Tim kuasa hukum Sjamsul Nursalim, Maqdir Ismail/Medcom.id/Damar Iradat
Tim kuasa hukum Sjamsul Nursalim, Maqdir Ismail/Medcom.id/Damar Iradat

Maqdir Menilai Audit BPK 2017 soal BDNI Inkonsisten

Damar Iradat • 05 Juli 2018 11:01
Jakarta: Tim kuasa hukum Sjamsul Nursalim, Maqdir Ismail, menilai ada inkonsistensi hasil audit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) terkait Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Hal itu tampak dari adanya perbedaan hasil laporan pada 2002 dengan hasil laporan 2017.
 
Maqdir mengatakan BPK dalam Laporan Audit Investigasi PKPS BDNI tertanggal 31 Mei 2002 menyatakan telah ditutup pada 25 Mei 1999. Selain itu, dalam laporan BPK tahun 2006 dalam rangka pemeriksaan atas laporan pelaksanaan tugas BPPN per 30 November 2006 juga menyatakan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Sjamsul selaku obligor layak diberikan.
 
"Baik laporan audit investigasi BPK tahun 2002 maupun laporan audit BPK tahun 2006 tersebut di atas telah dengan konsisten menyatakan MSAA telah Closing, Pembebasan dan Pelepasan (R&D) telah diterbitkan sehingga SKL layak diberikan," kata dia melui pernyataan tertulis, Rabu, 4 Juli 2018.

Menurut dia, perkara ini janggal dan terkesan dipaksakan lantaran pada 2017 atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), BPK mengeluarkan laporan Audit Investigasi. Dalam laporan tersebut, dinyatakan pemeriksaan investigatif dalam rangka penghitungan kerugian negara ini berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh melalui penyidik KPK sampai 25 Agustus 2017.
 
"Di sini jelas BPK menyatakan bahwa bukti yang digunakan untuk audit investigasi ini
adalah bukti-bukti yang diperoleh melalui penyidik KPK. Berarti itu data sekunder bukan data primer dan tidak ada yang diperiksa (auditee)," tegas dia.
 
Hal ini, terang Maqdir, justru bertentangan dengan peraturan BPK. Apalagi laporan investigasi tersebut dipergunakan sebagai dasar dakwaan kasus Syafruddin Arsyad Temenggung.
 
Baca: Penerbitan SKL BLBI untuk Sjamsul Nursalim Perintah Dorodjatun
 
Maqdir menyatakan laporan audit 2002 dan 2006 sejalan dan konsisten satu sama lain. Namun, audit 2017 sama sekali bertolak belakang dengan kedua audit terdahulu. Padahal, yang menerbitkan semua audit tersebut institusi yang sama.
 
"Ini menyangkut reputasi dan kredibilitas BPK. Sudah selayaknya BPK ataupun pihak yang berwenang menarik atau membatalkan audit yang bertentangan bukan malahan mengawal atau menjaga sesuatu produk yang secara proses sudah cacat, tidak independen dan menyalahi ketentuan dan peraturan yang berlaku," beber dia.
 
Maqdir juga menyayangkan pokok perkara pemberian SKL BLBI dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung melenceng. Dalam persidangan, dakwaan yang ditujukan kepada Syafruddin malah tak digali dari para tersangka.
 
Menurut Maqdir, jaksa malah lebih fokus pada masalah penyelesaian kewajiban BLBI Sjamsul. Padahal, ia mengklaim kewajiban itu sudah tuntas 20 tahun silam melalui penandatanganan Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) atau Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) antara Pemerintah (BPPN) dan SN.
 
"Bersamaan dengan Closing MSAA pada tanggal 25 Mei 1999, BPPN dan Menteri Keuangan menerbitkan Surat Release and Discharge (R&D) untuk Sjamsul," ujarnya.
 
Di saat bersamaan, Pemerintah dalam Akta Notaris No 48, tanggal 25 Mei 1999 yang ditandatangani Kepala BPPN dan Sjamsul menegaskan Sjamsul telah memenuhi seluruh kewajiban dan pemerintah telah memberikan Surat Pelepasan dan Pembebasan (R&D) kepada pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) itu.
 
Baca: Sjamsul Nursalim Belum Penuhi Seluruh Kewajiban
 
Utang petambak yang telah diselesaikan melalui MSAA 20 tahun yang lalu pun diniali tidak perlu dipermasalahkan dalam sidang. Hal tersebut tidak lagi relevan.
 
"Karena MSAA ditandatangani dan ditutup pada waktu Glenn Yusuf menjabat sebagai Kepala BPPN dan dalam Pasal 12.4 MSAA jelas tertulis jikalau dikemudian hari ada perselisihan atau klaim harus dibicarakan oleh para pihak, dan apabila tidak terjadi kesepakatan maka perselisihan harus diselesaikan melalui pengadilan perdata. Sebelum adanya keputusan pengadilan berarti tidak ada misrepresentasi," kata dia.
 
Maqdir juga membeberkan setelah 20 tahun MSAA ditandatangani, tidak pernah ada keputusan pengadilan yang menyatakan misrepresentasi dalam perjanjian MSAA. Tidak seharusnya berulang-ulang mengungkit dan mengatakan adanya misrepresentasi.
 
"Terkecuali bertujuan membentuk opini masyarakat untuk menyudutkan pihak tertentu," ucap dia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OJE)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan