaman hakim, Pepen mengakui mengetahui adanya perintah pemotongan Rp10 ribu. Menurut Pepen, perintah itu datang langsung dari Juliari Peter Batubara.
"Mengetahui, Bapak Juliari," kata Pepen.
Pepen mengetahui adanya perintah pemotongan Rp10 ribu oleh Juliari berdasarkan cerita dari Adi Wahyono. "Dari KPA (Adi). KPA diakhir-akhir menyampaikan ada perintah untuk pemotongan seperti itu," kata Pepen.
Sementara itu, Juliari Peter Batubara didakwa menerima suap terkait pengadaan bantuan sosial (bansos) pandemi covid-19 untuk wilayah Jabodetabek di Kementerian Sosial (Kemensos).
JPU KPK mendakwa Juliari menerima total Rp32,48 miliar dalam perkara ini. Uang tersebut diterima Juliari dari sejumlah pihak, yakni dari pengusaha Harry Van Sidabukke sejumlah Rp1,28, kemudian dari Ardian Iskandar Maddanatja sejumlah Rp1,95 miliar, dan Rp29,25 miliar dari beberapa vendor bansos covid-19 lainnya.
Uang tersebut diterima Juliari lewat dua Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Kemensos, yakni Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso.
Jaksa menyebut duit itu diterima Juliari terkait dengan penunjukan PT Pertani (Persero), PT Mandala Hamonangan Sude, dan PT Tigapilar Agro Utama serta beberapa vendor lainnya dalam pengadaan bansos sembako untuk penanganan covid-19 pada Direktorat Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial (PSKBS) Kementerian Sosial pada 2020.
Atas perbuatannya, Juliari didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sebelumnya, Pepen menyebut ada perintah dari Juliari Batubara soal pemotongan Rp10 ribu per paket bansos. Hal itu disampaikan Pepen saat bersaksi untuk terdakwa Juliari dalam perkara dugaan suap pengadaan bansos penanganan pandemi covid-19 untuk wilayah Jabodetabek di Pengadilan Tipikor, Senin, 10 Mei 2021.
Awalnya, Pepen masih menutupi soal adanya perintah Juliari untuk memotong Rp10 ribu per paket bansos. Pepen hanya menyebut yang melakukan pemotongan Rp10 ribu adalah Adi Wahyono selaku kuasa pengguna anggaran (KPA) dan Matheus Joko Santoso selaku pejabat pembuat komitmen (PPK).
Hakim kemudian bertanya apakah pemotongan Rp10 ribu merupakan inisiatif KPA dan PPK atau ada perintah dari pihak lain. Pepen menyebut pemotongan Rp10 ribu merupakan inisiatif kedua orang tersebut.
"Setahu saya inisiatif mereka," ujar Pepen.
Mendengar jawaban Pepen, hakim sedikit kesal. Menurut hakim, keterangan Pepen berbeda dengan keterangan sebelumnya.
"Tolong keterangan saudara jangan bergeser. Ini saya catat waktu hari Rabu yang lalu, saudara bisa ditahan nanti setelah ini, kalau saudara ketahuan bohong. Saya akan perintahkan saudara ditahan selanjutnya diproses. Saya yakin, ini jangan main-main gitu," kata hakim.
Hakim mengingatkan Pepen berkata dengan jujur. "Saya ingatkan saudara apakah saudara mengetahui siapa yang memerintahkan melakukan pemotongan Rp 10 ribu per paket?," tanya hakim.
Mendengar ancaman hakim, Pepen mengakui mengetahui adanya perintah pemotongan Rp10 ribu. Menurut Pepen, perintah itu datang langsung dari Juliari Peter Batubara.
"Mengetahui, Bapak Juliari," kata Pepen.
Pepen mengetahui adanya perintah pemotongan Rp10 ribu oleh Juliari berdasarkan cerita dari Adi Wahyono. "Dari KPA (Adi). KPA diakhir-akhir menyampaikan ada perintah untuk pemotongan seperti itu," kata Pepen.
Sementara itu, Juliari Peter Batubara didakwa menerima suap terkait pengadaan bantuan sosial (bansos) pandemi covid-19 untuk wilayah Jabodetabek di Kementerian Sosial (Kemensos).
JPU KPK mendakwa Juliari menerima total Rp32,48 miliar dalam perkara ini. Uang tersebut diterima Juliari dari sejumlah pihak, yakni dari pengusaha Harry Van Sidabukke sejumlah Rp1,28, kemudian dari Ardian Iskandar Maddanatja sejumlah Rp1,95 miliar, dan Rp29,25 miliar dari beberapa vendor bansos covid-19 lainnya.
Uang tersebut diterima Juliari lewat dua Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Kemensos, yakni Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso.
Jaksa menyebut duit itu diterima Juliari terkait dengan penunjukan PT Pertani (Persero), PT Mandala Hamonangan Sude, dan PT Tigapilar Agro Utama serta beberapa vendor lainnya dalam pengadaan bansos sembako untuk penanganan covid-19 pada Direktorat Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial (PSKBS) Kementerian Sosial pada 2020.
Atas perbuatannya, Juliari didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)